Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.
Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.
Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.
Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.
Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.
Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 17
Azka duduk di kursi kerjanya, mata fokus meneliti berkas-berkas penting. Tangannya sibuk menandatangani dokumen, hingga dering notifikasi ponselnya memecah konsentrasi.
Sebuah pesan dari Mamihnya muncul di layar:
> Sepulang dari kantor, langsung ke mansion. Ajak Aksa sekalian.
Azka membalas singkat, Oke, lalu meletakkan ponsel di meja. Ia kembali memfokuskan diri pada pekerjaan, tapi pikirannya justru terganggu oleh satu sosok.
Wajah Zia.
“Ckk… gue ngapain sih mikirin dia?” gumam Azka sambil menggeleng pelan. Tapi rasa penasaran itu menolak pergi. Ada sesuatu yang terasa… familiar.
“Kenapa, ya… wajah dia kayak nggak asing di kepala gue,” ucapnya sambil memijat pelipis.
Tiba-tiba, ia membuka laci meja dan mengeluarkan sebuah kalung berbentuk hati—terbelah dua. Satu potongan ia simpan sejak kecil, sementara potongan lainnya pernah ia berikan pada seorang gadis mungil berusia lima tahun.
“Secepatnya… aku akan menemukan kamu, Mimi,” ucap Azka pelan, penuh tekad.
---
Sementara itu, di sekolah…
Zia duduk di kantin, menikmati nasi goreng hangat dan segelas jus mangga. Namun, baru saja ia menyendok suapan ketiga, sebuah sensasi dingin menyapu kepalanya.
Byur!
Jus mangga tumpah tepat di rambutnya, mengalir membasahi seragam. Suara decak kaget terdengar dari siswa-siswa sekitar.
Pelakunya berdiri di belakangnya—Grey, dengan Talita di sampingnya. Senyum miring menghiasi wajah Grey, sedangkan Talita terkekeh puas.
“Kamu apa-apaan sih?!” Zia berdiri, napasnya memburu.
“Upps, maaf. Kita kira ini tempat sampah, soalnya… usang,” jawab Grey santai, nada suaranya jelas merendahkan.
Talita menambahkan tawa renyah penuh ejekan. “Hahaha… cocok banget sih.”
---
Di meja seberang, Leon, Lian, dan Edgar duduk bersama Aksa. Keempatnya menyaksikan adegan itu.
“Lo nggak ada niatan bantu tuh cewek?” tanya Leon sambil melirik Aksa.
“Enggak,” jawab Aksa datar.
“Kasian anjir,” celetuk Lian sambil mengernyit.
Aksa terdiam sejenak. Dalam hatinya, ia sebenarnya tidak suka melihat Zia dipermalukan. Tapi egonya terlalu tinggi untuk langsung bergerak.
“Udahlah, bukan urusan kita juga,” katanya akhirnya. “Lagian gue nggak mau berurusan sama tuh cewek…” Aksa menunjuk Talita dengan dagunya, tatapannya tajam.
mereka bertiga saling pandang, menyadari bahwa sebenarnya Aksa sedang menahan sesuatu.
____
Setelah kejadian memalukan di kantin, Zia berjalan cepat menuju toilet. Rambutnya masih basah, seragamnya lengket oleh jus mangga. Beberapa siswa yang dilewatinya hanya melirik tanpa berniat membantu.
Lorong menuju toilet sepi. Hanya suara langkah kakinya yang terdengar. Namun tiba-tiba—dukh!—seseorang mendorongnya cukup keras hingga punggungnya membentur dinding.
Talita berdiri di depannya, senyumnya penuh kemenangan.
“Gue rasa tadi di kantin belum cukup,” ujarnya sinis. “Biar semua orang tau kalau anak baru itu nggak pantes ada di sini.”
Zia mengangkat wajahnya, matanya menatap tajam. “Kalau kamu punya masalah sama aku bukan gini caranya?”
Ia mencoba mendorong Talita, tapi Talita justru menahan dan menekan bahunya.
“Dasar—”
Suara langkah berat memotong kalimat Talita. Dari ujung lorong, Aksa muncul. Wajahnya datar, tapi matanya… dingin dan menusuk.
“Talita.” Suaranya rendah, tapi cukup untuk membuat udara seketika menegang.
Talita sedikit terkejut. “A-Aksa… ini nggak kayak yang kamu pikir—”
“Gue nggak peduli ucapan Lo ala” potong Aksa, nadanya tegas. Ia melangkah mendekat, berdiri di antara Talita dan Zia. “Gue peringatin sekali ini, Jangan usik dia lagi.”
Talita terdiam. Untuk pertama kalinya, ia melihat Aksa bicara dengan nada yang begitu… melindungi seseorang—dan itu bukan dirinya. Bibirnya terkatup rapat, lalu ia mundur satu langkah, menatap Zia dengan tatapan penuh benci sebelum pergi.
Lorong kembali hening. Zia masih berdiri di tempat, napasnya sedikit memburu.
Aksa melirik ke arah seragamnya yang basah. “Sini.”
“Apa?” Zia mengernyit.
Tanpa banyak bicara, Aksa melepas jaket hitam yang ia kenakan, lalu menyampirkannya di pundak Zia.
“Tutupin. Seragam lo setengah basah,” ucapnya singkat.
Zia memegang ujung jaket itu, bingung harus berterima kasih atau merasa semakin aneh dengan sikapnya.
“ternyata kamu bisa peduli juga ya?” tanyanya pelan.
Aksa hanya menatapnya sesaat, lalu mengalihkan pandangan. “Jangan banyak ngomong."
Setelah itu, ia berjalan pergi, meninggalkan Zia yang masih berdiri dengan hati yang entah kenapa terasa berdebar.
____
Zia berdiri di halte, menunggu angkutan umum lewat. Angin sore berhembus pelan, membuat ujung rambutnya sedikit berantakan.
Alasannya tidak pulang bareng Aksa sederhana—ia malas berurusan dengan Talita lagi.
Tiba-tiba, suara klakson membuatnya menoleh. Sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Jendela turun, menampilkan wajah Aksa yang menatap heran.
“Kenapa lo nggak mau pulang sama gue?” tanya Aksa langsung.
Zia mengangkat alis. “Takut pacar kamu marah lagi.”
Aksa mendengus. “Ckk… dia bukan cewek gue.”
“Bohong banget,” sahut Zia singkat, memutar bola matanya.
“Udah, ayo naik. Gue mau ke mansion Mamih. Tapi sebelum itu mampir ke mansion Oma dulu,” ujar Aksa sambil melirik kursi penumpang.
Zia ragu sejenak, lalu membuka pintu dan masuk. “Kamu mau pakai pakaian apa nanti? Aku siapin.”
“Apa aja… asal jangan yang norak,” jawab Aksa santai.
Zia melirik ke arahnya. “Kenapa kamu nggak tinggal aja sama orang tua kamu?”
Aksa menatap jalan di depan, ekspresinya berubah sedikit serius. “Karena gue kagak betah. Mereka selalu ngebanding-bandingin kita berdua.”
Zia terdiam, mulai memahami sedikit demi sedikit sisi lain dari Aksa yang jarang ia lihat.
___
Akhirnya Zia dan Aksa tiba di mansion dengan selamat. Mobil putih itu melaju pelan memasuki gerbang tinggi berornamen besi hitam, disambut taman depan yang rapi dengan air mancur di tengah.
Di teras, Azka sudah berdiri bersandar pada tiang, mengenakan outfit santai seperti di gambar—jaket hitam, kaos putih, celana jeans longgar, dan sneakers putih bersih. Matanya menyipit tajam ke arah mobil Aksa yang baru berhenti.
“Lama,” ucap Azka datar saat Aksa dan Zia mendekat.
“Wajar lah, kita naik mobil, bukan terbang,” balas Aksa santai sambil melangkah masuk.
Zia tersenyum lebar, lalu melirik Azka. “Kak, kamu sangat tampan,” ucapnya sambil mengedipkan mata, lalu berlari kecil melewati pintu.
Azka terdiam sejenak, lalu terkekeh. “Gadis gila…” gumamnya, namun senyum tipis tetap bertahan di wajahnya.
★★
Zia langsung berlari ke depan kamarnya dengan napas tersengal. Begitu sampai, ia menyandarkan tubuhnya ke pintu sambil menutup wajah.
“Ngapain sih tadi aku ngomong kayak gitu ke kak Azka,” gumamnya lirih, pipinya panas.
“Aduh… pasti kak Azka mikir Zia tuh cewek nggak bener,” lanjutnya sambil meremas ujung baju.
Belum sempat ia menenangkan diri, suara familiar terdengar dari arah pintu yang setengah terbuka.
“ngapain lo ngomong sendiri kayak orang gila?” sindir Aksa dengan nada malas.
...segitu aja dulu nanti aku kasih bab yang lebih woowww...