Kinara, seorang pejuang akademis yang jiwanya direnggut oleh ambisi, mendapati kematiannya bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah misi mustahil. Terjebak dalam "Sistem Koreksi Generasi: Jalur Fana", ia ditransmigrasikan ke dalam raga Aira Nadine, seorang mahasiswi primadona Universitas Cendekia Nusantara (UCN) yang karier akademis dan reputasinya hancur lebur akibat skandal digital. Dengan ancaman penghapusan jiwa secara permanen, Kinara—kini Aira—dipaksa memainkan peran antagonis yang harus ia tebus. Misinya: meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sempurna dan "menaklukkan" lima pria yang menjadi pilar kekuasaan di UCN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chiisan kasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Kinara tidak membiarkan peringatan ambigu Rendra (Target 2) membekukan darahnya, tetapi ia juga tidak mengabaikannya. Rendra, meskipun tampak ingin memperbaiki reputasinya dan sedikit membantu membersihkan utangku, masih terikat kuat pada idealisme BEM yang kaku dan otoriter.
Faksi yang mengirimiku pesan itu jelas mewakili idealisme lama: takut pada kritik, tunduk pada hirarki, dan paranoid terhadap siapa pun yang berani mengubah status quo. Dan kini, 'Amara Nasywa' telah menjadi representasi dari anarki intelektual yang paling mereka takuti.
Aku menelusuri kampus. Meskipun aku sekarang berjalan dengan kepercayaan diri yang sedikit berbeda, stigma "Antagonis Terbuang" itu tidak hilang sepenuhnya. Mereka hanya bingung.
Mereka bertanya-tanya, apakah Amara membayar seseorang untuk esai, atau apakah dia gila. Yang jelas, aku sudah membuat lubang di kapal yang mereka tumpangi.
Peringatan Rendra untuk "menurunkan tensi kritisisme" adalah taktik bertahan yang khas. Para 'Drone' kampus, seperti yang kuberi julukan dalam hati, hanya ingin sistem tetap stabil.
Namun, sebagai Kinara, jiwa yang gagal dan kelelahan, tujuanku bukan stabilisasi, melainkan pembongkaran. Aku harus mencapai nilai A, dan untuk itu, aku harus mengacau.
Saran Pak Arka menggema di benakku: "Pelajari tentang Mastermind Sistem Ranking kita."
Sistem Koreksi yang aku tumpangi hanyalah instrumen. Mastermind, dalang yang menciptakan kerangka kerja penilaian yang brutal ini, adalah kunci untuk memahami mengapa Amara dihancurkan, dan mengapa Kinara (di kehidupan lamanya) juga gagal menembus struktur serupa.
Aku memutuskan untuk kembali ke sarang naga—kantor Pak Arka.
Aku mengetuk pintu kantor Pak Arka sekitar satu jam setelah pertemuan kami sebelumnya. Ia mengangkat kepalanya dari jurnal tebal. Raut wajahnya menunjukkan campuran kekesalan karena terganggu, tetapi juga ketertarikan yang tak terhindarkan.
“Nasywa? Bukankah kita baru saja menyelesaikan urusan kita?” tanyanya, sedikit lelah.
“Saya membutuhkan klarifikasi, Pak. Mengenai saran Bapak untuk mencari tahu tentang Mastermind SPU,” kataku, langsung pada intinya.
Dia menunjuk kursi di depannya, menghela napas, dan melepas kacamata bacanya lagi.
“Duduklah. Kamu mahasiswa yang paling rajin menanyakan tentang konspirasi sistem, Nasywa. Setidaknya sekarang, ambisi intelektualmu setara dengan catatan kriminalmu.”
Aku tidak tersinggung. Komentar itu adalah pujian tingkat tinggi dari Pak Arka.
“Saya mendengarkan peringatan Bapak. Bahwa esai saya bisa menimbulkan masalah serius,” kataku, bersandar ke belakang.
“Saya telah menerima ancaman. Dari pihak BEM. Mereka tidak ingin ‘reformis dadakan’ seperti saya mencolok.”
Wajah Pak Arka tidak berubah, tetapi matanya menajam. “Aku menduga itu. Mahasiswa BEM kita adalah pengikut otoriter sejati, mereka didoktrin untuk takut pada disrupsi. Apa yang kamu inginkan, Nasywa? Kamu ingin aku turun tangan?”
“Tidak, Pak. Saya ingin tahu apa yang harus saya lakukan selanjutnya, dari sudut pandang sosiologi kritis,” jawabku jujur.
“Rendra meminta saya menurunkan tensi. Jika saya melakukannya, itu berarti saya tunduk pada ancaman mereka. Jika saya meningkatkan kritisisme, saya berisiko diusir. Bagaimana cara mengkritik struktur kekuasaan ini tanpa terperangkap dalam permainannya?”
Pak Arka menyunggingkan senyum tipis, pertama kalinya senyum itu terasa benar-benar hangat, bukan sarkastik.
“Itu adalah pertanyaan sosiologis sejati, Nasywa. Ini adalah pertarungan hegemoni Gramscian yang sedang kamu hadapi. Hegemoni BEM dan administrasi itu dipegang bukan melalui kekuatan kasar, melainkan melalui persetujuan pasif mahasiswa lainnya,” jelasnya, kini berbicara layaknya mentor sejati.
“Kamu tidak bisa mengalahkan hegemoni dengan teriakan frontal. Itu akan membuatmu terlihat radikal, gila, dan mudah dieliminasi.”
Aku menanti kelanjutannya, menyerap setiap kata.
“Yang kamu butuhkan untuk presentasi akhir—untuk membongkar sistem ranking SPU ini—adalah narasi alternatif. Kamu harus membuat para drone itu (mahasiswa lain) setuju denganmu, secara diam-diam. Kamu harus membalikkan lensa. Bukan kamu yang gagal, tapi sistem yang gagal memfasilitasi kamu,” kata Pak Arka, mengetuk-ngetuk jarinya di meja.
“Tapi bagaimana caranya? Saya hanya Amara Nasywa. Siapa yang akan percaya pada cerita korban dari seorang debitur judi?” tanyaku sinis.
“Kamu salah,” bantah Pak Arka cepat. “Amara Nasywa adalah aset terbesar Anda saat ini. Dia adalah personifikasi nyata dari dampak kegagalan struktural yang sudah bertahun-tahun kami kritik dalam teori. Bukti empiris terbaikmu adalah kisah hidupnya.”
“Jadi, saya harus menggunakan trauma Amara?”
“Gunakan datanya, Nasywa. Bukan drama. Trauma itu emosional, bisa diabaikan. Data, fakta, statistik kegagalan, dan narasi personal yang dikuatkan oleh data. Itulah yang menghancurkan struktur. Kau tahu siapa yang mendirikan Sistem Pengendali Universitas (SPU) yang mengatur Ranking ini?”
Aku menggeleng. “Belum. Saya hanya tahu sistemnya. Bukan penciptanya.”
“Dia adalah Dekan Departemen ini, sekitar lima belas tahun lalu. Seorang idealis, dulunya. Obsesinya adalah menciptakan lulusan terbaik yang siap kerja. Sayangnya, kegagalan reformasi di awal kariernya membuatnya percaya bahwa cara terbaik untuk menghasilkan elit adalah dengan menciptakan mekanisme yang keras dan brutal untuk ‘membuang’ yang lemah. Mastermind kita adalah orang yang kecewa, Nasywa. Dan orang yang kecewa itu mudah dibeli.”
Fakta ini sangat penting. Mastermind adalah Mantan Dekan yang traumatis. SPU adalah produk dari trauma. Dan Mastermind itu ‘mudah dibeli’—yang mengarah langsung pada Target 4, Konglomerat Bapak Surya, yang gemar membeli segalanya.
“Jadi, sistem ini bukan hanya tentang memfilter mahasiswa berprestasi, tapi juga memastikan mahasiswa yang gagal dihancurkan untuk dijadikan contoh?” tanyaku.
“Persis. Dan itu sempurna untuk presentasimu. Bongkar logika yang memfasilitasi penghancuran personal Amara, dan tunjukkan bagaimana sistem itu pada dasarnya dirancang untuk menguntungkan koneksi korporat, bukan kemajuan ilmu pengetahuan,” saran Pak Arka, pandangannya berbinar.
Aku merasakan koneksi intelektual yang kuat dengannya. Aku dan dia, pada dasarnya, adalah pemberontak di dalam sistem ini, hanya saja aku punya lebih banyak nyali dan lebih sedikit hal yang dipertaruhkan.
“Saya akan menyerang jantungnya,” ujarku yakin.
Pak Arka mengangguk, puas. “Presentasi ini adalah misi hidupmu, Nasywa. Bukan hanya misi kuliah. Dan aku menuntut kesempurnaan filosofis. Karena jika kamu membuat administrasi merasa malu, aku mungkin akan dipanggil, tapi mereka tidak akan berani memecatku. Tapi jika kamu membuat kesalahan, mereka akan memakanmu hidup-hidup.”
“Diterima, Pak.”
Aku meninggalkan kantor Pak Arka dengan pikiran yang dipenuhi oleh Mastermind yang trauma, hegemoni BEM, dan presentasi yang harus menjadi deklarasi perang yang elegan.
Beberapa hari kemudian, persiapan presentasi berjalan intensif. Aku fokus mengumpulkan semua kritik yang selama ini kusampaikan secara lisan, menguatkannya dengan teori, dan yang paling sulit, menghubungkannya secara halus dengan sejarah gelap Mastermind tanpa menyebut namanya secara langsung (karena aku belum punya bukti kuat). Tujuanku adalah membuat penonton menyadari, Mastermind SPU yang idealis itu telah menjual jiwanya.
Malam itu, di kamar sewaku, aku membolak-balik jurnal Sosiologi dan mencari statistik IPK historis, berharap menemukan pola. Kapan IPK mulai anjlok? Kapan tingkat depresi mahasiswa meningkat? Aku mencari anomali di antara angka-angka. Namun, Fokus Absolut tidak cukup untuk menyusun data secara persuasif.
Saat frustrasi memuncak, Sistem Koreksi merespons kebutuhan mendesakku.
[KINARA! Misi Seri 1 kini berada di Titik Klimaks. Ancaman Eksternal meningkat. Diperlukan kemampuan yang meningkatkan efisiensi persuasif. Anda telah mendapatkan Randomizer Skill kedua.]
Aku merasakan gelombang energi dingin mengalir dari pelipisku ke seluruh tubuh. Otakku terasa seperti di-upgrade, memproses data dengan kecepatan kilat, tetapi kali ini, bukan sekadar kecepatan, melainkan kemampuan untuk memvisualisasikan bagaimana data itu diterima oleh audiens.
[RANDOMIZER SKILL BARU: Persuasi Logis (Rhetorical Insight)]
[Deskripsi: Skill ini memungkinkan Anda untuk secara instan menganalisis komposisi emosional dan logika yang paling efektif untuk meyakinkan audiens spesifik (misalnya: akademisi, mahasiswa awam, faksi BEM). Menggunakan data secara optimal untuk memanipulasi sudut pandang, bukan fakta.]
Ini luar biasa. Skill ini tidak membuatku menemukan fakta baru, tetapi membuatku tahu cara terbaik menyajikan fakta yang sudah ada agar Pak Arka terkesan, mahasiswa lain terinspirasi, dan BEM ketakutan.
Aku mengaktifkan *Persuasi Logis* dan mulai menyusun kembali kerangka presentasiku.
Jika sebelumnya aku hanya fokus pada kritik struktural (memuaskan Pak Arka), sekarang aku harus memasukkan elemen personal yang menyentuh mahasiswa biasa. Aku harus menggunakan status 'Antagonis Terbuang' milik Amara sebagai jembatan. Presentasi itu harus berjudul:
‘Korupsi Integritas Akademik: Bagaimana Kampus Kita Memperdagangkan Kemanusiaan Demi Reputasi Elite.’
Hari Presentasi tiba. Aku berdiri di depan ruang kuliah Sosiologi Kritis. Tidak seperti kuis atau UTS, presentasi ini wajib dihadiri. Semua mahasiswa tahun akhir di jurusan sosiologi duduk di kursi mereka, termasuk Guntur dari BEM (yang memperingatkanku), beberapa antek Rendra, dan, tentu saja, Pak Arka di kursi paling depan, tatapannya menghunus tajam.
Ketegangan di ruangan itu terasa tebal. Beberapa orang melihatku dengan rasa jijik (mengingat status Amara yang lama), yang lain dengan rasa ingin tahu. Mereka menunggu drama, bukan argumen.
Pak Arka memberi isyarat padaku untuk memulai. “Amara Nasywa. Jika kamu sudah siap, silakan. Ingat, presentasi ini 40% dari nilai akhirmu. Aku tidak menerima pembelaan atau keluhan. Bicaralah.”
Aku menarik napas panjang. Aku menekan tombol, dan slide pertama muncul. Bukan kalimat filosofis yang berat, melainkan foto-foto anonim—tangan-tangan mahasiswa yang gemetar saat ujian, mata yang bengkak karena kurang tidur, dan postingan media sosial lama Amara yang putus asa.
Aku mengaktifkan Persuasi Logis. Aku melihat reaksi emosional audiens: Pak Arka mencari argumen; Guntur mencari celah; mahasiswa biasa merasa sedikit tidak nyaman karena gambar itu terlalu dekat dengan kehidupan mereka.
Aku memutuskan untuk tidak menggunakan narasi Amara di awal. Aku menggunakan data umum, yang didapatkan Kinara dari pencarian di kehidupan aslinya, tentang angka bunuh diri dan kecemasan di kalangan mahasiswa. Itu adalah ‘ghibah berbasis data’ tingkat tinggi, disajikan dengan narasi sosiologis yang elegan.
“Selamat pagi, Bapak Dosen, teman-teman sekalian,” aku memulai, suaraku tenang dan berwibawa, jauh dari Amara yang suka berteriak.
“Kita akan berbicara tentang Integritas Akademik. Integritas adalah nilai yang selalu dituntut oleh kampus dari kita, mahasiswa. Kita dituntut untuk jujur, tidak mencontek, dan menjaga nama baik institusi.”
Aku menatap Pak Arka. “Tapi pertanyaan kritisnya: Jika institusi menuntut integritas, apakah institusi itu sendiri berintegritas?”
Lampu sorot kuarahkan pada grafik. “Sistem Ranking Universitas ini didesain bukan untuk menilai Anda, tetapi untuk menyortir Anda. Ia mengukur kepatuhan. Ia memuji kesempurnaan artifisial, dan secara sistematis, ia menghancurkan siapa pun yang menyimpang dari jalur elit itu. Sistem ini adalah ‘Korupsi Integritas Akademik’ karena ia menukarkan kesehatan mental kita dengan citra yang bersih.”
Guntur di barisan tengah mulai mencatat dengan agresif. Dia mencari celah formalitas.
Aku tidak membiarkan Guntur. Aku mengubah target emosional. Aku memunculkan satu foto yang memukul keras audiens mahasiswa—seorang mahasiswi anonim (namun jelas-jelas Amara, dilihat dari cincin di jarinya) di malam kelulusan, yang berdiri sendiri, terbuang, di sudut ruangan. Foto itu adalah cerminan statusku di kampus.
“Sistem ranking ini menjanjikan bahwa jika Anda sukses, Anda akan bahagia. Tapi, di manakah posisi mereka yang gagal?” Aku beralih ke nada yang lebih filosofis, yang aku tahu akan menyentuh idealisme Arka.
“Kampus ini menjual cerita sukses yang sangat menarik: IPK tinggi, jabatan BEM terkemuka, dan koneksi korporat yang hebat (menarik Target 4). Tapi untuk setiap kesuksesan elit itu, harus ada tumbal yang disajikan. Saya berdiri di sini, Amara Nasywa, mahasiswi dengan IPK 0.9, yang dihancurkan, yang dicap sebagai sampah institusi. Dan mengapa saya dicap sampah? Karena saya gagal mematuhi sistem yang korup secara moral ini.”
Aku kini menatap lurus ke arah Guntur dan sekitarnya, faksi BEM.
“Jika sistem ranking ini didesain oleh seorang idealis yang ingin menciptakan pendidikan sempurna (menyinggung Mastermind), maka apa yang kita lihat hari ini adalah distorsi brutal. Sistem ini tidak lagi menciptakan lulusan yang etis, tapi budak yang takut pada kegagalan.
Dan yang lebih parah,” kataku, mencondongkan tubuh ke depan, seolah-olah berbisik, “para ‘penjaga sistem’ itu, faksi-faksi elit, yang takut pada disrupsi, secara aktif bekerja untuk menghancurkan mereka yang mencoba melawannya. Bahkan dengan ancaman dan intimidasi.”
Guntur tersentak. Dia melihat ke sekeliling, merasa terekspos, karena semua orang kini melihat ke arahnya.
Aku tidak menunjuk Rendra (Target 2), tetapi aku menunjuk seluruh filosofi BEM yang ia pimpin: mereka yang menakuti-nakuti dan membiarkan ketidakadilan berjalan atas nama ketertiban.
Kinara memaparkan bukti terakhirnya, menyajikan rencana lima poin tentang bagaimana institusi seharusnya mendukung 'Kegagalan yang Produktif,' persis seperti yang didiskusikan dengan Pak Arka.
Presentasi selesai. Ruangan itu hening total. Tidak ada yang bertepuk tangan. Itu bukan karena mereka tidak menyukainya, tetapi karena mereka tercengang. Kinara baru saja membongkar sistem kampus secara elegan, menggunakan kelemahan Amara sebagai senjata ideologis.
Pak Arka adalah yang pertama bergerak. Dia meletakkan pulpennya di meja, suara benturan pulpen itu memecah keheningan.
“Amara Nasywa,” katanya, suaranya pelan dan berhati-hati. “Ini… Ini adalah presentasi terbaik yang pernah saya saksikan selama mengajar mata kuliah ini.”
Guntur di belakangku mendengus tak percaya.
Pak Arka berdiri, berjalan ke papan tulis, mengambil spidol, dan menulis sebuah huruf kapital yang sangat jelas di pojok kanan atas papan.
[A]
Aku menahan napas. Aku berhasil. Misi Seri 1, target terberatku—nilai A di Sosiologi Kritis—tercapai.
“Nasywa, kamu tidak hanya menantang isi mata kuliah ini. Kamu menantang eksistensi mata kuliah ini. Saya tidak bisa memberikan nilai selain nilai sempurna,” ujar Pak Arka, pandangannya kini dipenuhi oleh hormat intelektual yang total.
“Misi akademik Anda selesai. Anda berhasil membersihkan debit akademik Anda.”
Saat Kinara kembali ke tempat duduk, ponselnya bergetar liar.
[KINARA! MISI UTAMA SERI 1 SUKSES! Target A (Nilai Sempurna) tercapai. Misi Seri 1: Inkarnasi dan Debit Buruk, Selesai. Reward Point +100. Membuka Kunci Misi Seri 2.]
Namun, di tengah euforia itu, Kinara merasakan hawa dingin dari lorong, diikuti oleh suara langkah kaki yang tergesa-gesa. Beberapa anggota BEM, termasuk Guntur, langsung menghilang ke arah lobi.
Saat Kinara melangkah keluar dari kelas, mencoba menikmati kemenangan itu, ia mendapati Rendra berdiri menunggunya, ekspresinya tegang. Ia tidak tampak marah, tetapi tampak sangat khawatir.
“Selamat atas nilai A-mu, Nasywa. Kamu benar-benar memprovokasi seekor naga, tapi kamu melakukannya dengan indah,” ujar Rendra.
“Kamu terkesan,” balasku. “Mungkin aku harus memimpin BEM dan bukan kamu.”
Rendra menggeleng, membuang basa-basi. “Masalahnya, presentasi itu tidak hanya ditonton oleh kami. Salah satu mahasiswa BEM menyiarkannya secara daring. Bukan secara publik, tapi di jaringan SPU dan admin kampus.”
Wajah Kinara memucat. "Apa dampaknya?"
“Administrasi akan segera bertindak. Tapi bukan itu yang terpenting. Ada pihak yang melihat presentasimu. Seseorang yang sangat tinggi posisinya. Dan mereka tertarik,” bisik Rendra, merendahkan suaranya seolah-olah dinding pun punya telinga.
“Siapa?” tanyaku.
Rendra mencondongkan tubuhnya. “Serena. Saudara angkatmu. Dia ada di jaringan SPU. Dan dia mengirim pesan kepadaku untuk segera mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi denganmu, Amara. Dia bilang, ‘Amara tidak akan pernah mampu mengucapkan kata ‘Hegemoni’ dengan benar, apalagi menyerang sistem yang membesarkannya.’”
Dunia seolah berhenti berputar. Ancaman BEM hanyalah pengalih perhatian. Musuh yang sebenarnya—Serena, sang Antagonis Utama dan penjaga sistem—telah melihatku, dan dia tahu ada yang salah.
Seri 2 dimulai di detik ini, dan konflik akan menjadi jauh lebih personal dan berbahaya.