Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 10
“Dia sudah bermain-main denganku. Dan inilah akibatnya,” ujar Faizan dingin, tatapannya tajam menusuk kosong. “Dia sudah berani masuk ke kehidupanku dengan cara sehina itu.”
Kata-kata itu membuat Fandi terdiam. Ia menatap Faizan tak percaya. Semalam, pria ini terlihat menyesal—atau setidaknya begitu yang ia kira. Tapi pagi ini, ucapannya justru terdengar seperti seseorang yang sama sekali tidak memiliki rasa bersalah.
Fandi menggeleng pelan, ia sebenarnya ingin menasihati sahabatnya itu, tapi ia tahu, semua ucapannya hanya akan berakhir sia-sia. Faizan terlalu keras kepala.
“Katakan saja, apa jadwal meeting-ku hari ini,” perintah Faizan, suaranya terdengar dingin namun penuh tekanan.
“Diam di sini saja, Faiz. Urusan kantor biar aku yang urus,” jawab Fandi, kali ini dengan nada yang lebih tenang, mencoba meredam emosi sahabatnya.
Faizan menatap tajam. “Kau... mengaturku?!”
“Bukan begitu, Faiz. Istrimu sedang tidak sa—”
“Dia hanya istri sementara,” potong Faizan cepat, tapi suaranya tetap terdengar tegas.
Fandi menghela napas panjang. Lalu ia berkata, “Tapi kenyataannya, kau sudah menyentuh dia.”
Kata-kata itu berbalik menghantam Faizan telak, dan membuatnya terdiam.
.
.
Sepuluh hari telah berlalu sejak Alea terbaring di rumah sakit. Kondisinya memang perlahan membaik, namun ketakutan yang pernah menghantuinya belum sepenuhnya pergi. Sesekali, bayangan itu masih terlihat jelas di matanya—seolah ada sesuatu yang terus membayanginya di sudut pikiran.
Dulu, setiap kali seseorang mendekat, tubuh Alea akan gemetar hebat, napasnya tersengal-sengal, seakan dunia di sekelilingnya terlalu menakutkan untuk dihadapi.
Faizan memilih untuk menjaga jarak. Bukan karena tak peduli, melainkan karena ia tahu Alea membutuhkan ruang untuk memulihkan diri. Ia hanya memastikan perawatan terbaik untuk Alea, memantau dari kejauhan, dan menanyakan kabar pada dokter.
Sementara itu, Ibu Maisaroh tak pernah pergi jauh dari sisi menantunya. Siang dan malam ia setia menemani, menggenggam tangan Alea setiap kali gadis itu terbangun dengan mata ketakutan.
"Alea," suara Ibu Maisaroh akhirnya memecah kesunyian, lirih namun penuh kasih. Tangannya yang hangat menepuk pelan bahu menantunya yang tengah termenung, seolah ingin memanggil jiwa Alea yang entah tersesat di mana.
Di balik dinding dingin rumah sakit, Alea tampak seperti terperangkap dalam labirin pikirannya sendiri. Matanya kosong, bibirnya terkatup rapat. Ketenangan yang melingkupinya bukanlah ketenangan yang menenangkan, melainkan sunyi yang mencekam. Ia sama sekali tak mengucapkan sepatah kata pun, seakan dunia di sekitarnya telah kehilangan suara.
"Alea, Sayang..." suara Ibu Maisaroh bergetar, dipenuhi rasa cemas yang tak mampu ia sembunyikan. "Apa kamu baik-baik saja? Apakah ada yang sakit?"
Pertanyaan itu menggantung di udara, menyisakan keheningan yang terasa semakin berat.
Alea hanya menggeleng pelan sebagai jawaban. Namun, di balik gerakan sederhana itu, tersimpan gelombang kesedihan yang beriak di mata sayunya. Tatapannya kosong, seperti cermin retak yang menyimpan terlalu banyak rahasia. Dengan tubuh lemah, ia kembali menutup mata rapat-rapat—seolah ingin memutus semua ikatan dengan dunia luar dan tenggelam lebih dalam ke dalam kesendirian yang menyesakkan.
Ibu Maisaroh menarik napas panjang, dadanya terasa sesak seolah ada batu besar yang menekan. Secara fisik, Alea memang terlihat mulai pulih, tetapi jiwanya… hancur berkeping-keping, seperti kaca yang tak mungkin bisa disatukan kembali.
Ibu Maisaroh mungkin tak tahu persis apa yang sudah dilakukan oleh putranya, tetapi satu hal yang ia yakini: perempuan bermata indah itu sudah melewati gelapnya kekerasan rumah tangga—luka yang tak hanya meremukkan raga, tapi juga jiwanya.
Tak lama kemudian, seorang dokter perempuan memasuki ruangan Alea. Dengan suara lembut, ia menyapa penuh kehangatan, lalu memberi anggukan kecil kepada Ibu Maisaroh—sebuah isyarat halus agar sang ibu mengajak menantunya keluar sejenak. Ia berharap udara pagi dan hangatnya sinar mentari bisa menyentuh hati Alea.
"Selamat pagi, Alea. Kita berjemur di luar, yuk?" ajaknya ramah.
Namun, Alea tetap terdiam. Wajahnya tanpa ekspresi, matanya menatap kosong ke arah yang entah di mana. Tak ada anggukan, tak ada gelengan. Hanya diam—diam yang menyimpan tangisan tak bersuara, seolah ia sedang mengumpulkan sisa-sisa keberanian untuk kembali menatap dunia yang terasa begitu menyakitkan.
Dalam kesunyian, Alea melangkah pelan, menggantungkan diri pada pendamping setianya, sang ibu mertua. Setiap langkah terasa berat, tubuhnya lemah, terutama saat sosok-sosok lelaki muncul di ujung pandangan, membuat dadanya berdebar tak menentu.
"Tenang, Sayang. Tidak akan ada yang berani menyakitimu lagi," ucap Ibu Maisaroh lembut.
Berkat pelatihan dari dokter, Ibu Maisaroh kini tahu cara menenangkan Alea. Dengan kesabaran dan kelembutan seorang ibu, ia mampu meredam ketakutan yang kerap menghantui perempuan itu.
Perlahan, ketulusan dan kesabaran Ibu Maisaroh membimbing langkah Alea menuju tujuan mereka: sebuah taman yang memancarkan keindahan dan ketenangan. Di tengah pepohonan rindang dan udara yang sejuk, Alea akhirnya duduk di sebuah bangku panjang. Perlahan, matanya mulai menatap sekitar, seolah mencoba merasakan kembali dunia yang lama ia tinggalkan.
Alea menatap sekeliling, memperhatikan beberapa pasien lain yang tampaknya juga sedang mencari ketenangan—sesuatu yang juga begitu ia butuhkan saat ini.
Tiba-tiba, suara lembut Ibu Maisaroh memecah kesunyian.
“Apakah kamu sudah merasa nyaman, Nak?” tanyanya penuh kehangatan.
Alea memutar tubuh pelan-pelan. Tatapannya yang kosong akhirnya bertemu dengan mata teduh Ibu Maisaroh.
“Kenapa?” bisik Ibu Maisaroh sambil mengelus lembut pipi Alea yang semakin tirus.
Alea hanya menggeleng pelan. Namun tepat pada saat itu, di sela bibir yang sedikit bergetar, muncul sebuah senyuman kecil—senyuman yang sudah lama sekali tak menghiasi wajahnya.
Hanya senyuman sederhana, tapi bagi Ibu Maisaroh, itu lebih berarti daripada seribu kata. Senyuman itu membuat hati Ibu Maisaroh terasa hangat. Sudah lama sekali ia tak melihat senyum manis dari menantunya itu.
“Sayang, Ibu ke kamar mandi sebentar, ya,” ucap Ibu Maisaroh dengan nada sedikit tergesa, sambil menepuk lembut bahu Alea.
Alea hanya mengangguk pelan, membiarkan Ibu Maisaroh meninggalkannya untuk sementara. Kini Alea duduk sendirian di bangku panjang itu, di bawah rindangnya pepohonan. Angin pagi berembus pelan, membawa aroma tanah basah setelah semalam diguyur hujan. Namun, semua itu terasa hampa di mata Alea yang hanya menatap kosong ke depan.
Tak lama kemudian, sebuah langkah terdengar mendekat. Alea merasakan kehadiran seseorang di sampingnya—seseorang yang jelas bukan Ibu Maisaroh. Suara langkah itu begitu nyata di antara keheningan taman, membuat jantung Alea berdegup kencang. Nafasnya mulai memburu, tangannya bergetar hebat, meremas ujung bajunya dengan gugup. Seolah tubuhnya memberi sinyal bahaya, meski orang itu belum berkata apa-apa.
Keringat dingin mulai bercucuran di dahi Alea, bercampur dengan napasnya yang tersengal-sengal. Matanya memerah, sorot ketakutan yang selama ini ia pendam kini tak lagi bisa disembunyikan.
...----------------...
Bersambung...