NovelToon NovelToon
Istri Yang Dicampakkan Bangkit Untuk Balas Dendam

Istri Yang Dicampakkan Bangkit Untuk Balas Dendam

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Janda / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Identitas Tersembunyi / Roman-Angst Mafia
Popularitas:34.8k
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah Alfatih

Tiga tahun Arunika rela menjadi istri yang sempurna. Ia bekerja keras, mengorbankan harga diri, bahkan menahan hinaan dari ibu mertua demi menyelamatkan perusahaan suaminya. Namun di hari ulang tahun pernikahan mereka, ia justru dipaksa menyaksikan pengkhianatan paling kejam, suami yang ia cintai berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.

Diusir tanpa belas kasihan, Arunika hancur. Hingga sosok dari masa lalunya muncul, Rafael, pria yang dulu pernah dijodohkan dengannya seorang mafia yang berdarah dingin namun setia. Akankah, Rafael datang dengan hati yang sama, atau tersimpan dendam karena pernah ditinggalkan di masa lalu?

Arunika menyeka air mata yang mengalir sendu di pipinya sembari berkata, "Rafael, aku tahu kamu adalah pria yang kejam, pria tanpa belas kasihan, maka dari itu ajari aku untuk bisa seperti kamu!" tatapannya tajam penuh tekad dan dendam yang membara di dalam hatinya, Rafael tersenyum simpul dan penuh makna, sembari membelai pipi Arunika yang basah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

32. Dicampakkan kembali

Udara malam itu bergetar oleh dentuman peluru. Rafael berlari menembus lorong panjang markas ibunya, napasnya berat, keringat bercampur darah di pelipisnya. Namun di detik berikutnya, suara letusan senjata terdengar begitu dekat.

Dor!

Kepala Rafael terhentak keras ke belakang, tubuhnya terhempas ke lantai. Arunika yang baru saja melihatnya dari ujung ruangan, menjerit sekeras mungkin.

“Rafael!”

Jeritannya menggema, menusuk dinding beton yang dingin. Tubuhnya meronta, meski tangannya masih terikat. Air matanya langsung pecah, dadanya berguncang hebat.

Orang yang melepaskan peluru itu bukanlah Aurel. Dari balik bayangan, Roman keluar dengan wajah penuh kepuasan, senyumnya bengis, matanya liar. Ia menurunkan senapan, lalu melangkah perlahan mendekati tubuh Rafael yang terkapar.

“Anak manja itu … akhirnya jatuh juga,” gumam Roman sambil terkekeh, seolah kemenangan sudah di tangannya. Aurel yang melihatnya sontak pucat, matanya melebar tak percaya.

“Kau … gila, Roman! Itu anakku!” suaranya pecah, panik, dan penuh amarah. Roman hanya menyeringai, mendekati tubuh Rafael. “Anakmu sudah terlalu jauh membelot. Dia memilih perempuan itu daripada darahnya sendiri. Lebih baik aku yang menyelesaikannya sebelum dia menghancurkan semua.”

Marco dan anak buah Rafael langsung menodongkan senjata, wajah-wajah mereka penuh amarah, siap menghujani Roman dengan peluru. Namun satu hal yang membuat semuanya tertahan, Rafael bergerak. Dengan tubuh bergetar, ia mengangkat kepalanya pelan. Darah mengalir di sisi wajahnya, tapi bukan darah kematian.

Peluru itu menghantam helm pelindung khusus yang tersembunyi di balik rambutnya. Di balik jas hitamnya, Rafael mengenakan rompi anti peluru yang melindungi tubuh vital. Namun serangan tadi tetap membuatnya limbung, pandangannya berkunang-kunang.

Arunika menangis, setengah bahagia, setengah panik. “Rafael … jangan tinggalkan aku …”

Roman yang sadar bidikannya gagal, wajahnya berubah gelap. Ia hendak menembak lagi, tapi tiba-tiba,

Dor!

Peluru lain menembus udara, kali ini tepat ke arah Roman. Peluru itu menancap di jantungnya. Tubuh Roman terhuyung, matanya membelalak tak percaya. Darah menyembur dari dadanya. Yang menarik pelatuk bukan Marco. Bukan anak buah Rafael. Melainkan Aurel sendiri. Dengan tangan bergetar namun tatapan dingin, Aurel berdiri sambil menodongkan pistol yang masih berasap. Wajahnya dipenuhi badai emosi.

“Aku memang bisa bekerja sama denganmu, Roman. Tapi jangan pernah kau berani menyentuh anakku!” suaranya melengking, penuh amarah seorang ibu.

Roman terjatuh ke lantai, masih berusaha tersenyum getir sebelum akhirnya nyawanya lepas. Suasana ruangan hening, hanya terdengar napas berat dan isakan Arunika.

Marco segera bergerak, menolong Rafael yang masih terbaring lemah. “Tuan … kau baik-baik saja?”

Rafael berusaha bangkit, meski kepalanya masih berdenyut. Namun sebelum ia bisa menjawab, Aurel berbalik menatap Marco dan Arunika. Tatapannya berubah dingin, tajam, menusuk tanpa belas kasihan.

“Bawa perempuan itu pergi dari sini.”

Arunika menoleh cepat, tubuhnya menegang. “Tidak! Aku tidak akan meninggalkan Rafael!”

Aurel mendekat, wajahnya dingin bagai batu. Ia menatap Arunika tepat di mata, lalu berkata dengan suara yang menusuk hati.

“Aku akan menjaga anakku sendiri. Kau … tidak perlu ikut campur. Mulai hari ini, kau bukan bagian dari keluarga ini lagi.”

Kata-kata itu menghantam dada Arunika lebih keras daripada tamparan mana pun. Hatinya seperti dirobek, dia dicampakkan lagi. Rafael akhirnya terjatuh tak sadarkan diri setelah tembakan, ada goncangan hebat yang mengenai kepalanya.

“Tidak …” bisiknya lirih, air mata jatuh membasahi pipi. “Aku tidak akan meninggalkan Rafael … dia butuh aku …”

Namun Aurel tak peduli. Ia menoleh pada Marco, suaranya dingin penuh perintah. “Bawa dia pergi ... kalau tidak, aku sendiri yang akan menghabisinya di sini.”

Marco terdiam sesaat, matanya menatap Arunika penuh rasa iba. Ia tahu betul siapa Aurel. Ancaman itu bukan sekadar kata-kata kosong.

“Arunika … maafkan aku.” Marco meraih tangan Arunika, memaksanya berdiri.

Arunika meronta, berteriak, “Tidak! Lepaskan aku! Aku ingin bersama Rafael!” Suaranya pecah, tangisnya meluap, tubuhnya memberontak. Namun Marco terlalu kuat.

Arunika menjerit, berusaha melepaskan diri, tangannya terulur ke arah Rafael. “Rafael! Aku di sini!”

Namun langkah-langkah Marco menyeretnya semakin jauh. Sementara itu, Aurel berdiri tegak di samping tubuh Roman yang tak bernyawa. Wajahnya masih dingin, namun di balik tatapan keras itu, hatinya bergejolak. Ia baru saja menembak sekutu sendiri demi anaknya. Dan kini ia harus memastikan Arunika pergi dari hidup Rafael.

Mesin meraung, ban mencakar aspal basah. Hujan rintik-rintik tadi berubah jadi selaput kabut yang menutup pandangan. Marco memukulkan setir dengan tangan gemetar, napasnya terengah ia tak pernah membayangkan bisa sampai pada malam seperti ini, membawa perempuan yang dicintai tuannya, sedangkan tuan yang mencintainya ditusuk di depannya.

“Kau tak boleh … kau tak boleh mati, Nyonya,” desis Marco sambil menginjak pedal lebih dalam. Ia menoleh sekali ke belakang, melihat Arunika yang masih memberontak, matanya merah, bibirnya memucat. Tangan kecilnya menggenggam kain bajunya sendiri sampai kering.

“Lepaskan aku! Lepaskan aku, Marco!” Arunika meraung, suaranya pecah. Ia memukuli kaca, menendang pintu, napasnya berputar cepat. Rasa dingin dari obat bius mulai surut, tapi ketakutan justru menguat.

Dari cermin dalam, Marco melihat bayangan mobil hitam mendekat cepat dari kanan. Dua kendaraan lain muncul, bukan dari pihaknya. Sorot lampu tajam menusuk kaca. “Mereka mengejar,” desisnya. “Ini jebakan … Aurel tak ingin kau hidup, Nyonya.”

Arunika menoleh, menatap wajah Marco. Ia mendengar kata itu kemudian, sebuah klaim yang membuat nadinya hampir berhenti. “Aurel … ingin aku mati?” suaranya seperti orang yang baru sadar terjun ke lubang.

“Ya!” Marco memantulkan pandangannya ke jalan. “Dia … dia tidak hanya ingin menjauhkanmu dari Rafael. Dia ingin mengakhiri semuanya. Kita harus pergi jauh, Nyonya, kita harus...”

Tembakan memecah malam. Kaca belakang berderai serpih. Suara peluru seperti hujan logam. Marco menegang, kendali goyah. Ban mobil sisi kiri terkena tembakan, tidak lama kemudian ban meletus dengan letupan kasar. Mobil oleng.

“Kendalikan!” Marco berteriak, tapi setir tak menurut. Mobil melintir, menjerit, berputar, guncangan demi guncangan membuat tubuh Arunika terhentak keras ke jok. Ia menutup mata sejenak karena dunia berputar, lalu membuka kembali ketika guncangan berubah jadi jurang. Perutnya terasa sakit, dia menahannya.

Di luar, di tepi jalan yang licin, tanah longsor kecil menutup sebagian pembatas. Mobil kehilangan pijakan. “Oh Tuhan...” Marco mengumpat.

“Sial!” suara mesin meraung terakhir kali. Mobil meluncur, bukan lagi di jalan meluncur menuruni lereng dan membanting ke udara pendek sebelum jatuh ke permukaan sungai dengan dentuman yang menggelegar, air memekik diterjang badan baja. Suara logam membelit, kaca meletup, udara dingin merobek paru-paru.

Air menerjang masuk ke dalam kabin seperti cakar berapi. Semua bunyi luar menjadi gemuruh air; ada teriakan, bunyi pecahan, lalu hening yang penuh tekanan. Arunika terseret, kakinya terpeleset dari jok, tubuhnya melayang tak berdaya. Ia berusaha memfokuskan matanya, melihat gerakan di luar kabin yang kini samar karena selubung air yang menutup semua.

Di antara hiruk pikuk itu, momen-momen aneh muncul, seperti potongan film lama yang diselingi nafas. Dia melihat wajah seorang pria paruh baya, kulitnya agak gelap, senyum lembut sebagaimana peringatan masa kecil, Tuan Arum, kata sesuatu pada telinganya, suaranya sayup,

“Jangan pernah takut, nona kecilku.” Wajah itu memudar.

Kemudian wajah seorang wanita, halus namun tegas, menyentuh kepalanya, tangan yang hangat mengusap rambutnya, Nyonya Larasastri, matanya penuh iba, berkata, “Kau kuat, Anakku. Peganglah tangan kami.” Wajah itu tercampur dengan deru air.

Satu lagi wajah, lebih nyata, lebih panas, lebih memaksa, menerobos kabut. Wajah Rafael, wajahnya penuh luka, pipinya kotor, matanya panik tak terkendali. Ia memanggil namanya berkali-kali, suaranya pecah,

“Aru! Aru! Jangan pergi! Tahan! Aku datang!” Kata-kata itu seperti tali pengikat hangat yang meraih hatinya. Arunika menengadah, seperti meraih suara itu dengan segenap jiwa.

Air menekan, suhu turun. Ia batuk, menelan busa asin. Ada rasa berat menekan dadanya, paru-parunya seperti diambil paksa. Tapi di antara air yang menutup mulutnya, suara Rafael terus memanggil seperti gema dari jauh.

“Rafael!” Ia menyebut, suaranya hanya gelembung kecil yang langsung tertelan.

Marco berjuang macam binatang. Dalam kegelapan dan kepanikan, ia menendang kaca yang menempel longgar di pilar. Tangannya melewati jarak, tercekik dengan serpihan, iraunya di atas semua. Ia mencoba membuka pintu, namun tekanan air dari luar menahan, pintu seperti dipaku oleh tirai air. Marco tidak mau menyerah. Dia melihat Arunika setengah tenggelam, rambutnya seperti tiram yang tertambat lepas. Dengan daya terakhir, Marco mengangkat tubuhnya, mendorong ke samping, lalu meninju kaca yang retak dengan siku.

Dua pria dari dalam mobil itu turun dan berbicara dengan nada serius.

"Target jatuh ke sungai, menurut kedalaman sungai ini, target bisa di pastikan mati,"

[Bagus! Memang itu tujuanku!]

1
A.M.G
semakin seru
A.M.G
wow tema hari ini tentang d'Or dor an 🥳🥳
Ddek Aish
anaknya ninggal y tor
Anindita keisha
wow ternyata arunika masih hidup
ken darsihk
👏👏👏👏🔥🔥🔥🔥
ken darsihk
Seruuu aseli deg deg an semoga Arunika dan baby yng di kandung selamat
ken darsihk
Yang kuat Arunika , Rafael pasti datang me jemput mu 💪🏼💪🏼
kriwil
di kasih jodoh kelas atas malah memilih jodoh sampah🤣
A.M.G
dasar kuyang semoga kau tak menyesal
A.M.G
semoga fael segera tau dan terungkap
A.M.G
bagai sangkar didalam emas 🥹
Jumiah
kebaikan akan selalu menang..
walau awalx sulit menyakit kan..
ken darsihk
Waduhhh siapa penghianat itu 😡😡
ken darsihk
Tetap semangat thor
Jumiah
up thor ,gk sabat untuk lanjutan x..trms
Sukliang
aduhhhhh jadi gimana thor lanjut nya
jgn sampai ada apa2 ya
tegang bacanya
A.M.G
kurang banyak mak
Aisyah Alfatih: besok kita double Mak, hari ini lelah...
total 1 replies
Piet Mayong
bos mafia tapi penuh musuh di balik selimutnya sendiri, kasiannn amat kau Rafael....
mama
kok Rafael smpe kecolongan ad mata dari ibunya.. biasany sat set,aplagi smpe gk tau rencana ibunya yg mau nyerang
ken darsihk
Ternyata jalan nya Rafael tidak mulus , terbukti ada nya mata2 yng melaporkan ke Aurel
Dan Rafael tidak mengetahui nya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!