“Tuhan, bila masih ada kehidupan setelah kematian, aku hanya ingin satu hal: kesempatan kedua untuk mencintainya dengan benar, tanpa mengulang kesalahan yang sama...."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.6
Setelah membeli makanan untuk Daisy, Damian langsung meluncur pulang. Dia sudah tak sabar untuk bertemu istri kesayangannya. Berpuluh menit kemudian, Damian sudah sampai dan meminta penjaga untuk memasukkan mobil ke garasi.
Dia langsung masuk setelah penjaga membuka kunci rumah. Senyumnya tak pernah surut dari wajah tampan tersebut. Saat sampai di kamar, Damian melihat Daisy sedang menyusui Vio sambil menguap dan menahan kantuk.
Pemandangan itu membuatnya haru. Damian sangat khawatir jika Daisy tidak ingin menyusui anaknya langsung. Masih hangat dalam ingatannya, saat tahu Daisy hamil, istrinya itu berusaha menggugurkan kandungannya.
Namun semua kekhawatirannya tidak terjadi. Daisy malah sangat menyayangi anak mereka.
“Sayang, aku pulang,” bisik Damian, kini sudah duduk di samping Daisy.
“Dami... Damian?” lirih Daisy. Rasa kantuk sungguh tidak bisa dia tahan.
“Iyaa, aku bawa makanan buat kamu,” jawab Damian. Mata Daisy langsung terbuka lebar, membuat Damian merasa lucu.
“Giliran makanan aja gercep,” cibir Damian, tertawa geli.
“Ya mau gimana lagi, aku lapar terus. Vio menyusunya kuat sekali, kayak takut kamu ambil,” canda Daisy.
“Dasar.” Damian mengacak rambut Daisy, membuat Daisy cemberut. Namun, dalam hati ia merasa senang akan hal itu.
Damian mengambil Vio yang sudah terlelap, lalu memindahkan bayi cantik tersebut ke box-nya. Setelah itu, ia mengajak Daisy keluar ke balkon. Malam sudah turun sempurna, angin berhembus lembut membawa aroma tanah basah. Bintang-bintang bertebaran, sesekali ditemani suara jangkrik dari halaman.
“Sebentar, aku buatkan minum dulu,” kata Damian. Daisy hanya mengangguk.
Damian kembali dengan dua cangkir teh First Flush Darjeeling untuk menemani mereka berdua.
First Flush Darjeeling dianggap sebagai salah satu teh terbaik yang diproduksi di seluruh dunia. Ini adalah panen paling awal setiap tahun, biasanya dipetik pada bulan April ketika hujan musim semi pertama menyebar di kaki bukit Himalaya, mengubah kebun menjadi hijau dengan warna-warna yang cemerlang.
Daisy tersenyum menatap Damian. Dari aromanya saja, dia sudah tahu itu teh First Flush Darjeeling.
“Ehh! Ini kan punya Mommy, kamu ambil?” tanya Daisy.
“Nggak, minta dikit aja buat kita. Lagian tehnya banyak, Mommy kamu gak akan tahu,” balas Damian terkekeh.
“Iya sih, Mommy tinggal beli lagi aja nanti kalau habis. Suaminya kaya,” timpal Daisy ikut tertawa juga.
Damian dengan perhatian membuka martabak dan makanan lainnya. Seketika air liur Daisy menetes saat aroma telur dan bawang tercium. Ia mengambil satu potong, menambahkan saus, lalu memakannya dengan lahap.
“Ya ampun, enak banget,” gumam Daisy. “Aku udah lama gak makan ini.”
Damian hanya tersenyum tipis, lalu ikut makan.
“Daisy, apa kamu ingat? Saat malam-malam kamu sangat ingin martabak sampai menangis?” tanya Damian. Daisy pun terdiam, ia ingat semuanya.
“Ya, aku ingat.” Daisy menatap Damian dalam-dalam. Walau ia kembali diberi kesempatan, dia tidak akan lupa semua kenangan indah bersama Damian.
“Bahkan dengan gengsinya, aku tidak mau berterima kasih sama kamu. Aku juga pernah membelinya sendiri, tapi rasanya sangat berbeda,” ujar Daisy, mengingat masa lalu.
Damian tersenyum. Ternyata Daisy masih ingat.
“Damian, apa kamu percaya aku mencintaimu?” tanya Daisy.
“Aku percaya. Aku selalu percaya kamu mencintaiku, Daisy. Di kehidupan dulu dan sekarang, bahkan jika aku harus bereinkarnasi, aku akan tetap mencintaimu dan terus mencintaimu,” balas Damian. Daisy pun tersenyum haru.
“Seandainya kamu tahu... Damian, aku bahkan melewati kematian untuk bisa mencintaimu.”
Usapan lembut menyadarkan Daisy dari lamunannya. Dia menoleh ke samping, mendapati Damian tersenyum dengan begitu manisnya.
“Terima kasih, Damian. Terima kasih karena sudah mau menjadikan aku istrimu. Kamu juga mempertahankan aku, padahal di luar sana banyak perempuan yang lebih baik dariku,” ujar Daisy sambil menyeka sudut matanya.
“Walau di luar sana banyak yang lebih baik darimu, tapi perempuan yang aku cintai hanya kamu. Daisy Aurora Wishnutama,” bisik Damian sambil menarik Daisy ke dalam pelukannya.
“Kamu adalah perempuan beruntung yang bisa mendapatkan cintaku.”
“Damian...” lirih Daisy, terisak pada akhirnya.
“Aku mencintaimu, Damian. Aku mencintaimu, walau mungkin kamu tidak percaya,” ucap Daisy begitu lirih.
Damian semakin mengeratkan pelukannya. Ia mengusap punggung Daisy dengan penuh sayang. Kini, Damian bisa merasakan betapa Daisy dengan tulus mencintainya.
“Aku tidak akan pernah meragukanmu lagi, Daisy,” bisik Damian. Ia menatap Daisy yang tertidur karena lelah menangis.
Dengan lembut, ia menggendong tubuh sang istri. Jika dulu Daisy akan marah, kali ini ia malah nyaman-nyaman saja. Damian melirik ke arah box bayi, di mana Vio pun terlelap.
****
Keesokan harinya, Ivana sudah berkutat di dapur. Maksudnya ingin membantu membuat sarapan, tapi kenyataannya justru membuat dapur berantakan. Bi Nur dan Ita hanya bisa saling pandang, menahan diri agar tidak mengeluh.
“Bi, dapurnya udah kayak kapal pecah,” bisik Ita pelan sambil menahan tawa.
“Shh, biarin saja. Toh nanti dia dan Nyonya yang makan,” balas Bi Nur lirih.
Lalu ia memberi titah, “Lebih baik kamu bantu Tina saja. Dia sedang mencuci di belakang.”
“Ya sudah, aku ke belakang.” Ita segera berlalu.
Bi Nur menatap Ivana yang tampak kesulitan memotong wortel. Pisau yang ia pegang malah terbalik. Rasanya ingin sekali Bi Nur tertawa, tapi ia urungkan.
“Nona, biar Bibi saja—”
“Tidak usah! Aku bisa kok, Bi!” sela Ivana cepat, suaranya penuh keangkuhan.
Padahal niatnya sederhana, hanya ingin membuat sup ayam kampung dan bakwan jagung kesukaan Damian. Rencananya, ia akan membawanya saat berkunjung ke rumah Daisy. Tapi baru potong wortel saja, sudah kelimpungan.
“Astaga, susah sekali potong wortel,” omel Ivana, kesal pada dirinya sendiri.
Beberapa menit kemudian ia meletakkan pisau dengan kasar. “Bi, lanjutkan saja. Aku mau mandi.” Tanpa menunggu jawaban, Ivana pergi, meninggalkan kekacauan di meja dapur.
Bi Nur hanya bisa menggeleng pelan. “Bisa-bisanya Nyonya lebih suka Nona Ivana… padahal Nona Daisy jauh lebih pandai memasak,” gumamnya lirih.
****
Sementara itu, Diana tengah sibuk di usaha catering rumahan miliknya. Seperti biasa, ia mengecek daftar bahan yang habis, memastikan dapur bersih, serta menggelar rapat kecil dengan para pegawainya. Sebagian besar adalah ibu-ibu tangguh yang ditinggal suami, meski ada juga yang masih muda, selama mereka ulet bekerja Diana selalu menerima.
Salah satu pelanggan tetap catering itu adalah perusahaan milik Niklas—bahkan jauh sebelum Damian menikah dengan Daisy.
Setelah semua urusan rampung, Diana mengecek jam di tangannya. Sudah pukul delapan pagi.
“Sudah selesai, kalian bisa pulang. Kasihan Ivana sendirian di rumah. Sebentar lagi dia pergi menemui Damian,” ucapnya.
Matahari sudah cukup terik meski masih pagi.
Sementara itu di kediaman Andreas, ponselnya baru saja bergetar. Sebuah pesan masuk dari Ivana, berisi ajakan untuk menjenguk Daisy dan anaknya. Andreas menyeringai puas.
“Daisy… tunggu aku, sayang,” gumamnya, senyum sinis mengembang di wajahnya.
Sementara itu di kediaman Wishnutama, suasana masih hening. Daisy tertidur lelap di samping Vio. Malam tadi putranya rewel dan mengajak begadang. Daisy tak tega membangunkan Damian, akhirnya ia menemaninya hingga larut. Baru saat matahari muncul, kantuk berat membawanya terlelap.
Bersambung ....