Ketika Pagi datang, Lucian Beasley akan pergi. Tetapi Malam hari, adalah miliknya. Lucian akan memelukmu karena Andralia Raelys miliknya. Akan tetapi hari itu, muncul dinding besar menjadi pembatas di antara mereka. Lucian sadar, tapi Dia tidak ingin Andralia melupakannya. Namun, takdir membencinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chichi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30: Penyesalan
Mata Lucian berkeliling di ruangan asing beraroma wangi manis itu.
"Ah...." Dia menyadari ini bukanlah kamarnya. Melainkan, kamar Andralia.
Sekali lagi, dia melihat ke arah Andralia yang berantakan, matanya berkantung, dan lehernya membekas bekas merah seperti cupang.
Lucian cepat-cepat melihat ke arah lain. Dia mengosok tengkuknya sendiri. "Saya...."
"Lucian, jujur padaku. Kau Bangsa Iblis, bukan?" Andralia mengikat rambutnya ke belakang.
Lucian menoleh pelan ke arah Andralia. Dia enggan menjawab.
"Jawab pertanyaanku." Tegas Andralia.
Lucian menundukkan kepalanya di hadapan Andralia. "Saya tidak bermaksud merahasiakan ini kepada Anda" jawab Lucian.
"Tidak bermaksud? Lalu ini apa?" Andralia sudah terlanjur kesal dengan Lucian. Dia menunjukkan pakaiannya yang berantakan. Bekas cupang itu pada Lucian.
"Kau meresap energi sihirku dan membuang energi sihirmu di ruangan ini! Apanya yang tidak ada rahasia diantara suami istri?! HAH! BASI!" Andralia melemparkan bantalnya tepat di wajah Lucian.
Entah mengapa, dada Andralia terasa panas, sesak. Tangannya bahkan ingin meremas wajah Lucian hingga tak berbentuk.
"AKU... AKU... SIALAN! AKU SUNGGUH...! AKU SUNGGUH KECEWA PADAMU! BAJINGAN!" Andralia menendang kaki Lucian untuk menjauh darinya. Dia meremas pakaiannya sendiri karena rasa kesal itu.
Bahkan, dia tidak sadar jika air matanya mengalir di pipinya.
Lucian menatap Andralia. Dia membeku melihat air mata keluar dari mata biru itu. "Yang Mulia...." Lucian mengulurkan tangannya ke arah wajah Andralia dan Andralia menipisnya.
"Jangan menyentuhku!" bentak Andralia.
Jari jemari Lucian terasa kaku. Hatinya terasa tergores. Dia membuat wanita yang sangat dia cintai menangis.
"Dengarkan penjelasan saya, saya begini..."
"Aku tidak menyukaimu Lucian! Padahal aku sangat mempercayaimu! Aku bahkan khawatir dengan kondisimu! Kenapa jadi seperti ini!! Sialan!!"
"GREP!"
Kulit tubuh Lucian menyentuh wajah Andralia. Kedua mata Andralia terbelalak lebar. Dia sangat kecewa karena Lucian menyembunyikan jati dirinya selama ini
Tubuh kecil Andralia dibekap oleh Lucian. "Maafkan saya. Tolong, maafkan saya. Anda bisa menghukum saya. Saya tidak akan mengulangi kesalahan ini lagi. Saya tidak bisa melihat Anda menangis!"
Andralia berusaha memberontak, namun Lucian masih memeluknya dengan lembut dan hati-hati.
Tangan kanan Lucian mulai mengusap kepala Andralia.
"Saya sangat mencintai Anda. Saya hanya tak ingin jika Anda membenci saya"
Andralia semakin menangis dia sudah terlalu lelah dengan apa yang dia ketahui dari Lucian, hingga dia tertidur tanpa sengaja di dalam bekapan itu.
Lucian mengusap kepala Andralia di dalam pelukannya.
Sejenak, Lucian terdiam. Dia menyesali atas apa yang telah dia perbuat. Bahkan, kelakuannya malam itu, semuanya terlintas dipikirannya. Namun, ada satu hal yang membuatnya semakin merasa bersalah. Yaitu, Andralia tidak mendorongnya ataupun menolaknya dengan kasar. Melainkan, dia menerima Lucian dan menolak dengan bahasa yang lembut.
Lucian memeluk tubuh kecil Andralia. Dia menempelkan hidungnya di rambut keemasan yang halus itu. Aroma sampo yang manis dan harum tercium.
"Maafkan aku..." Dia mengeletakkan Andralia ke tempat tidurnya dan memberinya selimut hingga menutupnya sampai bahu.
Lucian berdiri cukup lama di sebelah ranjangnya memandangi tubuh Andralia. Lucian merasa kecewa dengan dirinya sendiri, dia merasa hanya menjadi beban Andralia. Dia keluar dari kamar itu, dan tanpa sengaja berpas-pasan dengan pelayan yang datang untuk merapikan Andralia.
"Hari ini, tolong biarkan Yang Mulia tidur lebih lama" ucap Lucian melewati mereka.
Silvia dan tiga pelayan lainnya saling melihat. Mereka semua melihat wajah Lucian yang terlihat sedang mengertakkan giginya. Lucian terlihat sedang marah. Tidak ada salah satu dari mereka yang berani memanggilnya atau menjawabnya. Semuanya mengangguk dan membungkuk.
Seharian itu, Lucian menghabiskan waktunya di depan gulungan kertas berisi permintaan dan permohonan. Meski dia masih belum menjadi Raja resmi, Kyle sudah memintanya untuk membereskan semua dokumen-dokumen itu.
Suara gesekan kertas dengan pena memenuhi telinganya. Namun, pikirannya tidak ada di ruangan itu. Dia selalu teringat dengan ucapan Andralia, tentang kecewanya dia atas rahasia yang dia sembunyikan.
Lucian menghela napas panjang, kemudian menjatuhkan wajahnya di meja kerja itu. "Apa yang sudah ku lakukan...?" tanya lirih Lucian gemetar, seakan dia hampir menangis saat melihat dirinya tidak bisa dikendalikan dengan benar.
Surat kecil tiba-tiba melayang di depan Lucian. Dan mendarat lembut di meja itu.
"Zavyerol.... Kenapa kau ke sini?" Lucian melirik sisi belakangnya.
Di sana, pria berambut pirang keemasan itu datang dengan sihirnya. Dia meringis sinis. "Kau menandainya?" Tanya Zavyerol sambil berjalan ke depan meja kerja Lucian untuk duduk di kursi hadapan meja kerja Lucian.
"Kurasa belum" jawab Lucian.
"Kenapa belum? Em, harusnya aku tidak datang sekarang" Zavyerol memandang ngeri ke arah Lucian.
"Aku tidak akan menyerangmu, sekarang aku sudah baik-baik saja" Lucian mengangkat pandangannya, melihat wajah Zavyerol yang memuakkan itu.
Zavyerol mengeleng pelan kemudian dia duduk di kursi itu. "Akan lebih baik kalau kau segera menandainya, Lucian" ucapnya.
Lucian mengelengkan kepalanya, "Aku tidak ingin melakukan itu"
"Kenapa?"
Lucian mengangkat kepalanya, menatap tumpukan dokumen itu. Dan di sebelahnya, masih ada bingkai kecil potret Alvart yang mengandeng Andralia dan dirinya saat masih kecil.
"Aku tidak ingin memaksanya" jawab Lucian.
Zavyerol menghela napas panjang. Bahkan, kepalanya turut mengeleng. "Kenapa kau jadi orang yang lembut begini, bodoh!"
"Kau hanya membuat dirimu sendiri susah!"
Zavyerol melirik sekelilingnya. "Aku tau kau sangat mencintai Erundil. Kalau kau terus seperti ini, kau bisa kehilangannya lagi. Aku tidak mau jadi penggantinya" ucap Zavyerol melemparkan permen kecil dari tangannya ke kepala Lucian.
Permen itu jatuh di hadapan Lucian.
"Itu tidak akan terjadi. Saat ini kami sudah terikat suami dan Istri. Aku juga, hanya perlu mengeluarkan sihirku saja dengan rutin" keputusan Lucian.
"Hahaha!" Zavyerol kembali tertawa dan menyandarkan punggungnya pada kursi itu. "Kau sungguh naif, Ini adalah tanah Erundil. Kau berada di tanah orang-orang yang membenci Iblis. Dimana kau akan membuang sihirmu? Kerajaan ini terlalu damai bagi Iblis sepertimu" Zavyerol mengetuk-ngetuk meja itu dengan kuku jarinya.
Lucian menoleh perlahan ke arah Zavyerol, dia tersenyum kecil sebagai rayuan, "kalau gitu, izinkan aku membuang sihirku di Devonec"
Mata Zavyerol langsung menatap tajam Lucian yang tersenyum kaku itu. "Kau ingin Putriku terkontaminasi sihirmu? Aku tidak mau, keturunanku harus berurusan dengan Iblis gila sepertimu"
Bibir Lucian kembali manyun, "Ayolah, lagi pula kau juga memiliki tetesan Matahari karena Putra Erundil kan? Tolong bantu Ayahmu ini...." Lucian mengeluarkan buku sihir kuno dari telapak tangannya sebagai sogokan untuk Zavyerol.
Zavyerol adalah seorang yang mengoleksi buku sihir kuno. Dia mengambil buku itu dari tangan Lucian. "Aku dan kau tidak memiliki hubungan darah sedikitpun. Najis sekali memanggilmu Ayah, meski kau sempat merawatku!" Zavyerol langsung memasukkan buku itu ke dalam tasnya.
Lucian tersenyum kecil, dia merasa lega karena Zavyerol menerima permintaannya meski tidak mengucapkannya secara lisan.