NovelToon NovelToon
Adik Tiri Kesayangan Si Kembar

Adik Tiri Kesayangan Si Kembar

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Kembar / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Romansa / Fantasi Wanita
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Hazelnutz

Sejak bayi, Eleanor Cromwel diculik dan akhirnya diasuh oleh salah satu keluarga ternama di Kota Olympus. Hidupnya tampak sempurna dengan dua kakak tiri kembar yang selalu menjaganya… sampai tragedi datang.

Ayah tirinya meninggal karena serangan jantung, dan sejak itu, Eleanor tak lagi merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang kejam. Namun, di balik dinginnya rumah itu, dua kakak tirinya justru menaruh perhatian yang berbeda.

Perhatian yang bukan sekadar kakak pada adik.
Perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh.

Di antara kasih, luka, dan rahasia, Eleanor harus memilih…
Apakah dia akan tetap menjadi “adik kesayangan” atau menerima cinta terlarang yang ditawarkan oleh salah satu si kembar?

silahkan membaca, dan jangan lupa untuk Like, serta komen pendapat kalian, dan vote kalau kalian suka

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9

Udara kafe yang semula hangat berubah panas begitu Daniel dan Dominic saling berhadapan. Tatapan mereka sama tajamnya, rahang mengeras, dan masing-masing menahan emosi yang hampir meledak.

“Lo puas sekarang?” Daniel membuka suara duluan, nada dinginnya menusuk. “Ela nggak ada di sekolah, hilang entah ke mana, dan lo malah keluyuran dengan orang-orang nggak jelas. Apa itu yang lo sebut jaga adik?”

Dominic tersenyum sinis, lalu bersandar di kursinya dengan gaya seakan menantang. “Lucu lo, Dan. Lo yang pasang muka malaikat di rumah, sok jadi kakak sempurna, padahal jelas-jelas Ela paling nggak nyaman sama lo. Kalau gue? Minimal gue ada di jalan nyariin dia, bukan cuma nyuruh sekretaris kayak bos kantor.”

Daniel mengetuk meja dengan keras, membuat cangkir di atasnya bergetar. Suara dentingannya menarik beberapa pasang mata pelanggan lain. “Hati-hati ngomong, Dom. Gue masih kakak tertua di keluarga ini. Gue nggak butuh lo ngajarin gue gimana cara ngurus adik gue.”

Dominic langsung membalas, suaranya meninggi. “Adik kita, Dan! Lo kira lo doang yang peduli sama Ela? Jangan bawa-bawa status lo yang sok jadi kepala keluarga itu. Nyatanya, lo nggak lebih becus dari gue!”

Rio yang duduk di samping Dominic mencoba melerai, “Sudah, bos—” tapi kalimatnya terhenti begitu satu pukulan dari Dominic mendarat keras di rahangnya. Rio terduduk, meringis, memilih diam karena tahu kalau suasana udah di luar kendali.

Beberapa pelanggan di meja lain sudah berbisik-bisik, ada yang bahkan berdiri, siap keluar kalau pertengkaran itu berubah jadi perkelahian besar. Daniel mendorong kursinya ke belakang dengan kasar, berdiri, menatap adiknya tanpa berkedip. “Kalau lo ngerasa lebih baik dari gue, buktikan! Jaga Ela dari semua masalah yang dia hadapi, termasuk ib—” ucapannya terhenti, rahangnya mengeras, “—termasuk dari orang rumah.”

Dominic juga berdiri, mencondongkan tubuhnya ke depan, siap menabrak Daniel kapan saja. “Jangan seolah-olah lo paling ngerti penderitaan Ela. Lo sibuk sama perusahaan, sama urusan bisnis lo. Sementara gue tiap hari lihat Ela berjuang di rumah. Gue tahu lebih banyak daripada lo!”

Meja di antara mereka hampir terguncang karena tangan Daniel menghantam permukaan kayunya. Wajahnya memerah, nadanya bergetar menahan emosi. “Kalau bukan karena gue, lo dan Ela bahkan nggak akan bisa hidup senyaman sekarang! Semua yang lo punya, semua yang Ela pakai, itu dari gue!”

Dominic terkekeh, nada tawanya dingin. “Lo pikir uang lo bisa gantiin apa yang Ela rasain? Lo pikir Ela butuh harta lo? Yang dia butuh cuma pelindung nyata, bukan kakak yang sibuk jaga citra keluarga Cromwel!”

Situasi makin memanas, beberapa barista di belakang meja kasir mulai panik, ada yang hampir menekan nomor darurat.

Dan di tengah ketegangan itu, suara Rafael terdengar. Lembut, tapi tegas, menusuk di antara teriakan dua kakak beradik.

“Tuan-tuan sekalian…” Rafael melangkah pelan ke depan, menyelipkan senyum ramah di wajahnya. “Kalau mau ribut, silakan lakukan di luar. Jangan di sini. kalian bisa lakukan itu diluar.”

Suaranya tenang, tapi berwibawa. Beberapa pelanggan sampai menoleh kaget karena tidak menyangka seorang barista culun dengan kacamata tebal berani bicara begitu.

Daniel dan Dominic sama-sama melirik ke arahnya, tatapan mereka penuh amarah. Namun Rafael menundukkan wajah sedikit, menyesuaikan kacamatanya agar menutupi ekspresi aslinya. Dalam hati, ia tahu kalau salah satu dari mereka mengenalinya, situasi bisa tambah runyam.

Keheningan singkat. Lalu Daniel mendengus keras, menarik kursinya kembali, dan duduk. Dominic mengikuti dengan gerakan malas, tapi tatapannya masih menusuk Daniel.

Mereka sama-sama terdiam, masing-masing meraih cangkir kopi yang baru disajikan. Meski duduk, aura tegang tetap menyelimuti meja itu.

Dan di sudut ruangan, Elanor hanya bisa terduduk diam. Wajahnya pucat, jemarinya saling meremas di bawah meja, berusaha sekecil mungkin agar tidak terlihat mencolok.

Elanor yang sejak tadi berusaha sembunyi di balik bayangan akhirnya tak sengaja melirik ke arah kedua kakaknya. Hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk Dominic menangkap tatapan itu.

Alis Dominic terangkat, kursinya langsung bergeser. Ia hampir berdiri, siap memastikan apa yang baru saja dilihatnya. Namun sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, Rafael sudah sigap menghampiri meja Elanor.

“Sayang, belum pulang?” suara Rafael terdengar jelas, cukup untuk menyita perhatian Dominic.

Elanor spontan menoleh, wajahnya memanas, pipinya memerah menahan malu. Kata “sayang” dari mulut Rafael sukses membuat jantungnya berdegup tak karuan. Namun Rafael sempat menunduk sedikit, berbisik pelan hanya untuknya.

“Nona, ikuti saja alurnya.”

Elanor menelan ludah, matanya menunduk, lalu mengangguk kecil.

Rafael kembali menegakkan tubuh, kali ini lebih lantang tapi tetap lembut, “Sini, aku anterin ke depan. Nanti hati-hati di jalan, ya.”

Ela hanya bisa menurut. Ia berdiri, langkahnya pelan mengikuti Rafael menuju pintu kafe.

Dari meja, Dominic memperhatikan dengan tatapan tajam. Sesuatu terasa janggal, tapi ia tak bisa langsung bergerak. Bibirnya akhirnya berbisik dingin, “Rio, ikuti mereka.”

Rio, yang masih menahan sakit di rahangnya, hanya mengangguk lemah. Dengan napas panjang, ia bangkit dan mengikuti perintah sang tuan.

Di luar, udara malam terasa lebih dingin. Rafael berhenti sejenak, lalu merogoh saku jaketnya. Ia mengeluarkan sebuah kunci apartemen, lalu meletakkannya di telapak tangan Elanor.

“Ini. Apartemenku, aman untukmu. Gedung Orion Residence, Tower B, lantai enam, kamar nomor 605. Letaknya nggak jauh dari pusat kota, dekat taman OlympuS. Kalau ada apa-apa, pergilah ke sana,” ucap Rafael rendah, hanya cukup didengar Elanor.

Ela terdiam, matanya berkaca-kaca, lalu mengangguk pelan. Dengan suara lirih nyaris bergetar, ia berucap, “Terima kasih… Rafa.”

Rio yang berdiri tidak jauh, pura-pura menyalakan rokok, mendengar semuanya. Matanya sempat melirik ke arah kunci di tangan Elanor, rahangnya mengeras.

Elanor kemudian melangkah pergi, menyusuri trotoar dengan langkah kecil. Rafael menatap punggungnya hingga benar-benar hilang di tikungan jalan.

Saat Rafael hendak kembali masuk, ia berpapasan dengan Rio. Pemuda itu hanya tersenyum kecil, ramah tapi penuh arti. Rio membalas dengan tatapan datar, tak berkata apa-apa.

Elanor semakin jauh, tubuh mungilnya lenyap ditelan gelap kota. Dan di balik jarak aman, Rio mulai melangkah, mengikuti tanpa suara, memastikan dirinya tak ketahuan.

Langkah Elanor makin cepat ketika melewati gang kecil yang remang. Malam sudah larut, hanya ada lampu jalan seadanya yang berkelip samar. Tiba-tiba, dari sisi gang, beberapa pria berwajah kasar muncul, bau alkohol menyengat dari napas mereka.

“Hei, manis… malam-malam sendirian? Mau ditemenin abang-abang ganteng ini?” salah satu dari mereka bersuara, matanya menyapu tubuh Elanor dari atas ke bawah.

Elanor tertegun, jantungnya berdegup kencang. Ia menunduk, mencoba tetap melangkah cepat, pura-pura tidak mendengar.

Namun, seorang pria dengan jaket lusuh menghadang langkahnya. “Mau kemana, Nona cantik? Jangan sombong lah… sekali-sekali jalan bareng kita.”

“Aku harus pergi,” suara Elanor bergetar. Ia mencoba menghindar, tapi tangan kasar itu lebih dulu mencengkeram pergelangannya.

“Ah, jangan buru-buru. Sini, sama abang dulu…” ucapnya dengan senyum licik, menarik tubuh Elanor hingga terhimpit ke dadanya.

Elanor meronta, menendang dan berusaha melepaskan diri. “Lepaskan! Jangan sentuh aku!” suaranya pecah panik.

Bugh!

Sebuah pukulan mendarat telak di pipi pria itu. Si pemegang Elanor terhuyung ke belakang, hampir jatuh. Elanor terlepas, langsung terduduk di tanah, terengah-engah.

Di hadapannya, sosok Rio berdiri, tangan terkepal dengan wajah meringis. “Aduh…tangan gue yang berhaga” gerutunya sambil mengibaskan jari-jarinya.

Mata Elanor membulat, kaget sekaligus bingung. Tanpa berpikir panjang, begitu sadar ia bebas, ia bangkit dan langsung berlari keluar gang.

“Hey! Kejar dia!” teriak salah satu preman.

Beberapa pria lain segera bergerak, langkah mereka berdebam di aspal. Elanor semakin panik, napasnya terengah, rambutnya berantakan.

Di belakang, suara Rio menggema, setengah marah setengah cemas. “TUNGGU! BERHENTI!”

Tapi Elanor tidak menoleh Kakinya hanya tahu satu hal, Yaitu lari.

Langkah Elanor makin kacau, napasnya memburu, dan seragam sekolahnya yang masih lembab membuat tubuhnya semakin berat untuk berlari. Suara sepatu preman-preman itu semakin dekat, bayangan mereka menari di dinding bangunan sepanjang jalan.

“Elanor! Berhenti!” suara Rio terdengar lagi dari belakang, keras, tapi juga panik.

Elanor menoleh sekilas, justru membuat kakinya salah pijak. Hampir saja ia terjungkal menabrak sebuah tong sampah di sudut jalan. Tangannya terulur ke depan, berhasil menahan tubuhnya sebelum jatuh sepenuhnya. Jantungnya hampir copot.

“Sini kau!” teriak salah satu preman. Tangan mereka hampir meraih bahu Elanor.

Namun Rio datang lebih dulu. Bughh! Tinju kerasnya mendarat di perut preman pertama. Lalu dengan putaran cepat, ia menyikut wajah preman lain yang hendak menarik rambut Elanor. Dua orang itu langsung ambruk, meringis kesakitan.

“Lari terus, Ela! Jangan nengok ke belakang!” teriak Rio, meski matanya terus menatap tajam ke arah para preman.

Elanor terengah-engah, menuruti kata-katanya. Kakinya kembali melangkah sekuat tenaga, meski lututnya hampir gemetar tak sanggup lagi.

Tiga preman lain masih mengejar, dan salah satunya mengayunkan botol pecah ke arah Rio. Dengan refleks Rio menangkisnya pakai lengan, lalu menendang keras ke lutut pria itu hingga ia jatuh tersungkur. “Sialan kalian!”

Tapi Rio juga tidak bisa sepenuhnya meninggalkan Elanor. Sambil menangkis dan memukul, matanya sesekali melirik ke arah langkah Elanor yang makin menjauh, memastikan gadis itu tetap selamat.

“Ela! Terus berlari, cepat!”

Elanor menahan air matanya, tapi suaranya pecah di dalam dada. Dia ingin berhenti, ingin menoleh, tapi ketakutan membuatnya terus berlari.

Suara pukulan, teriakan marah preman, dan Rio yang terus menghalangi mereka berpadu di belakangnya, membuat malam itu seperti mimpi buruk yang tidak ada ujungnya.

Langkah Elanor akhirnya goyah. Napasnya sudah habis, dadanya sesak. Kaki kecilnya tersandung batu di pinggir trotoar dan—bruk!—ia jatuh tersungkur ke jalan. Lututnya perih, tangannya lecet. Saat mencoba bangkit, tiba-tiba satu tangan kasar menarik lengannya.

“Hei, manis, jangan kabur lagi—” suara parau preman itu terdengar menjijikkan. Ia menarik Elanor ke dadanya yang bau alkohol.

“Lepas! Lepas!!” Elanor meronta sekuat tenaga, air mata bercampur keringat di pipinya.

Rio yang baru saja menumbangkan satu lawan melihat itu. “ELAA!!” teriaknya dengan suara serak. Tanpa pikir panjang ia berlari sekuat tenaga, tubuhnya menerjang ke arah preman yang sedang menyeret Elanor.

Namun—prakkk! Botol kaca pecah menghantam kepalanya. Rio langsung terhuyung, darah segar merembes di pelipisnya. Ia berusaha berdiri, tapi tubuhnya tak kuat. Dalam hitungan detik, ia terhempas ke aspal, pingsan.

Elanor terperangkap dalam kengerian. Ia jatuh terduduk, mundur pelan-pelan dengan pantatnya, menjauh dari preman yang kini melangkah mendekat. Tubuhnya gemetar hebat, suara tangisnya tertahan di tenggorokan. “Tolong… jangan…”

Tiba-tiba—

BUGHH!!

Sebuah pukulan telak menghantam wajah preman itu dari samping, membuatnya terpelanting. Elanor mendongak, matanya membelalak. Sosok yang sangat ia kenal berdiri tegap di hadapannya.

Dominic.

Wajahnya dingin, rahangnya mengeras, tatapannya tajam seperti binatang buas.

“Kalian berani sentuh adikku?” suaranya rendah, namun penuh ancaman.

Preman-preman yang tersisa sempat mencoba menyerang, tapi Dominic bergerak cepat. Tinju, tendangan, bahkan hantaman lututnya membuat mereka tak berkutik. Suara daging dipukul, teriakan kesakitan, dan tubuh yang jatuh berdebam memenuhi jalan sempit itu. Satu per satu tumbang.

Dalam hitungan menit, hanya Dominic yang masih berdiri. Dadanya naik-turun, tangannya berlumur darah, entah darah musuh atau dirinya sendiri.

Elanor menatapnya dengan mata penuh air, tubuhnya masih gemetar karena ketakutan. Ia ingin bicara, tapi suaranya tercekat. Dunia berputar, pandangannya kabur.

“Ela…” Dominic memanggil lirih begitu melihat adiknya terhuyung. Ia cepat menghampiri, tapi Elanor lebih dulu kehilangan kesadaran. Tubuhnya limbung, jatuh tepat ke pelukan kakaknya.

Dominic terdiam sepersekian detik, jantungnya berdegup kencang. “Sial… Ela… bangun!” suaranya parau, penuh panik. Ia merapatkan pelukan, lalu dengan cepat mengangkat tubuh rapuh itu ke dalam gendongannya.

Ia menoleh sebentar ke arah Rio yang pingsan di pinggir jalan, tapi tak ada waktu lagi. Dominic menggertakkan gigi, meninggalkan motornya, meninggalkan Rio, hanya ada satu hal di kepalanya: membawa Elanor pergi dari kengerian malam itu.

Langkahnya berat namun pasti, menjauh dari jalan penuh kaca pecah dan preman terkapar.

Malam terasa begitu dingin, namun pelukan Dominic pada adiknya justru semakin erat.

1
Nanabrum
Ngakakk woyy😭😭
Can
Lanjuuutttt THORRRRR
Andr45
keren kak
mirip kisah seseorang teman ku
air mata ku 😭
Andr45
wow amazing 🤗🤗
Can
Lanjut Thor
Cikka
Lanjut
Ken
Semangaaat Authooor, Up yang banyakk
Ken
Udah ngaku ajaaa
Ken
Jangan tidur atau jangan Pingsan thor😭😭
Ken
Nahh kann, Mulai lagiii🗿
Ken
Wanita Kadal 02🤣🤣
Ken
Bisa hapus karakter nya gak thor🗿
Ken
Kan, Kayak Kadal beneran/Panic/
Ken
Apaan coba nih wanita kadal/Angry/
Vytas
mantap
Ceyra Heelshire
gak bisa! mending balas aja PLAK PLAK PLAK
Ceyra Heelshire
apaan sih si nyi lampir ini /Panic/
Ceyra Heelshire
wih, bikin novel baru lagi Thor
Hazelnutz: ehehe iyaa😅
total 1 replies
RiaChenko♥️
Rekomended banget
RiaChenko♥️
Ahhhh GANTUNGGGGG WOYYY
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!