AWAS! Cerita ini bikin SENYUM-SENYUM SENDIRI.
Dewa Arga, cowok baru lulus SMA, belum mendapat ijazah sudah disuruh orang tuanya untuk menikah dengan wanita yang lebih tua darinya.
Bagaimana bocah petakilan itu bisa menjadi seorang suami yang baik?
Bara Abraham Wiratmaja, kakak tiri Nona yang baik dan tentunya tampan akan menambah manis cerita ini.
**
IG : marr_mystory
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ria Mariana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 : Terlihat gembel
"Kontrak adalah kontrak yang harus ditepati. Kurang 1 tahun 11 bulan lagi kita akan berpisah."
Dewa terdiam, ia memandang Nona yang sedang memakai pakaiannya. "Jika aku ingin kontrak ini batal bagaimana?"
Nona memandang Dewa. "Kau harus melunasi hutang orang tuamu dan membayar pinalti jika melangggar kontrak."
Dewa berdiri, dia tersenyum kecil. "Aku akan bekerja keras untuk mencari uang lalu membayar hutang orang tuaku beserta pinalti kontrak. Pernikahan bukan perkara main-main. Jika aku menikah, aku tidak ingin ada kata perceraian," ucap Dewa dengan jantan.
Apa dia bilang? Artinya dia tidak ingin bercerai denganku? Terima kasih, Dewa. Aku menghargai semangat dan kerja kerasmu.
Dewa keluar dari kamar rahasia itu. Nona mengikutinya, ucapan Dewa tadi membuat Nona tersenyum kecil. Dia lantas memeluk Dewa dari belakang. Bocah itu terkejut.
"Terima kasih, kau memang pria baik, Dewa. Perjuangankan pernikahan ini jika tidak mau ada kata perpisahan," ucap Nona.
"Mari kita sama-sama berjuang dan buang pil Kb itu. Jika kau masih meminum pil Kb maka kuanggap kau sudah menyerah dalam pernikahan ini," jawab Dewa.
Dewa melepas pelukan Nona, tangan Dewa menggenggam tangan Nona. Mereka saling bertukar pandang. Benih-benih cinta sepertinya mulai muncul diantara mereka.
"Aku berangkat kerja lagi, ya? Pesananmu ku taruh di meja," ucap Dewa.
Nona menganggukkan kepala, Dewa mengelus kepalanya lalu pergi meninggalkan ruangan Nona. Setelah Dewa keluar dari ruangannya, Nona malah teringat pergumulan tadi yang membuatnya salah tingkah. Dewa memperlakukannya dengan lembut membuatnya terbuai dalam kenikmatan.
Nona lalu bercermin, dia menyisir rambutnya yang acak-acakan. Dia berpikir apakah malam ini harus sedikit bersolek untuk menyambut Dewa yang pulang ke rumah? Tidak, ayahnya kini sedang sekarat. Nona harus menemani ayahnya di rumah sakit.
Disisi lain, Dewa yang akan melakukan motornya tiba-tiba dihadang oleh Elara. Elara tersenyum dan seketika Dewa turun dari motornya.
"Ela, apa yang kau lakukan?" tanya Dewa.
"Aku disini sih mau ketemu tanteku tapi sepertinya kita berjodoh, ya?"
Dengan malas, Dewa sedikit mendorong tubuh Elara tetapi gadis itu malah memeluknya. Dewa meronta tetapi dekapan Elara semakin kuat. "Ayo kita berkencan, Dewa!"
"Kau gila? Aku sudah beristri," jawab Dewa mendorong Elara dengan kuat.
"Wuahahaha... Bagaimana jika teman-teman tahu kau sudah menikah dengan tanteku sendiri."
Dewa tersenyum kecut. "Sana bilang! Aku tidak peduli."
Dewa mendorong tubuh Elara lalu menaiki sepeda motornya. Elara tertawa memandangi kepergian Dewa. Dia segera masuk ke kantor Nona. Elara memang memiliki kepribadian yang aneh karena semasa ibunya mengandung sempat meminum obat aborsi.
Setelah sampai didepan kantor Nona, Elara mengeluarkan sebuah petasan dan menyalakannya tepat didepan pintu Nona.
DOR... DOR... DOR...
Bunyi petasan itu sangat keras dan asap yang ditimbulkan pun memenuhi gedung tersebut. Nona terkejut dan bergegas membuka pintu ruangannya. Nona terbatuk-batuk, ia menyipitkan mata melihat siapa yang dibalik asap petasan itu.
"Elara? Apa yang kau lakukan?"
Elara bertepuk tangan, dia mendekati Nona sambil tersenyum menyeringai. Disaat itu juga Arsel datang dan melihat keributan itu.
"Anda tidak apa-apa, Nona?" tanya Arsel.
"Panggilkan Kak Bara! Elara membuat ulah disini," ucap Nona.
Arsel menganggukkan kepala, dia menelpon Bara dan menyuruhnya kemari. Elara lalu mendekati Nona dan Arsel seketika melindungi Nona.
"Saya tidak segan untuk mematahkan tangan anda jika berani menyentuh Nona," ucap Arsel.
Elara tertawa terbahak-bahak. Melihat Arsel yang garang membuatnya merasa geli. Elara menghela nafas lalu masuk ke ruangan Nona. Dia langsung duduk di sofa dengan kaki yang diatas meja.
"Apa maumu, Ela?" tanya Nona.
"Tante Nuna bakal bercerai dengan Dewa 2 tahun lagi 'kan? Aku tidak sabar sampai dua tahun kedepan."
"Kami tidak akan bercerai," jawab Nona.
Elara lansung berdiri, ia mendekati Nona tetapi Arsel sudah menghalanginya. Wajah Elara menjadi pias, bagaimana bisa Nona berkata seperti itu?
Disaat bersamaan, Bara datang. Dia langsung memeluk putrinya. Elara memberontak tetapi Bara tidak melepaskannya begitu saja.
"Lepasin, pah!" ucap Elara.
"Jangan begini, Elara! Papa akan sedih jika kau bersikap seperti ini."
Elara menangis tersedu-sedu, dia berpikir harus mendapatkan Dewa. Nona merasa tidak enak dengan keponakannya itu.
"Ela, tante meminta maaf."
Elara masih menangis, dia tidak memperdulikan ucapan tantenya.
"Nona, kakak yang seharusnya meminta maaf atas perilaku Ela yang membuatmu tidak nyaman," ucap Bara.
Nona menganggukkan kepala, melihat keponakannya menangis membuatnya tidak tega. Nona memang sudah tahu sifat Elara yang ambius dalam segala hal dan membuat gadis itu menjadi sedikit gila.
"Ela, ayo pulang! Mama khawatir menunggumu," ucap Bara sambil merangkul Elara. "Nona, kami pulang dulu! Maafkan putriku yang membuat kekacauan ini."
"Baik, kak. Hati-hati di jalan."
**
Sore hari,
Nona mendapat telepon jika keadaan papanya semakin memburuk. Nona segera menuju ke rumah sakit bersama Arsel. Jalanan yang macet membuat perjalanan Nona tersendat. Dia semakin panik dan risau.
"Arsel, kenapa jam segini bisa macet? Kita tidak bisa putar balik?" tanya Nona.
"Menurut maps, sekitar 200 meter dari sini ada demo buruh dan kita tidak bisa berputar balik."
Nona menggigit jemarinya, dia semakin panik. Dia lantas berpikir kenapa tidak berlari saja mengingat jarak tempat ia berada hanya 1 kilometer dengan rumah sakit.
"Arsel, aku akan berlari saja. Jangan cegah aku!" ucap Nona.
"Tapi, Nona..."
Nona turun dari mobil lalu berlari melewati kemacetan parah. Bunyi klakson terdengar saling bersahutan menambah keramaian sore ini. Dia berlari sampai hak sepatunya patah membuatnya kebingungan. Nona akhirnya melepas sepatunya dan berlari tergesa-gesa.
Batu kerikil dan beberapa benda lainnya yang membuat kaki Nona terluka tidak ia hiraukan. Wajah ayahnya selalu terbayang, buliran air mata nampak menetes dari sudut mata Nona. Dia menyekanya sambil berlari.
"Nona....."
Suara tak asing memanggilnya, dia menengok ke belakang terdapat sang suami mengendarai kendaraan.
"Dewa?"
"Cepat naik! Kita ke rumah sakit bersama."
"Kenapa kau ada disini?" tanya Nona.
"Apa aku diam saja ketika mertuaku sedang sekarat? Untung saja Papa Nisa memberi pengertian kepadaku walau dia sempat tidak percaya jika aku sudah menikah," ucap Dewa.
Nona segera naik motor Nisa yang di pinjam Dewa. Setelah memastikan Nona naik, dia segera melajukan motornya ke rumah sakit. Nona memeluk Dewa dari belakang. Tubuh Dewa malah merinding tetapi dia menepis pikiran kotornya.
Setelah beberapa menit sampai di rumah sakit, mereka segera masuk dan menuju ke ruangan ayah Nona.
Semua keluarga besar Nona telah berkumpul, mereka langsung menatap sinis Dewa yang terlihat kucel.
"Bagaimana keadaan ayah, bu?" tanya Nona.
"Ayahmu sedang diperiksa," ucap Ibu lalu melirik Dewa. "Tidak bisakah suamimu sebelum datang kesini kau suruh mandi? Dia terlihat seperti gembel," ucap Ibu dengan sinis.
Bayu dan Bagas hanya tersenyum kecil sedangkan Dewa memperhatikan penampilannya yang berantakan karena sedari tadi restoran sedang banyak pelanggan.
"Jika saya menganggu pemandangan kalian mending saya keluar saja," ucap Dewa.
Nona langsung menarik tangan Dewa. "Tetap disini saja! Pasti ayah juga ingin melihatmu," ucap Nona.
****
Minta dukungannya dengan memberi like, Komen. vote, beri hadiah dan Rate5 pada noveL ini.