Lian, gadis modern, mati kesetrum gara-gara kesal membaca novel kolosal. Ia terbangun sebagai Selir An, tokoh wanita malang yang ditindas suaminya yang gila kekuasaan. Namun Lian tak sama dengan Selir An asli—ia bisa melihat kilasan masa depan dan mendengar pikiran orang, sementara orang tulus justru bisa mendengar suara hatinya tanpa ia sadari. Setiap ia membatin pedas atau konyol, ada saja yang tercengang karena mendengarnya jelas. Dengan mulut blak-blakan, kepintaran mendadak, dan kekuatan aneh itu, Lian mengubah jalan cerita. Dari selir buangan, ia perlahan menemukan jodoh sejatinya di luar istana.
ayo ikuti kisahnya, dan temukan keseruan dan kelucuan di dalamnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Angin malam mengguncang jendela gudang yang reyot. Lian masih duduk bersandar, matanya menerawang kosong. Yuyan sudah tertidur dengan kepala menempel pada karung beras, sementara Feng Xuan duduk bersila di pojok, menajamkan pedangnya dengan gerakan lambat namun penuh tekanan.
Namun benak Lian tidak bisa tenang. Bayangan Chen Yun melawan penjaga bayangan masih terpatri jelas. Setiap kilatan pedang, setiap teriakan yang ia dengar sebelum meninggalkan tempat itu, menusuk hatinya.
"Kalau dia mati karena aku… aku tidak akan memaafkan diriku sendiri." Suara hati itu bergetar, meski Lian tidak sadar jika Feng Xuan menatapnya sebentar dengan tatapan penuh pemahaman.
Tak lama, pintu gudang berderit pelan. Lian refleks berdiri, jarinya sudah siap melempar jarum perak. Namun yang masuk hanyalah Liu Ning, dengan pakaian berantakan dan wajah penuh keringat.
“Nona Lian!” serunya, berlari kecil. “Aku berhasil menemukan jalan aman, tapi—” ia berhenti, menatap sekeliling. “Chen Yun tidak bersama kalian?”
Hening. Hanya suara laut yang menjawab.
Liu Ning menelan ludah, wajahnya pucat. “Jangan bilang…”
“Dia bertarung demi kita.” Suara Feng Xuan dingin. “Kalau selamat, dia akan kembali. Kalau tidak… berarti sudah berkorban.”
“Tidak!” Lian menepuk meja kayu di sampingnya hingga berderak. “Dia tidak boleh mati begitu saja! Kita harus mencarinya.”
“Dan langsung bunuh diri?” Feng Xuan menatap tajam. “Lian, kau pemimpin di sini. Kalau kau nekat, semua orang mati. Kau yang bilang tidak akan kehilangan siapa pun lagi. Kau pikir kalau kau jatuh ke tangan mereka, Chen Yun akan tenang?”
Lian terdiam. Kata-kata itu menusuk, tapi juga menahan langkahnya.
Liu Ning maju selangkah, suaranya lebih lembut. “Nona, aku tahu perasaanmu. Tapi Feng Xuan benar. Kita harus punya rencana. Jangan biarkan pengorbanan Chen Yun sia-sia.”
Lian mengepalkan tangan, menahan tangis. “Baik. Kita akan menunggu sampai fajar. Jika dia tidak kembali…” ia berhenti, napasnya gemetar. “Kalau begitu, aku sendiri yang akan menjemputnya.”
----
Fajar merayap perlahan, langit mulai berwarna keemasan. Burung camar beterbangan di pelabuhan. Saat itu, pintu gudang tiba-tiba terbuka keras.
Chen Yun berdiri di ambang pintu, tubuhnya penuh luka, darah mengalir dari bahu, tapi matanya tetap tajam.
“Chen Yun!” Lian melompat bangkit, nyaris menangis lega. Ia ingin berlari menghampiri, tapi Chen Yun mengangkat tangan, menahannya.
“Aku baik-baik saja,” katanya serak. “Penjaga bayangan itu… tidak mudah mati. Tapi aku berhasil melukainya cukup parah untuk kabur.”
Feng Xuan berdiri, ekspresinya sulit dibaca. “Kau membuat kami menunggu lama.”
Chen Yun tersenyum tipis meski wajahnya pucat. “Kau khawatir?”
“Tidak.” Feng Xuan kembali duduk, meski ada kilatan lega yang tak bisa disembunyikan.
Lian menghampiri Chen Yun, menahan lengannya. “Kau butuh perawatan. Duduklah.”
Saat jarinya menyentuh kulit Chen Yun, sebuah bayangan kilat melintas di benaknya. Lian terdiam sejenak. Ia melihat sesuatu bayangan masa depan.
Chen Yun berdiri di depan istana, darah menetes dari bibirnya, namun wajahnya dipenuhi cahaya keberanian. Di belakangnya, bendera keluarga Chen berkibar. Lalu suara teriakan, dan cahaya merah segel iblis pecah.
Lian tersentak, segera melepaskan tangannya. Chen Yun menatap heran. “Kenapa?”
“Tidak… tidak apa-apa.” Lian buru-buru menunduk, menyembunyikan keguncangan hatinya.
“Masa depan itu… jika benar, keluarga Chen akan menjadi kunci. Aku tidak boleh membiarkan mereka hancur oleh Menteri Luo dan selir Luo.”
Beberapa hari berikutnya, mereka bersembunyi di rumah tabib tua di barat kota, yang ternyata kenalan lama keluarga Lian. Tabib itu, lelaki kurus dengan janggut putih, menyambut mereka dengan ramuan pahit dan nasihat.
“Kalian main-main dengan istana dan iblis. Aku hanya bisa memberi obat, bukan keajaiban,” gumamnya sambil menempelkan kain obat ke luka Chen Yun.
Yuyan menutup hidung. “Baunya seperti kaus kaki Feng Xuan yang tidak dicuci.”
“Diam kau.” Feng Xuan melempar tatapan membunuh.
Namun suasana sedikit lebih ringan, meski semua tahu bahaya belum berakhir.
Lian duduk di beranda rumah tabib, menatap jalanan kota yang mulai ramai. Anak-anak berlarian, pedagang menjajakan roti hangat, dan suara koin beradu terdengar. Sejenak, ia merindukan kehidupan normal membantu orang tuanya di toko kain, bercanda dengan adiknya di toko perhiasan, atau meracik ramuan di klinik kecil keluarga.
Tapi kenyataan menahannya di jalan berbahaya ini. Ia mengepalkan tangan. “Aku akan melindungi semua orang. Termasuk keluarga Chen yang tidak tahu apa-apa.”
Malam itu, mereka kembali berkumpul. Chen Yun sudah lebih baik, meski masih lemah. Feng Xuan menggambar peta kasar di lantai dengan arang.
“Jika benar ada jalan rahasia di paviliun bunga teratai, maka kita harus menyusup lewat sana. Tapi penjagaannya pasti ketat.”
“Belum lagi ada penjaga bayangan.” Chen Yun menambahkan. “Aku tidak bisa melawan mereka sendirian lagi.”
Lian menatap semua orang. “Maka kita harus bagi peran. Feng Xuan dan aku menyusup ke paviliun. Chen Yun, kau menjaga pintu keluar. Liu Ning dan Yuyan… kalian mengalihkan perhatian prajurit.”
“Apa?!” Yuyan melotot. “Aku lebih berguna kalau diam di rumah dan tidur!”
“Yuyan.” Lian menatapnya tajam. “Kau sudah sejauh ini. Kau dayangku, kau keluargaku. Aku butuh kau.”
Yuyan mengembuskan napas panjang, akhirnya mengangguk meski wajahnya seperti kucing basah. “Baiklah. Tapi kalau aku mati, aku akan menghantuimu sampai tujuh turunan.”
Chen Yun menatap Lian lama, lalu berkata pelan, “Kalau ada bahaya, biarkan aku yang menahan. Aku sudah siap.”
Lian menoleh, jantungnya berdegup keras. Ia ingin berteriak bahwa ia melihat masa depan Chen Yun penuh darah, tapi ia menahan diri. “Tidak. Aku akan mengubahnya. Aku tidak akan membiarkanmu mati.”
Hari penyusupan tiba. Langit mendung, hujan gerimis turun. Kota terasa muram. Mereka semua berpakaian hitam, bergerak seperti bayangan di antara gang-gang.
Paviliun bunga teratai berdiri anggun di dalam istana, dikelilingi kolam dan jembatan kecil. Lampion bergoyang ditiup angin, prajurit berjaga di setiap sudut.
Yuyan dan Liu Ning memulai pengalihan. Mereka menyamar sebagai pasangan penjual roti keliling, pura-pura tersandung di depan prajurit hingga roti berguling ke mana-mana.
“Hei! Kalian bikin berantakan jalan!” prajurit berteriak.
“Maaf, maaf!” Yuyan menjerit dramatis, lalu sengaja menjatuhkan kendi air ke kaki prajurit.
Sementara itu, Feng Xuan dan Lian menyusup lewat sisi timur, melompati pagar rendah, bergerak di balik pepohonan. Chen Yun menunggu di luar, tangan menggenggam pedang erat-erat.
Lian berbisik, “Di sana, pintu paviliun.”
Namun saat mereka hampir mencapai pintu, suara langkah berat terdengar. Dari balik kegelapan, muncul sosok penjaga bayangan lain, matanya merah menyala.
Feng Xuan mengangkat pedang. “Kau siap?”
Lian menelan ludah. “Aku harus siap.”
Pertempuran pun tak terhindarkan.
Bersambung
seorang kaisar yang sangat berwibawa yang akan menjadi jodoh nya Lian