Putri Huang Jiayu putri dari kekaisaran Du Huang yang berjuang untuk membalaskan dendam kepada orang-orang yang telah membunuh keluarganya dengan keji.
Dia harus melindungi adik laki-lakinya Putra Mahkota Huang Jing agar tetap hidup, kehidupan keras yang dia jalani bersama sang adik ketika dalam pelarian membuatnya menjadi wanita kuat yang tidak bisa dianggap remeh.
Bagaimana kelanjutan perjuangan putri Huang Jiayu untuk membalas dendam, yuk ikuti terus kisah lika-liku kehidupan Putri Huang Jiayu.
🌹Hai.. hai.. mami hadir lagi dengan karya baru.
ini bukan cerita sejarah, ini hanya cerita HALU
SEMOGA SUKA ALURNYA..
JIKA TIDAK SUKA SILAHKAN DI SKIP.
JANGAN MENINGGALKAN KOMENTAR HUJATAN, KARENA AUTHOR HANYA MANUSIA BIASA YANG BANYAK SALAH.
HAPPY READING...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Athena_25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JEJAK HARAPAN DI UJUNG SENJA
Hilangnya seorang kecil di ujung gang,
Membuka pintu nestapa yang terpendam.
Dalam gubuk reyot, dua puluh mata berbinar,
Sebuah janji mengakar, mengusik lara.
Dalam pelarian, bayangan mendekat,
Dengan nafsu dan amarah, mereka mengancam.
Dua jiwa pemberani melawan gelombang,
Melindungi yang lemah, harga diri di pertaruhkan.
Masih Melanjutkan cerita empat hari lalu,
Bau apek dan debu menyambut Sia begitu ia mendorong pintu kayu yang reyot itu, bergema nyaring dalam kesunyian gang. Matanya butuh sejenak untuk menyesuaikan diri dengan remang-remangnya cahaya yang menyelinap dari celah-celah papan.
Dan di sana, terpampang pemandangan yang membuat dadanya sesak. Sekitar dua puluh pasang mata menatapnya—ada yang penuh ketakutan, ada yang penasaran, semuanya bersembunyi di balik wajah-wajah yang kurus dan pakaian yang lusuh terkelupas oleh waktu.
Seorang anak lelaki, tubuhnya lebih tinggi dari yang lain, dengan sigap melangkah maju. Bahunya yang masih remaja tegang, siap menjadi perisai.
"Kamu siapa?" suaranya berani, namun Sia masih bisa menangkap getar halus ketakutan di baliknya.
"Aku… Aku hanya mengantarkan dia pulang," jawab Sia, suaranya lebih seperti desahan, sambil menunjuk lembut ke arah anak kecil yang kini telah menyelinap di antara anak-anak lain dan memegang erat ujung baju anak yang lebih besar itu. Pandangannya lalu menyapu ruangan hampir kosong itu. "Di mana… orang tua kalian?"
Anak lelaki itu, Lu Yi, menarik napas dalam. Saat ia bercerita, suaranya datar, seperti membaca sebuah puisi sedih yang sudah terlalu sering diulang. "Kami tidak punya. Kami bertahan dengan mengemis," bisiknya, dan kemudian, dengan malu yang dalam, ia menunduk,
"Kadang… mencuri roti yang belum terjual." Pengakuan itu menggantung di udara, berat dan pahit.
Hati Sia remuk. Ia bisa hampir mencium rasa lapar mereka, merasakan dinginnya lantai tanah yang mereka tiduri. Tanpa ragu, ia membuka kantongnya. "Ayo," ujarnya, suaranya kini lebih tegas, dipenuhi tekad yang baru lahir. "Kita beli makanan."
Dan sejak saat itulah hidupnya berubah. Ia memutuskan untuk tinggal di rumah itu bersama anak-anak terlantar itu.
🍊🍊🍊🍊
Kembali Ke Saat Ini...
Sia melepaskan pelukannya dari Min Hwa, kain kasar di lengan baju kecil itu terasa hangat oleh air matanya. Dia berjalan pelan, memberikan pelukan terakhir pada setiap anak.
Untuk Yan Wei, dia memberikan genggaman erat di pundak, sebuah bahasa tanpa kata bahwa dia percaya. Untuk Min Hwa, sebuah usapan lembut di rambutnya. "Aku akan kembali," bisiknya, sebuah janji yang dirajut dari harapan dan keyakinan, diulang untuk setiap telinga yang mendengarkan.
Saat dia dan Jiayu melangkah keluar, meninggalkan bayangan gubuk, sekumpulan mata memandang dengan rindu dan harap yang begitu pekat hingga terasa seperti bisa disentuh. Angin senja berhembus, menerbangkan debu dan membawa serta suara langkah mereka. Sia tidak menoleh lagi.
Dia tahu, perjalanan ini bukan lagi tentang dirinya, tetapi tentang dua puluh hati kecil yang kini memercayainya. Dan di ujung jalan itu, sebuah tujuan baru telah menanti, membayang di bawah langit yang mulai berwarna jingga.
Keluar dari gang sempit, udara pasar yang riuh menyambut Sia dan Jiayu seperti tembok yang bertolak belakang dengan kesunyian getir yang baru mereka tinggalkan.
Suara tawar-menawar, gemerincing logam, dan aroma rempah-rempah serta daging panggang memenuhi udara, namun bagi Sia, semua itu terasa tumpul, tertutup oleh bayangan dua puluh pasang mata yang memandangnya dengan harap dari balik gubuk reyot.
“Jiayu, ayo kita pergi sebelum matahari semakin tenggelam,” ucap Sia, suaranya serak oleh emosi yang masih mengganjal di kerongkongannya. Dia memacu kudanya, berusaha meninggalkan beban perasaan itu sejenak untuk fokus pada tugasnya sekarang: pulang dan membawa kembali bantuan.
Jiayu mengangguk, matanya yang biasanya tajam dan waspada juga sayu. Namun, nalurinya sebagai seorang putri tak pernah padam. Saat mereka melintas di depan sebuah kedai minuman, tiga orang pria berbadan besar berpapasan dengan mereka. Bau alkohol murah yang menyengat dan keringat asam menyerang indra penciumannya, memaksanya untuk lebih waspada.
Tanpa sengaja, telinganya menangkap secuil obrolan mereka yang kasar dan penuh amarah.
"Mereka semua memang harus diberi pelajaran! Agar tidak berani membangkang lagi!" geram seorang pria berjambang lebat, tinjunya mengetuk telapak tangan sendiri.
"Kau benar, Sung Gong. Memberi keringanan hanya akan membuat mereka mengulangi," sahut seorang pria bertubuh gemuk dan bermuka merah, suaranya menggerutu.
"Kalian diam!" hardik seorang pria yang berjalan sedikit di depan, tubuhnya lebih tinggi dan sorot matanya lebih dingin. "Kita harus mencari para tikus kecil itu sebelum mereka berpencar dan bersembunyi!"
"Ya, Ge-ge," jawab kedua pria lainnya serempak, patuh.
Jiayu yang mendengar itu awalnya tidak menghiraukan ucapan ketiga pria tadi, dia terus memacu kudanya dengan cepat di belakang Sia, Namun saat sudah bisa menyamai pacuan Sia,
Jiayu mengerutkan kening.
Firasatnya berteriak. 'Tikus kecil, itukah mereka?' Tanpa pikir panjang, sebelum Sia menyadarinya, Jiayu sudah memutar haluan kudanya dan memacunya kembali ke arah gang yang baru saja mereka tinggalkan, jantungnya berdebar kencang.
"Yu Jia! Kau mau ke mana?" teriak Sia, bingung. Melihat ketegangan di punggung Jiayu, Sia segera menyusul, hatinya mulai diliputi kecemasan.
Hyaatt!
Teriakan Jiayu memecah kesunyian gang. Dia memacu kudanya hingga hampir terbang. Dan benar saja, pemandangan mengerikan menyambutnya. Di depan gubuk, tiga pria tadi sedang menghajar Yan Rui dan Yu Wei. Tubuh kedua anak lelaki itu sudah babak belur, dan darah mengalir dari sudut bibir mereka. Tangis ketakutan anak-anak lain menggema dari dalam rumah, penuh keputusasaan.
Tanpa keraguan, Jiayu melompat dari pelana bagaikan elang menyambar. Dia menerjang Sung Gong, pria berjambang yang sedang mengangkat tongkat kayu, dengan tendangan menyamping yang keras dan tepat.
Brakk!
Sung Gong terlempar ke samping, menjerit kesakitan, dan Yan Wei yang dilepaskannya terjatuh ke tanah.
"Brengsek!" umpat Sung Gong, memegangi rusuknya yang nyeri.
Kedua kawannya tertegun sejenak, lalu amarah menyala di mata mereka.
"Siapa kau? Berani-beraninya mencampuri urusan kami!" teriak pria gemuk, Dong Gu, mengambil langkah ancang-ancang.
"Memangnya aku harus memperkenalkan diri kepada para bajingan seperti kalian?!" cela Jiayu, suaranya dingin dan penuh tantangan. Dia memasang kuda-kuda, siap menghadapi ketiganya.
Go Ku, si pemimpin, menyeringai. Matanya menyapu tubuh Jiayu dengan pandangan mesum. "Nona cantik, sebaiknya kau jangan ikut campur. Kami tidak ingin kulit mulusmu terluka."
"Cih, dasar sampah Brengsek!" Jiayu tidak menunggu lagi. Dia merangsek, tendangannya yang cepat nyaris mengenai Dong Gu yang berhasil menghindar dengan susah payah.
Tiba-tiba, dari arah lain, Sia muncul bagai angin.
Bruakk!
Tendangan mendarat sempurna di punggung Dong Gu, membuatnya terhuyung ke depan dengan dengusan napas terengah.
"Wah, ada pertunjukan ternyata!" seru Sia, meski matanya membara. Dia segera berdiri membelakangi Jiayu, kedua gadis itu kini saling melindungi punggung, menghadapi tiga bandit yang sudah siap murka.
Go Ku tertawa kasar, mengejek. "Kita beruntung hari ini, teman-teman! Dua bidadari datang menghibur. Hentikan saja pertarungan ini, nona-nona. Lebih baik kalian layani kami dengan baik, hahaha!"
"Kuberikan layanan terbaikku… di liang kubur!" geram Jiayu. Darahnya mendidih. Dia melancarkan tendangan berputar (cakaran naga), kakinya menghantam udara dengan desisan berbahaya dan mengenai lengan Go Ku yang berusaha menangkis.
Krak!!
Suara tulang yang tertekan membuat suasana makin mencekam.
Pertarungan pecah. Jiayu, dengan jurus-jurusnya yang cepat dan mematikan, fokus pada Go Ku dan Sung Gong.
Sia, meski kurang terlatih, menggunakan kelincahan dan kemarahannya untuk mengganggu dan menyerang Dong Gu yang lebih lambat.
Tinju, tendangan, dan dorongan saling sambut. Jiayu menahan pukulan keras di bahu yang membuatnya menjerit kecil, tapi balasannya, sebuah sikut tajam ke ulu hati Sung Gong, membuat pria itu terbatuk-batuk dan limbung.
Suasana gang itu berubah menjadi arena pertarungan yang kacau. Debu beterbangan, teriakan kemarahan dan kesakitan saling silang. Anak-anak dari dalam gubuk menyaksikan dengan napas tertahan, mata mereka membesar, berharap kedua 'bidadari' mereka menang.
Setelah pertarungan sengit yang melelahkan, ketiga bandit itu menyadari lawan mereka bukanlah wanita biasa. Luka dan napas mereka yang sudah tersengal-sengal membuat mereka berpikir ulang. Go Ku, dengan wajah memar, memberi isyarat untuk mundur.
"Ini belum selesai, nona-nona!" hardiknya sambil mundur teratur. "Kami akan kembali! Dan kali ini, kami tidak akan main-main!"
Dengan ancaman itu, ketiganya pergi, meninggalkan jejak debu dan amarah yang tertahan.
Jiayu dan Sia langsung terjatuh ke tanah, napas mereka tersengal-sengal, tubuh penuh dengan rasa sakit dan memar. Namun, kepuasan karena telah melindungi anak-anak itu mengalahkan segalanya.
Anak-anak yang ketakutan satu per satu keluar dari persembunyian. Beberapa dengan sigap mengambil air dan kain untuk membersihkan luka Yu Wei dan Yan Rui, yang lain membantu Sia dan Jiayu berdiri. Sorotan mata mereka kini dipenuhi rasa syukur dan kekaguman yang lebih dalam dari sebelumnya.
Sia memandangi Jiayu, lalu pada anak-anak yang mereka lindungi. Sebuah tekad baru mengkristal dalam hatinya. Perjalanan ini bukan lagi sekadar tentang membawa pulang bantuan. Ini tentang memastikan bahwa bayangan seperti tiga bandit tadi tidak akan pernah lagi mengusik keluarga kecilnya yang baru ditemukan ini.
Dia menggenggam tangan Jiayu. "Kita harus pergi, Sekarang. Dan kita akan kembali dengan sesuatu yang lebih kuat dari sekadar janji."
Jiayu mengangguk, matanya bertekad. Mereka berdua tahu, perlindungan sementara mereka tidak cukup. Mereka harus kembali ke Rumah Keluarga Sia. Bukan untuk berlindung, tetapi untuk mengumpulkan kekuatan, sumber daya, dan mungkin, pengakuan.
.
.
.
🌹Hai... hai... Sayangnya Mami🥰🥰
Bantuan apa yang akan mereka bawa kembali ke desa Longan?
Bagaimana perjalanan Jiayu dan Sia menuju kediaman Keluarganya?
Akankah ada rintangan yang menghalangi mereka kembali?
Ikuti terus kisah mereka,
JANGAN LUPA KASIH LIKE & KOMEN.
TERIMA KASIH SAYANGKU🥰🥰🥰