Amara adalah seorang polisi wanita yang bergabung di Satuan Reserse Narkoba. Hidupnya seketika berubah, sejak ia melakukan operasi hitam penggrebekan sindikat Narkoba yang selama ini dianggap mustahil disentuh hukum. Dia menjadi hewan buruan oleh para sindikat Mafia yang menginginkan nyawanya.
Ditengah - tengah pelariannya dia bertemu dengan seorang pria yang menyelamatkan berulang kali seperti sebuah takdir yang sudah ditentukan. Perlahan Amara menumbuhkan kepercayaan pada pria itu.
Dan saat Amara berusaha bebas dari cengkraman para Mafia, kebenaran baru justru terungkap. Pria yang selama ini menyelamatkan nyawanya dan yang sudah ia percayai, muncul dalam berkas operasi hitam sebagai Target Prioritas. Dia adalah salah satu Kepala geng Mafia paling kejam yang selama ini tidak terdeteksi.
Amara mulai ragu pada kenyataan, apakah pria ini memang dewa penyelamatnya atau semua ini hanyalah perangkap untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radieen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penguntit
Waktu merangkak lambat bagi Amara. Sejak perdebatan dinginnya dengan Raditya di pagi hari, ia menghabiskan seluruh jam kerjanya di kantor dalam keadaan tegang. Raditya, meskipun mengaku akan memberinya waktu, terus melirik ke mejanya dari jauh, sorot matanya yang penuh curiga menusuk seperti jarum es. Amara tahu, Raditya tidak akan pernah percaya pada cerita sakit atau butuh waktu sendiri.
Amara mengawasi Raditya. Begitu jarum jam menunjukkan pukul 16.30, Amara melihat Raditya berdiri, mengambil tas ranselnya, dan berjalan ke luar ruangan. Wajahnya masih kaku dan penuh kekecewaan, tetapi ia tampak sengaja berjalan tergesa-gesa, seolah memiliki janji penting. Amara memperhatikan hingga punggung Raditya menghilang di balik pintu administrasi.
Pukul 17.00. Amara segera mengemasi barang-barangnya. Ia hanya membawa tas ransel kecilnya yang hanya berisi beberapa perlengkapan pribadi. Haris sudah menunggunya di dekat pilar beton yang terisolasi di parkiran bawah tanah Mabes Polri, mengenakan jaket kulit yang sama seperti yang ia pakai saat mereka terakhir di gudang tua. Ia terlihat santai, tetapi sorot matanya yang tajam mengisyaratkan kewaspadaan tinggi.
"Kau lama sekali," bisik Haris saat Amara mendekat. "Aku hampir saja pingsan di sini."
Amara tidak tersenyum. "Kau pikir menyenangkan diinterogasi Komandan? Aku harus meyakinkannya bahwa aku bekerja keras, padahal aku sedang merencanakan kehancurannya."
Haris mengangguk, ia memahami situasi Amara.
"Kau sudah menelepon Juliet?" lanjut Amara.
"Sudah," jawab Haris. Amara lalu menyerahkan kunci motor hitam itu pada Haris. "Kita akan kembali ke kliniknya. Aku bilang kita akan mengembalikan motornya malam ini."
Amara memandangi motor Honda CBR250RR yang terparkir rapi itu. Motor itu memang terlihat masih utuh, tetapi jika dilihat dari dekat, terdapat goresan panjang di sisi fairing kanan dan sedikit bengkok pada setang setelah Amara mengemudikannya dengan agresif di jalan setapak hutan berlumpur.
Amara menggigit bibirnya. Ia merasa bersalah telah merusak barang milik orang lain.
"Aku tidak enak hati," bisik Amara, menatap goresan itu. "Motor ini rusak. Aku mengendarainya seperti orang gila di hutan."
Haris berjalan mengitari motor itu, melihat sekilas goresan di fairing. Ia mendengus pelan, mengangkat bahu, menganggapnya tidak penting.
"Ayolah, Amara," katanya dengan nada meremehkan. "Kau terlalu memikirkan hal kecil. Motor ini tidak seberapa. Kau tidak tahu siapa Juliet, kan?"
Amara menatap Haris dengan bingung. "Maksudmu?"
"Juliet itu anak tunggal. Satu-satunya pewaris klinik hewan terbesar di ibukota. Kakeknya punya jaringan peternakan kuda balap di luar negeri. Orang tuanya adalah konglomerat yang sibuk dan menelantarkannya sejak kecil."
Haris menyentuh bahu Amara, tatapannya meyakinkan. "Dia memilih menjadi dokter hewan di tempat terpencil hanya untuk mencari ketenangan, bukan mencari uang. Kerusakan motor ini, bagi Juliet, tidak lebih dari goresan kecil di kartu kreditnya. Mungkin ini malah membuatnya senang, karena motor ini ada bekas ceritanya. Anggap saja ini adalah biaya persahabatan."
Haris menyalakan mesin motor itu. Suara mesinnya meraung keras, memecah kesunyian di parkiran bawah tanah.
"Kau bawa G-17?" tanya Haris, beralih ke nada serius.
Amara mengangguk, menepuk pinggangnya yang disembunyikan jaket. "Di balik jaket."
"Bagus," Haris menarik tuas gas. "Ayo kita selesaikan ini. Setelah ini, kita akan kembali ke gudang tua dan merencanakan langkah selanjutnya. Malam ini kita akan membongkar semua informasi yang kita punya tentang Komandan."
Amara duduk di jok belakang, memeluk erat pinggang Haris. Motor itu melaju keluar dari parkiran menuju jalanan ibukota yang macet dan padat di jam sibuk.
Sensasi duduk di jok belakang Haris terasa aneh, tetapi nyaman. Amara sudah mengenal Haris sejak kecil. Haris adalah satu-satunya orang yang memahaminya tanpa perlu banyak kata. Kedekatan mereka selalu seperti ini, terasa natural dan tanpa paksaan, bahkan setelah bertahun-tahun bekerja di Divisi yang sama. Bagi Amara, Haris adalah jangkar di tengah hidupnya yang penuh gejolak. Amara tahu, kedekatan mereka melampaui persahabatan profesional, Haris lebih seperti abang kandung buat Amara.
Saat mereka melaju, Amara menyandarkan kepalanya sedikit di punggung Haris. Ia bisa mencium aroma samar keringat, oli, dan antiseptik, campuran bau yang mengingatkannya pada operasi berbahaya yang sering mereka lalui.
"Haris," bisik Amara di balik helm. "Kau sudah membaca log file itu?"
"Sebagian kecil," jawab Haris dari depan. "Sebelum ponselku meledak, aku sempat melihat pola komunikasi yang aneh. Beberapa transaksi terjadi tanpa menggunakan jaringan publik. Mereka pakai VPN berlapis, terkoneksi langsung ke server di luar negeri. Itu sebabnya IT Mabes tidak pernah bisa melacaknya. Benar-benar canggih."
"Berarti kecurigaanku benar, Komandan kita adalah gembongnya," gumam Amara, memejamkan mata sejenak.
Mereka berdua terdiam, menikmati keheningan di antara raungan mesin dan hiruk pikuk kota.
Haris tiba-tiba mengurangi laju motornya. "Kita dibuntuti."
Amara menegakkan tubuhnya, jantungnya berdebar kencang. "Siapa?"
Haris tidak langsung menjawab. Mobil mereka kini berada di jalan layang yang sepi, dengan sedikit kendaraan lain. Haris membelokkan motor ke kiri, masuk ke jalur lambat yang menuju ke sebuah terowongan tua.
"Lihat di kaca spion," perintah Haris.
Amara memiringkan kepala. Dari kaca spion yang sedikit retak, ia melihat sebuah mobil sedan hitam biasa, sekitar seratus meter di belakang mereka. Mobil itu melaju dengan kecepatan konstan, tidak terlalu dekat, tetapi jelas menjaga jarak.
"Sedan hitam, pelat nomor biasa," lapor Amara. "Mencurigakan, tapi bisa jadi kebetulan."
Haris mendengus. "Di jalan layang seperti ini, tidak ada yang namanya kebetulan, Amara. Aku sudah melihat mobil itu sejak kita keluar dari parkiran Mabes. Mobil itu sempat diparkir di dekat pintu keluar administrasi saat kita masuk."
Haris menginjak rem, lalu dengan cepat berbelok tajam ke kanan, masuk ke jalan pintas yang sempit di antara dua bangunan industri yang gelap. Motor itu meliuk-liuk di antara tumpukan drum kosong. Mereka bersembunyi di balik truk kontainer yang berkarat. Haris mematikan mesin. Keheningan yang tiba-tiba membuat telinga Amara berdengung.
Mereka menunggu. Detak jantung Amara berpacu.
Tidak sampai semenit, suara mesin mobil terdengar mendekat. Mobil sedan hitam itu melintas lambat di ujung jalan, berhenti sejenak, lalu perlahan mundur. Pengemudi jelas sedang mencari mereka.
Amara mencondongkan tubuh ke depan, berbisik di telinga Haris. "Aku akan mengeceknya."
Haris menahan pinggang Amara. "Tidak! Jangan. Kau bisa jadi target. Biar aku yang lihat."
Haris turun, dengan ransel di punggungnya, ia merangkak ke samping kontainer, mengintip melalui celah sempit. Amara hanya bisa mendengar napas Haris yang berat.
Haris kembali merangkak. Wajahnya yang tegang kini terlihat sedikit lega, tetapi juga bingung.
"Ini aneh," bisik Haris. "Aku melihat pengemudinya. Dia sendirian."
"Siapa?"
fai selalu bisa diandalkan...
💪💪💪💪
hebat Amara ayo Brantas kejahatan polisi korup....
betapa lihainya memainkan perasaan mu Amara
good job thor
ini bisa jadi sekutu itu Raditya kira2 masuk gak ya
🤣🤣🤣
Raditya kah???
haduhhhh makin penasaran nih
wah dalam bahaya kau Amara.,..
ati ati y
kok bisa ya secerdik itu dia...
.
wah g nyangka sekalinya Amara dilingkungan toxic...
semoga Amara berhenti JD polisi aja deh, gak guna lencanamu kalau hidupmu sudah dikondisikan dgn mereka para penjilat uang haram...
yok yok semanggad thor
💪💪💪💪
🙏🙏🙏🙏