Setelah mendapatkan air sumur pertama, kedua, ketiga, keempat , kelima, dan keenam, tinggal ketujuh....konon di sumur inilah telah banyak yang hanya tinggal nama.....mengerikan !
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Artisapic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB XXVII KERATON SURO
Warga yang sedang menerima wejangan dari kakek Palon terheran-heran atas prilaku Lengser, semua jadi tersenyum sambil memandang Lengser.
"Jadi begitu ki sanak dan semuanya, bahwa hidup itu kalau bisa supaya berguna , baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain", tutur kakek Palon.
"Kalau maksud Lengser tadi dengan bahasa orang besar dan tinggi-tinggi itu apa kek ?" tanya Seta.
"Oh itu,....jadi begini ki sanak, Jawa ini dulunya dihuni oleh bangsa raksasa yang hidup sudah lama sekali, memang orangnya tinggi dan besar, karena saat itu masih banyak hewan-hewan yang tinggi dan besar pula, untuk menjaga kehidupan umat manusia maka sosok tubuh manusia juga tinggi dan besar, begitu ", tutur kakek Palon.
"Apa ada yang mengatur, maksudnya pada jaman itu sudah ada peradaban kek," kata Sabdo.
"Ada, di Jawa ini sudah ada peradaban, bahkan sudah berbentuk pemerintahan, ada yang memimpin, dan itu justru seorang wanita yang menjadi ratu atau rajanya," kata kakek Palon.
"Kapan itu semua terjadi kek, bukankah cerita manusia itu berawal dari Adam kek," seloroh Seta setelah minum kopi.
"Iya, Adam itu utusan atau Nabi, memang benar, generasi Adam itu kan ada dua ki sanak, pertama terlahir laki-laki sama peremuan atau perempuan sama laki-laki, begitu kembarannya, lalu generasi ke dua itu laki-laki sama laki-laki, atau perempuan sama perempuan , jenis kembarannya, jadi seperti itu generasi Adam," tutur kakek Palon.
"Lantas kapan itu ada pemimpin wanita kek," kata Lengser.
"Jadi begini ki sanak, pada generasi kedua ada anak kembar perempuan yang diberi nama Pratiwi dan Pertiwi, mereka lahir di tanah yang subur dan saat itu Adam dan istrinya hidup di tanah itu selama ratusan tahun, hingga Pertiwi saat itu tidak mau diajak bersama kedua orang tuanya, akhirnya ia hidup di tanah yang subur itu sendiri. Bahkan untuk mempertahankan hidupnya ia menanam padi di situ sampai ia banyak memilki tabungan padi, suatu saat datang para kafilah ke tempat itu, karena lama tidak bertemu, maka kafilah itu yang sesungguhnya merupakan saudaranya juga, akhirnya hidup di tempat Pertiwi, bahkan ada di antara kafilah yang saat itu berjumlah 7 orang, yakni 4 laki-laki dan 3 perempuan, akhirnya satu laki-laki tadi menikah dengan Pertiwi. Makin lama makin banyak yang hidup di situ, mereka akhirnya memiliki keturunan dan terus menjadi banyak, hingga saudara-saudara atau kafilah yang datang itu sudah meninggal dunia. Dan saat itu hanya Pertiwi lah yang hidup paling tua di antara mereka sebagai keturunannya. Maka di angkatlah sebagai sesepuh mereka dan diberi julukan ibu Pertiwi", tutur kakek Palon.
"Lalu kek," kata Sabdo.
"Pertiwi yang menikah dengan Samba memiliki keturunan tiga belas anak, yang tertua adalah Sembada, dan jaman Sembada inilah pertama kali ada hukum dan aturan," kata kakek Palon.
"Hmmmm, jadi Sembada itu raja manusia pertama di tanah Jawa kek," ujar Seta.
"Ya....Sembada itu menjadi figur pemimpin manusia keturunan Adam di tanah Jawa dan nantinya membangun sebuah singgasana pusat pemerintahan yang dinamakan Kara ratuan Sura atau suro, yang menurut dialek manusia jadilah kata keraton suro," ujar kakek Palon.
"Hmmmmm....ternyata Jawa awal dari peradaban ya Kek, lantas siapa yang menjadi generasi dari keraton Suro itu kek," kata Sabdo.
"Generasi dari keraton suro itu adalah mereka yang menjalani hidup di dunia ini dengan akal dan budi, pikiran dan tingkah laku yang nanti akan berbuah akhlak, " jelas kakek Palon.
"Dimana itu letaknya kek ?" tanya Seta.
"Letak atau lokasi hanya bagi yang sudah dibatas kesadaran tinggi, boleh jadi jauh, bisa juga dekat, bergantung pada apa makna keraton dan apa makna suro," jawab kakek Palon.
Malam itu semakin berkembang dalam membahas keraton suro, yang konon berada di dataran rendah yang warganya bermatapencaharian sebagai petani, namun sangat dirahasiakan oleh setiap penduduknya, hingga anak cucu tidak mengenal nama itu lagi.
Pagi harinya, Sabdo, Lengser dan juga kakek Palon berpamitan dengan para warga di kampung itu, banyak kenangan yang tak terlupakan, banyak pesan yang akan menjadi panutan, saran akan dipegang, semua akan bertemu dan kembali akan berpisah.
Setelah berpamitan kemudian ketiga orang itu menuju ke sebuah hamparan luas dengan warna rumput yang hijau, dengan semak-semak menghiasi panorama itu. Di ujung hamparan itu, banyak anak gembala yang asyik meniup serulingnya, sementara hewan ternak dengan leluasa memakan rumput yang subur. Ketiga orang itu terus melewati hewan ternak yang asyik dengan makanannya, juga menyapa para anak gembala yang selalu sabar menjaga dan mengawasi hewan peliharaannya.
Tampak sebuah dangau yang begitu indah berdiri di sebuah telaga dengan jernihnya air, rindangnya pepohonan, membuat asri dan sejuk untuk melepas keletihan. Maka ketiga orang itu beristirahat sambil menyantap makanan pemberian warga di kampung tadi.
Siang itu mereka menikmati makanan dan juga minuman yang mampu membuat dahaga dan rasa lapar bisa diredam. Pandangan mereka dimanjakan oleh panorama indah kawasan itu. Banyak anak-anak berlarian, remaja yang asyik bercengkrama, juga ibu-ibu yang tekun memetik daun semanggi. Suasana yang penuh damai itu berubah menjadi sebuah pemandangan yang penuh kepanikan manakala sebuah petir di atas sana memamerkan kilatan peraknya lalu disusul bunyi menggelegar. Semua aktifitas berubah menjadi sebuah kegaduhan. Banyak yang berlari meninggalkan tempat itu, banyak pula jeritan anak-anak yang takut, juga sibuknya para anak gembala, sementara ketiga orang tadi hanya bisa menyaksikan semuanya.
Alam menjadi gelap, di atas sana mendung dengan pekatnya menutup sinar mentari, tiba-tiba, tanah bergetar dan bergoyang.
"Gempa....gempa...gempa.....", teriak seseorang yang lari meninggalkan lokasi itu.
"Iya ini gempa kek, gerangan apa yang akan terjadi nanti," ujar Sabdo.
"Ini hanya gempa biasa ki sanak, bukan pertanda buruk," jawab kakek Palon.
Ketiga orang itu hanya bisa diam dan memandang pemandangan yang tadi begitu asri dan sejuk, kini telah berubah, bahkan angin topan datang merobohkan beberapa pohon, dan juga disusul oleh hujan petir.
Bunyi petir dan guntur begitu menggelegar, dan saat itu hujan begitu derasnya. Banyak warga yang belum sempat pulang, mereka berteduh di dangau itu.
"Hujannya tidak seperti biasa, ada apa ya," kata seseorang yang berteduh.
"Iya ki sanak, hujan deras seperti, apa sering terjadi ki sanak," kata Lengser sambil bertanya.
"Justru itu ki sanak, ini baru terjadi selama saya hidup," jawab orang yang duduk di sisi Sabdo.
"Ini baru pertama kali terjadi," sambung yanh lain.
"Jadi baru terjadi ya, pantas mereka pada berlarian.
Hujan begitu derasnya, tiba-tiba , banyak petir yang saling berkilatan disusul bunyi guntur menggelegar, dan saat itu muncul sosok seperti burung merpati sebanyak 5 ekor.