NovelToon NovelToon
Umbral

Umbral

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Rudi Setyawan

Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 31 — Hari Ceria di Sekolah

SUASANA ceria di sekolah membuat semua terasa kembali normal. Lapangan ramai dengan suara anak-anak main bola, guru-guru mondar-mandir membawa map tebal seakan dunia ini tidak punya masalah lain selain PR yang belum dikumpulkan, dan papan tulis di setiap kelas dipenuhi coretan kapur putih yang membosankan tapi akrab.

Dari luar, semuanya begitu hangat, ringan, aman—seperti tidak pernah terjadi peristiwa ganjil apa pun. Namun bagi Davin, semua itu hanya seperti kamuflase. Di balik tawa dan suara gaduh, ada rasa tegang yang mengikuti dia seperti bayangan. Kemarin dari Umbral—dan sekarang dari Sasha.   

Sasha melangkah ringan menuju kelas sebelah. Rambut panjangnya tergerai indah—dan seragam putih abu-abunya tampak tanpa cela. Dia tahu Elisa sengaja menghilang entah ke mana sekedar untuk memberi keleluasaan padanya. Good. Dia berhenti di depan pintu kelas Davin. Dia terpaksa proaktif karena Davin terlalu bego untuk bersikap agresif.

Davin baru saja ingin beranjak dari mejanya, ketika sudut matanya menangkap sosok Sasha di ambang pintu. Sedetik dia terhenti

“Dev, ke kantin, yuk?” ajak Sasha. “Aku lapar.”

Ajakan yang wajar. Normal. Dan sangat biasa dilakukan di antara sesama teman. Namun, entah mengapa, Davin mendadak merasa seluruh oksigen di kelas terasa menipis. Dia melirik ke arah Rayan—berharap ada isyarat penyelamatan.

Tapi Rayan justru pura-pura sibuk membantah dua siswa lain tentang rumus fisika—perdebatan yang jelas-jelas tak masuk akal. Naya sudah lebih dulu meluncur ke luar kelas—mau “ikut rapat penting di ruang OSIS” katanya. Dan Davin jengkel sekali—bukan pada Sasha, tapi pada dirinya sendiri. Rasa gugupnya terasa norak.

Tapi dia kadang kelabakan menghadapi kebiasaan jelek Sasha. Kalau dia lambat merespons, gadis itu akan seenaknya menggandeng lengannya di depan anak-anak—membuat jantungnya seperti meloncat ke kerongkongan.

“Buruan kenapa, sih?” desak Sasha setengah menggerutu. “Kalau kamu nggak lapar, temanin aku aja ke sana.”

“Ya, aku ke sana,” sahut Davin berusaha terdengar tetap cool. Dalam hati dia mengutuk Rayan. Sialan lo, Bro, awas lo nanti!

Mereka melangkah bersisian menyusuri koridor yang dipenuhi cahaya matahari siang. Namun, Davin merasa seperti sedang berjalan di atas panggung. Semua mata—atau setidaknya begitu rasanya—mengikuti setiap langkahnya. Tatapan-tatapan itu terasa seperti gumaman tak terdengar: "Lihat deh, cowok itu terlalu biasa untuk cewek secantik Sasha."

Dia menggeram dalam hati. Hhh, padahal siapa juga yang kepikiran ingin pacaran sama Sasha? Bukan dia. Maksudnya… ya, bukan dia.

Begitu tiba di kantin sekolah, Davin bahkan merasakan atmosfer yang lebih menekan—membuat dadanya terasa sesak. Kantin penuh dengan antrian siswa yang begitu berisik. Padahal dia biasa-biasa saja setiap kali pergi ke situ berduaan dengan Tari—atau bertiga dengan Naya. Tapi jajan di kantin hanya berduaan dengan cewek—apalagi dengan Sasha—membuat dia merasa seperti terjebak dalam skenario yang salah.

“Kamu nggak makan?” tanya Sasha.

Davin hampir menelan ludah. Suara gadis itu terdengar terlalu lembut di telinganya.

“Aku masih kenyang,” jawabnya cepat. “Aku minum saja.”

Entah mengapa, otot-otot lambungnya terasa kejang untuk mencerna makanan seringan apa pun.

Astaga, kenapa gue mendadak kayak orang begu begini? Apa sih hebatnya si Sasha ini?

“Ya udah,” ucap Sasha, lalu melanjutkan memesan makanannya.

Davin duduk membisu di samping Sasha, pura-pura sibuk mengamati jejeran botol minuman ringan yang dijadikan hiasan dinding. Di kepalanya, puluhan skenario sosial yang konyol bergantian muncul—sebagian tentang bagaimana kalau Sasha tiba-tiba mengajak dia ngobrol soal hal pribadi, sebagian lagi tentang bagaimana caranya kabur tanpa kelihatan ngacir.

Sasha sedikit menoleh ke arahnya. “Hmm, program kamu beneran aman dikerjain secara offline?”

Davin tidak ingin balas menoleh padanya—karena memandang wajah Sasha seakan menjadi beban yang terlalu berat untuk ditanggungnya. Tapi dia harus menatapnya.

“Ya, sejauh ini nggak ada masalah,” ujarnya datar. “Umbral nggak bisa intervensi selama aku offline. Tapi ada satu hal yang bikin aku nggak tenang.”

“Apa?”

“Gelombang suara Umbral ternyata nggak statis. Awalnya aku pikir pola mereka bisa dibekukan kayak static waveform. Tapi setelah aku bandingin sama belasan rekaman Papa, pola suaranya dinamis.”

“Maksudnya berubah-ubah?”

Davin mengangguk. “Ya. Dan yang lebih aneh, perubahan itu bukan random. Ada indikasi pola itu membentuk semacam formula. Bukan koordinat lokasi, tapi kayak formula energi. Kalau polanya memang dinamis, maka algoritma yang aku bikin nggak akan efektif di lapangan. Kalau aku masang distorsi di satu pola, besok atau bahkan satu jam kemudian, pola itu bisa sudah berubah. Sama saja kayak nge-crack sandi yang selalu ganti kunci tiap menit. Atau kayak nyerang bayangan.”

“Gimana kamu bisa tahu semua itu? Emang sih, Tari bilang kamu ahli banget di bidang IT.”

Davin meneguk es tehnya dengan tenang—berusaha untuk tidak terlihat bungah karena pujian Sasha. “Aku belajar. Ilmu apa saja bisa dipelajari—asalkan kita mau.”

“Iya, tapi kemampuan otak orang beda-beda, kan? Aku saja nggak ngerti apa-apa tentang IT. Kalau laptopku nggak bisa hidup saja, aku langsung bingung. Tapi sekarang udah aman.”

“Maksudnya?”

Sasha tersenyum. “Kalau alat-alat elektronikku ada masalah, kan aku cuma tinggal manggilin kamu.”

“Ya, nggak papa,” ujar Davin singkat. Tapi dalam hati dia mengomeli dirinya sendiri. Hmm, kalau Rayan dengar kalimat kayak begitu keluar dari bibir cewek, kira-kira apa yang akan dia katakan? “Cool. Ntar rusakin aja laptop lo, biar gue bisa datang ke rumah lo.”? Atau, “Gue bakal datang—biar tengah malam. Demi lo.”?  

Sasha menatapnya sebentar. “Kamu ingin bilang apa?”

“Nggak ada.” Davin menyeruput es tehnya lagi—seakan minuman itu adalah air zamzam yang menyehatkan. Coba, kenapa mulutnya tak pernah sinkron dengan otaknya setiap kali berhadapan dengan Sasha?

Sasha meraih ponselnya ketika terdengar bunyi notifikasi—dan dia mengangkat alis ketika melihat Rayan sudah beraksi di medsos—Instagram, Telegram dan WhatsApp.

Dia membuka saluran WhatsApp. Ternyata Rayan sudah meluncurkan polling lagi untuk menentukan lokasi challenge berikutnya.

Dia berhenti menyuap nasi sopnya. Dia membaca celoteh Rayan yang terkesan menyebalkan.

“Oi, geng horor! Nih gue kasih tiga opsi lokasi next konten, kalian tinggal pilih aja. Jangan sok bingung, baca dulu, abis itu vote. Jangan ntar baru nyesel nonton pas udah gue upload, trus ngoceh “kenapa nggak ke sana aja, Ray.” Yaelah, makanya dari awal lu pada ikut milih.

1. Gerbong kereta berhantu.

Ini gerbong tua yang katanya dulu pernah ada kecelakaan kereta parah. Banyak yang tewas kebanting sana-sini, ada juga yang kejebak dan kebakar. Sampe sekarang, orang-orang yang iseng masuk suka ngedengerin suara orang teriak sama bau gosong. Serius, gosong. Kalo kalian milih ini, siap-siap aja gue tidur mimpi buruk dengerin teriakan random di kuping.

2. Rumah tua di Bogor.

Ini rumah udah kosong bertahun-tahun, tapi dulu pemiliknya sekeluarga meninggal misterius. Ada yang bilang keracunan, ada yang bilang dibunuh, ada juga gosip santet-santetan. Yang jelas, tetangga sekitar pada keder lewat situ malem-malem. Lampunya suka nyala sendiri padahal listriknya udah dicabut. Kalo gue masuk sini, jangan salahin gue kalo pulang-pulang ada yang nebeng di pundak.

3. Pabrik gula angker.

Ini sih legend banget. Pabrik tua yang dulunya ada kecelakaan kerja—buruh-buruhnya ketelen mesin, ada yang kepalanya nyangkut gear, ada yang ilang sampe sekarang nggak ketemu. Konon kalo malem suka kedengeran suara mesin nyala sendiri, padahal udah puluhan tahun mati. Ada juga bayangan buruh jalan berjejer kayak abis shift. Kalo gue bikin di sini, paling seru karena areanya luas… tapi ya, resiko kesasar sama ketemu ‘satpam gaib’ juga gede.

Jadi tuh, pilih mana? Jangan sotoy-sotoy komen doang, gue udah bikinin poll. Tinggal klik. Kalo lu pada diem aja, gue yang mutusin. Dan kalo gue mutusin, jangan bawel. Habis perkara.”

Sasha menghela napas panjang. Dia meletakkan ponselnya di meja. Dia tidak mau ikut memilih.

Dia menoleh lagi pada Davin. “Perasaan tadi Rayan masih ketawa-ketiwi di kelas,” gumamnya. “Kamu udah baca polling di channel WA?”

“Ini lagi aku baca,” sahut Davin.

“Apa ketiga lokasinya beneran angker?”

Davin tersenyum kecil. “Aku bahkan belum tahu kalau sudah ada lokasi baru. Aku belum ada ngomong sama dia. Tapi semua urusan medsos emang full dihandel Rayan.”

Sasha mengangguk pelan. Dia melanjutkan makannya tanpa suara. Dia sengaja tak berkomentar apa-apa. Dia tahu persis bahwa mereka tak akan berhenti hanya karena dicekam rasa ketakutan. Tapi dia terlibat dengan Davin cs memang karena kegiatan ekstrem mereka, kan?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!