NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN DENDAM

PERNIKAHAN DENDAM

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / CEO / Pengantin Pengganti / Dendam Kesumat
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Menjelang pernikahan, Helena dan Firdaus ditimpa tragedi. Firdaus tewas saat perampokan, sementara Helena diculik dan menyimpan rahasia tentang sosok misterius yang ia kenal di lokasi kejadian. Kematian Firdaus menyalakan dendam Karan, sang kakak, yang menuduh Helena terlibat. Demi menuntut balas, Karan menikahi Helena tanpa tahu bahwa bisikan terakhir penculik menyimpan kunci kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27

Karan melangkah naik menaiki tangga satu demi satu.

Napasnya berat, tapi langkahnya mantap. Tangannya masih menggenggam ponsel dengan erat.

Di balik pintu kamar yang terkunci, suara isakan Imelda sudah mulai melemah.

Bukan lagi penuh perlawanan, tapi penuh keputusasaan.

Klik.

Kunci pintu diputar.

Pintu terbuka perlahan.

Imelda langsung menoleh dengan mata merah sembab.

Wajahnya basah, rambutnya berantakan.

“Aku bukan Helena…” suaranya pelan, tapi tegas.

Karan tidak langsung menjawab dan berdiri di ambang pintu beberapa detik, hanya menatapnya.

Lalu ia melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya.

Tanpa berkata apa-apa, ia mengangkat ponselnya dan memperlihatkan layar yang masih menampilkan foto peti mati kosong.

Imelda menatap layar itu. Tubuhnya menegang.

“A-apa itu?" tanya Imelda dengan wajah kebingungan.

Karan mendekat selangkah demi selangkah.

“Ini makammu, Helena.”

“Bukan!” Imelda menggeleng keras.

“Itu bukan makamku! Aku bukan Helena!”

“Kalau begitu,” suara Karan meninggi, penuh luka,

“KENAPA MAKAM MU KOSONG?!”

Imelda terlonjak kaget.

Karan maju cepat, hampir mendekat ke wajahnya.

“KENAPA DNA-MU COCOK?! KENAPA KAMU PUNYA TANDA LAHIR YANG SAMA? KENAPA SETIAP AKU LIHAT WAJAHMU, HATIKU MERASAKAN HAL YANG SAMA?!”

“Aku bukan dia!!!” Imelda menjerit balik, berdiri dan mendorong dada Karan dengan marah.

“Berapa kali harus kukatakan?! AKU BUKAN HELENA!”

Karan tidak bergeming. Dadanya naik turun cepat.

“Tapi kau juga bukan Imelda.”

Imelda membeku.

“Apa…?”

Karan mendekat lagi, lebih pelan kali ini. Suaranya melemah, tapi justru lebih menekan.

“Kau bilang namamu Imelda. Tapi kau tidak pernah bisa menjelaskan asal-usulmu. Tidak ada data kependudukan, tidak ada riwayat rumah sakit. Kau bahkan tidak tahu tanggal ulang tahunmu sendiri.”

Imelda menggigit bibirnya, hampir tersedak tangis.

“Aku kehilangan ingatan…”

“KEHILANGAN INGATAN ITU BUKAN IDENTITAS!” bentak Karan, suaranya pecah.

Keheningan.

Hanya napas mereka berdua yang terdengar.

Lalu Karan menunduk sedikit, suaranya lirih, hampir seperti permohonan.

“Kalau kau bukan Helena, kalau kau benar-benar bukan dia…”

Ia meraih tangan Imelda.

“Buktikan.”

Imelda menatapnya bingung, ketakutan.

“B-buktikan bagaimana…?”

Karan melepaskan genggamannya, lalu melangkah mundur.

“Kenakan ini.”

Ia membuka laci, mengeluarkan kalung pernikahan Helena.

Kalung sederhana dengan liontin ukiran inisial: K ♥ H

Kalung yang dulu selalu dipakai Helena.

Imelda menatap benda itu dan tubuhnya langsung kaku.

Tangisnya mendadak berhenti.

Air matanya berhenti.

Matanya berkaca-kaca, namun kini bukan karena marahbmelainkan bingung.

Seperti ada sesuatu yang bergema di dalam dirinya.

Sesuatu yang ingin muncul.

“Pakailah,” ucap Karan pelan.

Tangannya gemetar saat menyerahkannya.

Imelda mundur satu langkah.

“Jangan dekat-dekat!!"

“Kalau kau bukan Helena, maka kalung ini tidak akan berarti apa-apa bagimu.”

Imelda menatap kalung itu seolah menatap hantu.

Dadanya naik turun cepat.

“AKU BUKAN HELENA…” ucapnya lagi.

Imelda mundur makin jauh ke tepi ranjang, napasnya semakin panik.

“AKU BILANG, AKU BUKAN HELENA!!” jeritnya.

Karan masih berdiri di tempat, kalung pernikahan itu tergantung di tangannya.

“Kalau kamu bukan Helena...”

“JANGAN DEKAT-DEKAT!!”

Imelda menyambar bantal dan melemparkannya dengan kencang ke arah Karan.

Bantal mengenai dada Karan, tapi ia tetap tidak bergerak.

Imelda meraih vas kaca di meja nakas.

“AKU PERINGATKAN!! JANGAN PAKSA AKU!!!”

“Imelda! Turunkan itu.”

“JANGAN!!!”

Dengan amarah bercampur ketakutan, Imelda melempar vas kaca itu ke lantai.

PRANG! Pecahannya memercik ke mana-mana.

“Lebih baik aku mati daripada jadi Helena!” serunya histeris.

Karan mendekat dua langkah, matanya penuh amarah dan frustasi yang sudah tak terbendung.

“Cukup, HELENA!!!”

“NAMAKU IMELDAAAA!!!”

Dengan gerakan cepat, ia meraih kalung dari tangan Karan.

BRAK!

Kalung itu diremas dan dibanting ke lantai.

Liontin K ♥ H itu terpental, rantainya patah.

Karan membeku.

Nafasnya berhenti sejenak dan wajahnya perlahan berubah dari amarah menjadi luka. Luka yang dalam.

Tatapan yang tadinya penuh api kini padam… digantikan kesedihan yang membisu.

“Kenapa…” bisiknya lirih.

“Kenapa kamu hancurkan itu?"

Imelda terengah, bahunya naik turun cepat, tapi matanya penuh air mata dan rasa bersalah yang aneh seolah tubuhnya sendiri menolak apa yang barusan ia lakukan.

“A-aku tidak—”

Tiba-tiba Karan menerjang maju.

Tangannya mencengkeram kedua bahu Imelda.

“KAMU TAU BERAPA LAMA AKU MENJAGA KALUNG ITU?!”

“Lepaskan!! Sakit!!”

“KAMU TAU BERAPA LAMA AKU MENUNGGU MIMPIMU JADI NYATA?!”

“AKU BUKAN MIMPI MU!! AKU BUKAN HEL— AAAHH!!”

Imelda berusaha mendorongnya sekuat tenaga—dan tanpa sengaja, kakinya terpeleset oleh pecahan vas kaca di lantai.

Kepalanya terbentur meja kayu di belakangnya. DUG!

Tubuhnya terjatuh ke lantai.

“HELENA!!”

Karan langsung ikut jatuh berlutut, panik. Tangannya gemetar saat mengangkat kepala Imelda ke pangkuannya.

“Helena! Helena buka matamu! Helena!!”

Tapi mata Imelda sudah terpejam, darah tipis mulai mengalir dari pelipisnya.

Karan menahan napas, wajahnya pucat pasi.

“TIDAK! BUKA MATAMU!!”

Suara Karan pecah, antara putus asa dan ketakutan.

Tangannya gemetar hebat, memeluk tubuh Imelda erat-erat.

“Jangan tinggalkan aku lagi.”

“HELENA! BUKA MATAMU!!”

Karan menepuk-nepuk wajah Imelda—atau Helena dengan panik. Nafasnya memburu, matanya berkaca-kaca.

Tanpa pikir panjang, ia meraih ponsel di saku dan menekan nomor cepat.

“Dokter Arya! Ke rumah SEKARANG! Bawa semua peralatan medis! Ini darurat!”

Ia tak menunggu jawaban. Ponsel dilempar ke ranjang, dan kedua tangannya kembali sibuk menekan pelan pipi Imelda.

“Helena, jangan tinggalin aku! jangan tinggalin aku lagi…”

Beberapa menit kemudian, langkah tergesa-gesa terdengar dari luar kamar.

“Pak Karan! Kami sudah—”

“MASUK!! CEPAT!!”

Dua perawat pribadi dan dokter Arya masuk dengan kotak medis.

Mereka langsung bergerak cepat memeriksa luka di pelipis Imelda, membuka peralatan suntik dan perban.

“Tekanan darahnya turun, kemungkinan benturan ringan, tapi harus cepat ditangani!” ujar dokter Arya.

Karan hanya bisa berdiri di samping ranjang, tubuhnya tegang, tangan mengepal keras sampai buku-buku tangannya memutih.

“Selamatkan dia. Apa pun harganya,” ucapnya pelan, nyaris seperti ancaman sekaligus permohonan.

Setelah beberapa menit penanganan intensif—pembersihan luka, suntikan, dan pemasangan alat monitor akhirnya suara dokter terdengar.

“Pak, dia mulai sadar.”

Karan langsung maju dan berlutut di samping ranjang.

Kelopak mata Imelda perlahan terbuka.

Tatapannya masih buram, tapi begitu melihat wajah Karan dan air mata langsung mengalir begitu saja.

Karan membeku. Jantungnya berhenti berdetak sejenak.

“Helena—?”

Suara Helena pecah, penuh luka yang tertahan bertahun-tahun.

“Kenapa…” isaknya.

“Kenapa kamu meninggalkan aku di Paris sendirian…?”

Karan tercengang.

“A-apa…?”

“Mereka bilang…”

Helena menggigit bibirnya keras, bahunya bergetar di pelukan Karan.

“…mereka bilang kamu meninggalkan aku.”

“Mereka…?”

“Mereka bilang namaku Imelda. Mereka bilang aku tidak punya siapa-siapa…”

Karan mencengkeram bahu Helena dengan gemetar.

“Siapa ‘mereka’?!” suaranya bergetar antara marah dan cemas.

Helena menggeleng pelan, matanya masih berkaca.

“Aku, tidak ingat dengan wajah ajah mereka… tapi suaramu di kepalaku… aku selalu dengar…”

Tangannya menggenggam baju Karan erat-erat, seolah takut Karan akan menghilang lagi.

“Suaramu yang memanggilku Helena.”

Karan menelan ludah, menahan emosi yang menyesak.

Ia memeluk Helena lebih erat, seolah ingin menyatukan kembali separuh jiwanya yang hilang.

“Helena…”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!