hana, seorang gadis remaja yang tiba-tiba menikah dengan seorang mafia tampan karena desakan posisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon vatic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kembali ke mansion
Hari ini adalah hari yang sangat di nantikan oleh Sean. Hari di mana Hana akhirnya boleh pulang ke mansion.
Tapi di balik wajah tenangnya, Sean menyimpan niat lain , niat untuk menuntaskan satu urusan yang masih menggantung: hukuman untuk Asya, sahabat Hana yang di anggapnya telah berkhianat.
Udara siang itu terasa hangat dan lembut ketika pintu kamar utama terbuka. Cahaya matahari menerobos dari sela tirai, menimpa lantai marmer yang mengilap.
Hana memejamkan mata sesaat, menghirup aroma ruangan yang begitu ia rindukan , aroma wangi bunga yang dulu selalu ia pilih sendiri untuk pengharum kamarnya.
“Sudah lama aku tidak mencium wangi ini…” bisiknya lirih, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Sean tersenyum kecil, memeluk tubuh mungil Hana yang masih berada dalam gendongannya.
“Sekarang kamu bisa kembali menghabiskan waktu di sini… tanpa rasa sakit, tanpa ketakutan,” ujarnya lembut.
Hana menatap sekeliling dengan mata berbinar. “Aku benar-benar merindukan kamar ini, Sean… setiap detailnya. Bahkan lukisan di dinding itu… rasanya seperti menatapku lagi.”
Sean menatap wajah istrinya penuh cinta, lalu menunduk mencium puncak kepalanya. “Sekarang istirahatlah. Kamu butuh tidur panjang setelah semua yang kamu lalui.”
Dengan hati-hati, Sean menurunkan Hana ke atas ranjang mereka. Seprai putih lembut menyambut tubuhnya, dan bantal empuk memeluknya dalam kehangatan.
Namun, ketika Sean hendak berdiri, tangan lembut Hana lebih dulu menahan pergelangan tangannya.
“Sean…” panggilnya pelan. “Apakah kamu tidak ingin menemaniku istirahat sebentar saja?” tanyanya dengan suara lembut namun penuh kerinduan. “Apakah urusanmu sepenting itu… sampai kamu harus pergi sekarang?”sambungnya.
Sean menatap wajah Hana lama sekali. Ada dua hal yang saling bertarung dalam dirinya, keinginannya untuk membalas apa yang sudah di lakukan asya juga tanggung jawabnya sebagai suami yang tak ingin membuat istrinya kecewa.
Ia menarik napas panjang, menutup matanya sejenak. Lalu dengan lembut, dia tersenyum dan mengangguk.
“Tidak ada yang lebih penting darimu,” ujarnya akhirnya.
Hana tersenyum tipis, senyum yang membuat Sean seketika luluh.
Sean pun menyingkap seprai, lalu berbaring di sampingnya. Ia menarik tubuh Hana ke pelukannya, menyandarkan kepala istrinya di dada kirinya.
Hana memejamkan mata, mendengar degup jantung Sean yang berirama tenang, sesuatu yang selalu membuatnya merasa aman.
“Terima kasih… sudah tidak meninggalkanku,” gumam Hana di sela napas yang mulai melambat.
Sean menatap wajah istrinya yang tertidur damai. Jarinya menyapu lembut pipinya, dan matanya berubah sayu.
Ia membisikkan sesuatu nyaris tak terdengar,
“Maaf, sayang… setelah kamu terlelap, aku masih punya satu hal yang harus kuselesaikan.”
Cahaya matahari menimpa wajah mereka, menciptakan bayangan lembut di dinding kamar.
di ruangan bawah tanah, Udara di ruangan itu begitu pengap. Lembab, dingin, dan berbau karat besi bercampur debu yang menempel di setiap dinding tua.
Lampu redup di langit-langit bergoyang perlahan, menimbulkan bayangan yang bergetar di wajah Asya, yang kini duduk terikat di kursi besi, kedua tangannya membiru karena tali yang terlalu kencang.
Nathan berdiri di depan pintu, tubuh tegapnya menunggu dengan sabar , atau mungkin tidak sabar karena menanti seseorang yang akan datang untuk mengakhiri semua ini.
Setelah itu Matanya menatap tajam ke arah Asya yang mulai gemetar. "Sebentar lagi," gumam Nathan, nada suaranya berat dan penuh nada puas. “sebaiknya siapkan mentalmu. Sean tidak akan datang dengan belas kasihan.”
Kata-kata itu membuat darah Asya seolah berhenti mengalir. Napasnya sesak, dadanya naik-turun cepat. Ia tak tahu apa yang menunggunya, tapi bayangan wajah Sean saja sudah cukup membuatnya hampir pingsan.
Lalu suara langkah itu datang. Langkah tegas, mantap, dan berat, bergema di sepanjang lorong sempit sebelum akhirnya berhenti tepat di depan pintu besi.
Pintu yang berderit pelan ketika terbuka, dan di baliknya berdiri sosok Sean. Tubuhnya tegak, matanya gelap tanpa sedikit pun cahaya belas kasih. Sorotnya menembus, membuat udara di ruangan itu terasa jauh lebih dingin dari sebelumnya.
“Asya…”
Hanya satu kata, tapi cukup membuat tubuh wanita itu merinding sampai ke tulang.
Sean tidak langsung bicara lagi. Ia berjalan perlahan mendekat, suaranya nyaris tak terdengar selain denting sepatunya yang menggesek lantai semen. Setiap langkahnya seperti bunyi jam kematian yang berdetak menuju akhir.
Ketika ia sudah berdiri tepat di depan Asya, Sean menatapnya lama , sangat lama. hingga akhirnya ia berucap lirih, tapi dengan nada tajam yang mampu merobek keheningan.
“Apakah kamu tertarik padaku?”
Asya terperangah. “T-tidak… aku tidak—”
“Benarkah?” potong Sean cepat. Suaranya tenang, tapi nada di baliknya mengandung ancaman yang tak terbantahkan.
Asya hanya bisa menggeleng panik.
“Kamu tahu apa yang sudah kamu lakukan pada Hana-ku?”
Nada 'Hana-ku' diucapkannya dengan tekanan, seolah nama itu adalah milik suci yang tak boleh disentuh oleh siapapun.
Asya tak menjawab, hanya menangis pelan sambil menggeleng-geleng.
Sean menunduk sedikit, menatap lurus ke matanya. Tatapan itu begitu dalam, seperti jurang yang menelan semua keberanian yang tersisa.
“Kalau begitu biar aku jelaskan…” katanya perlahan, “apa yang sudah kamu perbuat , adalah sesuatu yang bahkan seribu kali kematian pun tidak akan cukup untuk menebusnya.”
Asya menatapnya dengan mata melebar, ketakutan. “A-apa maksudmu…?” suaranya bergetar.
Sean tersenyum dingin , senyum yang lebih menyeramkan dari amarah.
“Nathan.”
Nathan melangkah maju.
Suara sepatu botnya menghantam lantai, menciptakan gema rendah yang menggigit di telinga.
Sean menatap Asya sekali lagi, lalu berkata dengan nada yang datar namun tajam seperti bilah pisau,
“Dia menyentuh tangan istriku. Dia mencoba menodai yang suci. Maka pastikan… tidak ada satu pun bagian dari dirinya yang bisa mengulanginya lagi.”
Asya menjerit kecil, tapi Sean tidak bergeming. Ia bahkan tidak berkedip. Tak ada amarah yang meledak, hanya ketenangan yang mengerikan, seperti malaikat maut yang datang tanpa suara.
Nathan tersenyum tipis. “Perintah diterima.”
Setelah itu nathan dengan kedua orang anak buahnya memulai aksinya dalam menjalankan perintahnya sean.
Dia mulai melucuti semua pakaian asya, hingga wanita itu telanjang bulat tanpa pakaian. asya meronta dengan jeritan yang mengerikan.
Tubuhnya yang meliuk-liuk membuat tatapan kedua orang di samping nathan smpai mengeluarkan air liurnya. apalagi merek melihat keindahan area selangkangan asya. yang terdapat buku halus yang sangat indah.
Bentuk kakinya yang di buat mengangkang lebar, semakin memperjelas bentuk dan keindahannya, dan bisa di pastikan kalau gadis itu masih perawan.
nathan yang sadar akan keduanya langsung me oleh. " apakah kalian ingin menikmatinya lebih dulu..? " tanyanya. dan keduanya serentak mengangguk semangat.
Asya yang melihat itu langsung berteriak " jangan macam-macam kamu ya,,, aku,, aku akan lapor polisi nanti..!" .
Baik nathan atau kedua orang itu langsung tersenyum kecil "bermainlah sampai kalian puas..!".kata nathan yang langsung menarik diri ke belakang.
Menyadari kalau sepertinya permainan akan lama, sean pun berbalik perlahan, meninggalkan ruangan itu dengan langkah yang sama tenangnya seperti saat datang.
Namun sebelum pintu tertutup, suaranya terdengar lagi , tenang, tapi menusuk tulang.
“Bersihkan tempat ini setelah selesai. Aku tidak ingin Hana tahu… bahwa rumahnya pernah ternoda oleh pengkhianat.”
Pintu menutup dengan bunyi dentang berat.
Dan sesaat kemudian, ruangan itu kembali diselimuti suara napas Asya yang tersengal, berganti dengan keheningan yang mematikan.
" Mulailah,,, setelah itu,, lepaskan semua kulit indahnya dari daging dan tulangnya..! " kata nathan tegas tanpa bantahan.
Dan keduanya menjawab dengan semangat "SIAP BOS. ".
so be smart don't be stupid