Cinta itu manis, sampai kenyataan datang mengetuk.
Bagi Baek Yuan, Reinan adalah rumah. Bagi Kim Reinan, Yuan adalah alasan untuk tetap kuat. Tapi dunia tak pernah memberi mereka jalan lurus. Dari senyuman manis hingga air mata yang tertahan, keduanya terjebak dalam kisah yang tak pernah mereka rencanakan.
Apakah cinta cukup kuat untuk melawan semua takdir yang berusaha memisahkan mereka? Atau justru mereka harus belajar melepaskan?
Jika bertahan, apakah sepadan dengan luka yang harus mereka tanggung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jemiiima__, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 32
...Eternal Love...
...•...
...•...
...•...
...•...
...•...
...🌻Happy Reading🌻...
Saran Playlist :
🎵Lee Hongki - Still Love You🎵
🎵 New West - Those Eyes🎵
“A-apa?” suaranya bergetar, matanya melebar tak percaya.
“Boss, apa tahu sesuatu soal ini?” Taesung bertanya lagi.
Tapi Yuan tidak bisa menjawab. Dadanya seakan diremas. Nafasnya memburu, kepalanya penuh tanya. Surat pengunduran diri? Tanpa sepatah kata pun padanya?
Ia menjatuhkan diri ke sofa, rambutnya ia acak dengan tangan gemetar. “Tidak… ini tidak mungkin… Reinan…” gumamnya.
Perasaan bingung, gelisah, gusar, bercampur jadi satu. Ia tak tahu harus mencari kemana, harus mulai dari mana. Yang ia tahu hanya satu. Reinan benar-benar pergi meninggalkannya.
Sambungan telepon terputus, meninggalkan Yuan dengan napas yang masih terengah. Tangannya terkulai lemas di sisi tubuh, ponsel nyaris terjatuh. Kata-kata Taesung tentang “surat pengunduran diri” terus bergaung di kepalanya, membuat dadanya semakin sesak.
Ia menjatuhkan diri ke sofa, kedua siku menumpu di lutut, wajahnya terkubur dalam genggaman tangan. “Kenapa, Nanan… kenapa kamu pergi tanpa bicara apa pun?” suaranya pecah, nyaris seperti rintihan.
Matanya menatap kosong ke sekeliling ruangan. Apartemen yang biasanya hangat oleh keberadaan Reinan kini terasa hampa. Sofa di seberang kosong, meja makan rapi tanpa jejak, bahkan aroma samar parfum Reinan sudah nyaris hilang.
Yuan berdiri, mondar-mandir gelisah. Pikirannya kacau. Ke mana harus ia cari? Haruskah ia langsung berlari ke kantor? Atau mencari di tempat-tempat yang biasa Reinan datangi? Setiap kemungkinan berkelebat, tapi tidak ada jawaban.
Ia berhenti di depan lemari yang kosong, lalu meraih pintunya seakan berharap baju-baju itu tiba-tiba kembali ada. Pandangannya kabur oleh air mata yang akhirnya jatuh tanpa bisa ditahan.
Di apartemen itu, untuk pertama kalinya Yuan benar-benar merasa sendirian.
Yuan terhenti di tengah ruang tamu, tubuhnya goyah menahan emosi. Saat matanya menatap sofa yang kosong, tiba-tiba ingatan itu menyeruak—malam terakhir ia dan Reinan bersama.
Kilasan itu membuat dada Yuan semakin sesak. Tangannya bergetar, ia berlutut di lantai, wajahnya menunduk dalam-dalam. “Nanan… bukankah kamu berjanji untuk menungguku pulang?” bisiknya parau.
Air mata menetes, membasahi lantai yang dingin.
Dengan tangan masih gemetar, Yuan membuka daftar kontak dan langsung menekan nama Joseph. Begitu tersambung, suara Yuan terdengar terburu-buru.
“Joseph… lo tahu di mana Reinan? Dia gak ada di apartemen, bajunya hilang semua… gue gak bisa menghubunginya.”
Hening sejenak di seberang, sebelum Joseph menjawab dengan nada bingung.
“Gue? Nggak, gue sama sekali gak tahu. Terakhir komunikasi dengan reinan pas ngabarin kalo lo ada dirumah gue."
Jawaban itu membuat dada Yuan makin sesak. Ia segera mengakhiri panggilan dan menghubungi Minji. Kali ini, suara Yuan terdengar putus asa.
“Minji… apa kamu bicara dengan Reinan akhir-akhir ini? Kamu tahu di mana dia sekarang?”
Minji terdengar ragu, lalu menjawab hati-hati.
“Dua hari lalu, ya, kami masih sempat bicara. Dia berangkat kerja seperti biasa, tidak ada yang aneh. Tapi setelah itu… dia tidak masuk kantor. Awalnya kukira dia sakit, jadi aku coba hubungi. Nomornya tidak bisa dihubungi sama sekali. Aku ingin menanyakan padamu, tapi kupikir kamu sedang sibuk perjalanan bisnis, jadi aku… sungkan.”
Yuan terdiam, jantungnya berdegup kencang. Matanya memerah, pandangannya berkunang.
Jadi benar, bukan hanya ia bahkan orang-orang terdekat Reinan pun tidak tahu ke mana ia pergi. Hilang, tanpa jejak, tanpa pesan.
Kepanikan dan kebingungan makin menghantam. Yuan menjatuhkan ponsel ke meja dengan kasar, kedua tangannya menutupi wajah. “Reinan… kamu ada di mana sekarang?” bisiknya nyaris patah.
...****************...
Beberapa hari berlalu sejak kepergian Reinan. Namun bagi Yuan, waktu seakan tidak bergerak. Hari-hari ia jalani dengan kegelisahan yang tak kunjung reda. Setiap detik pikirannya hanya dipenuhi satu tanya. Di mana Reinan sekarang?
Kekhawatiran itu merambat ke pekerjaannya. Ia duduk di kantor, menatap dokumen di hadapan tapi tak benar-benar melihat. Penjelasan staf masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Fokusnya hancur.
Taesung yang duduk di seberang hanya bisa menatapnya dengan rasa kasihan. Ia masih teringat jelas belum lama ini, ia melihat bosnya itu begitu bahagia, sebahagia-bahagianya, saat Reinan hadir di sisinya. Senyum lebar yang jarang muncul, tatapan hangat yang tak biasa.
Tapi kini, pemandangan di depannya benar-benar berbeda.
Wajah yang sama, tapi penuh letih dan muram. Mata yang dulu berbinar, kini redup dan kosong.
Taesung menarik napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak ikut terhanyut dalam kesedihan itu. Dalam hati ia bergumam lirih, 'Bos… siapa sangka orang yang bisa membuatmu sebahagia itu, juga bisa membuatmu sesedih ini.'
Taesung yang sedari tadi memperhatikan akhirnya memberanikan diri membuka suara.
“Bos… mungkin bisa coba hubungi keluarganya. Setidaknya mereka pasti tahu ke mana Reinan pergi.”
Namun jawaban yang keluar hanya gelengan lemah dari Yuan.
Bibirnya bergerak pelan, suaranya nyaris bergetar.
“Saya… bahkan tidak tahu siapa mereka Taesung. Saya hanya tahu dia punya ibu, ayah tiri, dan seorang kakak tiri… itu saja. Dia tidak pernah sempat bercerita lebih jauh, dan saya…”
Yuan menunduk, kedua tangannya menekan pelipisnya, menahan perasaan bersalah yang menyesakkan.
“…betapa bodohnya diri ini. Hal sesederhana itu saja tidak tahu. Bagaimana bisa menemukannya, kalau bahkan jejak keluarganya pun saya tidak mengenal?”
Keheningan menyelimuti ruangan. Taesung tercekat, tidak bisa membantah. Kata-kata Yuan menancap dalam, karena benar jalan yang biasanya bisa menjadi petunjuk kini seakan benar-benar buntu.
Bagi Yuan, rasanya seperti kehilangan arah di tengah lautan luas, tanpa peta, tanpa kompas. Dan satu-satunya cahaya yang ia cari… hilang begitu saja.
Keheningan makin menyesakkan.
Suara jam dinding terdengar begitu nyaring di antara hening itu, setiap detik terasa seperti pukulan yang mengingatkan Yuan betapa kosongnya dirinya tanpa Reinan.
Ia menunduk, kedua matanya memerah, napasnya tersengal. “Aku… benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi.”
Suaranya pecah, seolah setiap kata menyayat dirinya sendiri.
Taesung hanya bisa menatap tanpa mampu memberi jawaban. Untuk pertama kalinya, ia melihat bosnya—pria yang selama ini kuat penuh kendali tampak begitu rapuh, seakan seluruh beban dunia menghimpit pundaknya.
Yuan memejamkan mata erat, tangan mengepal di atas meja.
Di benaknya hanya ada satu kenyataan yang berputar tanpa henti.
Reinan telah pergi. Dan aku bahkan tidak tahu ke mana harus mencarinya.
Untuk sesaat, seluruh dunianya runtuh—benar-benar runtuh.
Yuan menunduk dalam, jari-jarinya meremas rambutnya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan liar berputar di kepalanya, semakin menekan dadanya yang sesak.
Kenapa Reinan pergi?
Apa aku melakukan sesuatu yang salah padanya?
Atau… apakah dia sudah tahu tentang perjodohan itu? Tentang Hyeri… dan keluargaku?
Pikiran itu menusuk seperti duri. Yuan menggertakkan giginya, wajahnya menegang menahan rasa bersalah.
Jika memang itu alasannya jika Reinan pergi karena ia mengetahui sesuatu yang seharusnya belum siap ia jelaskan maka semua salahnya.
Yuan memukul meja sekali, suara kayu bergema di ruangan yang sepi.
“Reinan…” suaranya parau, hampir berbisik, “kalau memang kamu tahu… kenapa kamu memilih pergi tanpa bicara padaku dulu?”
Air matanya jatuh juga, meski ia berusaha menahannya. Kepergian Reinan meninggalkan lubang besar, dan yang tersisa hanyalah tanya yang tak terjawab—serta penyesalan yang menghantam tanpa ampun.
...****************...
Pagi itu, di ruang kerjanya, Yuan mencoba menenggelamkan diri dalam tumpukan dokumen. Matanya lelah, kepalanya berat, tapi ia memaksa agar pikirannya tetap sibuk.
Tiba-tiba, Taesung masuk dengan raut bingung, meletakkan sebuah amplop cokelat di meja.
“Bos, ini barusan dikirim ke resepsionis. Tidak ada nama pengirimnya,” ucapnya singkat.
Yuan menatap amplop itu curiga. Hatinya berdegup tak tenang. Dengan tangan agak gemetar, ia membuka segelnya.
Beberapa lembar foto jatuh ke meja.
Seolah seluruh darahnya berhenti mengalir, Yuan menatap satu per satu foto itu, Reinan.
Reinan dengan wajah lelah. Reinan dalam pelukan seseorang, pria asing yang tak pernah dikenalnya.
Foto-foto itu diambil dari berbagai sudut, begitu jelas, begitu nyata.
Yuan mematung. Dadanya mendidih, matanya panas.
Reinan… siapa pria ini?
Tangannya meremas salah satu foto hingga nyaris robek.
Pertanyaan demi pertanyaan menghantam kepalanya:
Apa ini alasanmu pergi?
Apa kamu… meninggalkanku demi dia?
Selama ini aku yang salah mengartikanmu?
Amarah dan kecewa bercampur jadi satu, tapi di balik itu ada luka yang jauh lebih dalam. Hatinya menolak percaya, tapi matanya dipaksa menatap bukti di hadapannya.
Dengan suara serak, hampir berbisik, ia bergumam pada foto yang bergetar di tangannya:
“Reinan… kamu mengkhianati aku.”
Yuan bersandar di kursinya, matanya tak lepas dari foto-foto itu. Semakin lama ia menatapnya, semakin hatinya seperti diremas. Napasnya berat, penuh amarah dan sakit hati yang bercampur.
Reinan… kenapa kamu tidak memilih jujur? Kenapa harus pergi dengan cara seperti ini?
Ia menutup mata, tapi justru bayangan itu semakin jelas. Reinan berlari, Reinan menangis, Reinan dipeluk oleh pria asing. Seolah-olah adegan itu menegaskan bahwa dirinya tak lagi berarti.
Tangannya mengepal, buku-buku jarinya memutih.
“Kalau memang begitu, sejak awal aku apa bagimu, Reinan? Hanya pelarian? Hanya hiburan sementara?”
Taesung yang masih berada di ruangan menatapnya dengan cemas, tapi tak berani bicara. Ia bisa merasakan aura murka dan keputusasaan yang melingkupi bosnya.
Yuan menunduk, menekan keningnya dengan kedua tangan.
Tidak… ini tidak bisa benar. Tapi… kalau semua hanya salah paham, kenapa dia pergi tanpa sepatah kata pun?
Sekuat tenaga ia mencoba menyangkal, tapi luka itu semakin dalam, menggerogoti pikirannya.
Yuan merasa seperti ditinggalkan di dua sisi. Dikhianati oleh orang yang ia cintai, sekaligus dihantui rasa bersalah karena tidak bisa melindunginya dari keadaan.
Dan di dalam kepalanya, pertanyaan yang sama terus berputar, membakar setiap sisa harapan.
Siapa pria itu? Kenapa harus dia Reinan, kenapa bukan aku?
jangan balikan lagi sama si mantan
apaan baru begitu aja udah cemburu
😭😭😭
semangat berkarya terus ya Thor