Virginia Fernandes mencintai Armando Mendoza dengan begitu tulus. Akan tetapi kesalah pahaman yang diciptakan Veronica, adik tirinya membuatnya justru dibenci oleh Armando.
Lima tahun pernikahan, Virginia selalu berusaha menjadi istri yang baik. Namum, semua tak terlihat oleh Armando. Armando selalu bersikap dingin dan memperlakukannya dengan buruk.
Satu insiden terjadi di hari ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. Bukannya membawa Virginia ke rumah sakit, Armando justru membawa Vero yang pura-pura sakit.
Terlambat ditangani, Virginia kehilangan bayi yang tengah dikandungnya. Namun, Armando tetap tak peduli.
Cukup sudah. Kesabaran Virginia sudah berada di ambang batasnya. Ia memilih pergi, tak lagi ingin mengejar cinta Armando.
Armando baru merasa kehilangan setelah Virginia tak lagi berada di sisinya. Pria itu melakukan berbagai upaya agar Virginia kembali.
Apakah itu mungkin?
Apakah Virginia akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Mari kita bercerai
Beberapa hari kemudian, kondisi Virginia dinyatakan stabil oleh dokter dan sudah diperbolehkan pulang.
Cecilia masuk ke ruang rawat Virginia dengan membawa resep vitamin dengan senyum getir. "Semua sudah beres, Kak."
Virginia menyentuh tangan Cecilia. "Aku ingin ke taman rumah sakit sebentar. Boleh?"
Cecilia mengangguk sedih. Ia tahu, mungkin kakak iparnya butuh waktu untuk menenangkan diri setelah apa yang menimpa dirinya.
Nyonya Besar Mendoza memeluk Virginia. Virginia adalah putri dari sahabat baiknya. Dan dia sangat menyayangi Virginia. Karena itu ia begitu senang Virginia menjadi istri Armando. Mana dia tahu ,jika akhirnya kehidupan rumah tangga mereka seperti ini jadinya. Namun, meskipun nantinya Virginia tak lagi jadi menantunya, ia juga akan tetap menyayangi Virginia.
"Sayang, jangan larut dalam kesedihan." ucap nyonya besar Mendoza.
Virginia tersenyum tipis, "Jangan khawatir , Ma. Aku baik-baik saja." ucapnya lalu berjalan meninggalkan mereka berdua menuju ke taman.
Nyonya besar Mendoza menatap kepergian Virginia dengan hati sedih. Seperti itu lah Virginia. Apa pun yang terjadi, dia selalu bilang dirinya baik-baik saja.
"Racun apa yang sebenarnya diberikan oleh Veronica pada Armando? Kenapa Armando bisa sampai buta mata dan hati seperti itu?" nyonya besar Mendoza menghapus air matanya yang kembali mengalir.
"sudahlah, Ma. Suatu saat aku yakin Armando akan menyesali semua ini." Cecilia berusaha menghibur mamanya.
Nyonya besar Mendoza mengangguk, meski ia tak yakin. Dalam hatinya hanya bisa berharap kesempatan untuk Armando memperbaiki segalanya masih ada.
Sementara itu Virginia, sesampainya wanita itu di taman, di sana, tanpa sengaja, dia melihat Armando dan Veronica. Armando terlihat begitu perhatian pada Veronica.
Virginia bisa melihat Veronica yang begitu bahagia. Virginia tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi jelas mereka sangat bahagia.
Virginia merasa dadanya sangat sakit. Armando tak pernah bersikap perhatian seperti itu padanya. Ia pun berbalik, tidak ingin melihat lebih jauh.
Veronica yang sebenarnya melihat keberadaan Virginia tersenyum miring. Ia puas melihat kakak tirinya itu menangis. "lihat, kan, kak. Aku berhasil merebut semua darimu, bahkan suamimu." gumamnya merasa menang.
*
*
*
Beberapa hari kemudian,
Virginia telah Kembali ke rumahnya bersama Armando. Virginia duduk di sofa, menatap kedatangan Armando yang baru saja pulang. Setelah beberapa hari. Entah di mana pria itu menginap. Mungkin di hotel bersama Veronica. Ia sudah tak lagi peduli.
Suasana terasa begitu dingin. Armando menatap heran ke arah Virginia yang tak biasanya. Biasanya wanita itu akan menyambut kepulangan nya dengan antusias.
"Kamu sudah pulang?" tanya Virginia pelan.
Armando menghela napas. "Aku sudah ada di sini berarti aku sudah pulang. Basa basi mu tidak bermutu. Ada apa? Apa yang kamu ingin dibicarakan?" tanya Armando ketus.
"Aku keguguran. Kita kehilangan anak kita," kata Virginia, mencoba menahan air mata.
"Itu lebih bagus. lagi pula aku juga tidak menginginkan anak itu," jawab Armando, tanpa menatapnya.
Virginia menunduk. "Aku tahu. Karena itu aku sudah menyiapkan surat yang harus kamu tandatangani," ucapnya lirih, menyodorkan map di atas meja.
Armando mengangkat alis. "Surat? Surat apa?"
"Surat cerai tentu saja. Apa lagi memangnya? Itu kan yang kamu ingin kan? Aku sudah tanda tangani," jelas Virginia.
Armando terkejut. "Apa maksudmu? " yang ia tahu selama ini, Virginia akan melakukan berbagai cara untuk mengikatnya. Mana mungkin sekarang wanita itu mengatakan cerai.
"Aku tahu kamu tidak bahagia denganku. Aku hanya ingin membebaskanmu," jawab Virginia.
Armando terdiam, menatap Virginia dengan tatapan sulit diartikan.
"Aku tidak meminta apapun. Aku hanya ingin pergi dengan tenang," lanjut Virginia.
Armando mengambil map itu dan membacanya dengan seksama. Matanya memindai setiap kalimat dalam perjanjian pranikah tersebut.
"Ini... kenapa ada klausul tentang harta?" tanya Armando, suaranya mulai meninggi.
Virginia mengangkat bahu. "Dulu, kamu selalu khawatir aku akan menuntut hak atas hartamu jika kita bercerai. Jadi, aku memastikan itu tidak akan terjadi. Aku melepaskan semua hakku," jawab Virginia tenang.
Armando mengepalkan tangannya. "Kamu pikir ini lucu? Kamu pikir dengan bersikap seperti ini, aku akan merasa bersalah dan kembali padamu?"
Virginia menggeleng. "Tidak. Aku sudah berhenti berharap. Kamu benar, akhirnya kamu yang menang. Aku kalah. Karena itu ingin kita mengakhiri semuanya. setelah kamu tanda tangani itu, semuanya selesai. Kamu bebas, dan aku juga bebas."
Armando mencibir. "Omong kosong! Kamu pasti punya rencana lain. Kamu ingin membuatku terlihat buruk di mata semua orang, kan?"
Virginia menghela napas panjang. "Armando, aku lelah. Aku tidak punya tenaga untuk bermain-main lagi. Aku hanya ingin beristirahat."
Armando menatap Virginia dengan tatapan tajam. "Baiklah. Jika itu yang kamu inginkan. Aku akan menandatangani ini. Tapi ingat, setelah ini, jangan pernah muncul di hadapanku lagi."
Armando mengambil pulpen dan menandatangani surat perjanjian cerai tersebut dengan kasar. Setelah selesai, dia melemparkannya kembali ke atas meja.
"Pergilah! Aku tidak ingin melihatmu lagi!" bentak Armando.
Virginia berdiri, mengambil surat perjanjian cerai tersebut, dan berbalik untuk pergi. Sebelum melangkah keluar dari ruangan, dia berhenti sejenak dan menoleh ke arah Armando.
"Aku harap kamu bahagia, Armando," ucap Virginia lirih, lalu pergi meninggalkan Armando seorang diri.
Armando terdiam, menatap kepergian Virginia dengan tatapan kosong. Ada sesuatu yang aneh yang dirasakannya. Sebuah perasaan hampa yang belum pernah dirasakannya sebelumnya.
Dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia telah melakukan hal yang benar. Dia telah membebaskan dirinya dari wanita licik yang selalu berusaha memanipulasinya. Tapi kenapa dia tidak merasa bahagia?
Armando mengacak-acak rambutnya frustrasi. Dia tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya. Yang dia tahu, segalanya tak lagi Sama.
persisnya gak main main....