NovelToon NovelToon
First Love

First Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga
Popularitas:10.4k
Nilai: 5
Nama Author: Bulbin

Beberapa orang terkesan kejam, hanya karena tak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Kata-kata mengalir begitu saja tanpa mengenal perasaan, entah akan menjadi melati yang mewangi atau belati yang membuat luka abadi.

Akibat dari lidah yang tak bertulang itulah, kehidupan seorang gadis berubah. Setidaknya hanya di sekolah, di luar rumah, karena di hatinya, dia masih memiliki sosok untuk 'pulang' dan berkeluh kesah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulbin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30. Sepotong roti

Sesampai di rumah, Nayna menunduk kala melihat tatapan ayahnya yang tajam menusuk. Ada rasa mencekam yang membuatnya terus bungkam. Bahkan air putih di meja, seakan turut merasakan hawa tak nyaman di antara mereka.

Satu menit, dua menit, tak ada yang membuka suara. Siti juga turut bergeming, menatap anak dan suaminya bergantian.

Menit kelima, Rahmat berdehem pelan sebelum akhirnya berkata, "Nayna, kamu dari mana aja, jam segini baru pulang!"

Matanya masih fokus pada wajah ayu yang menunduk dalam.

Gadis itu tak langsung menjawab, tangannya memainkan ujung baju dengan gemetar. Terlebih saat sang ayah melanjutkan kalimatnya.

"Tadi Ayah tanya ke Tania, dia bilang, kamu nggak ke sana dan nggak ada tugas apa pun yang harus dikerjakan. Ke mana kamu! ... Ayah nggak larang kamu pergi, Ayah juga pernah muda. Tapi tolong, bicara yang jujur. Ayah dan Ibu nggak pernah ngajarin jadi pembohong."

Rahmat melunakkan suara, meraih gelas di meja lalu menghabiskan isinya. Siti bergegas ke dapur dan kembali lagi dengan teko kecil di tangan. Tanpa disuruh, dia menuangkan air ke dalam gelas suaminya, kemudian kembali duduk diam tanpa sedikit pun komentar dari mulutnya, meskipun dalam hati, dirinya ingin sekali ikut mengomel pada dua wajah dengan ekspresi bertolak belakang.

Tak ada jawaban. Nayna masih di posisi semula, hingga sang ibu mendekat, menarik napas dalam lalu bertanya pelan sembari mengusap lembut punggung anak gadisnya.

"Kamu dari mana, Nak? Ibu sama Ayah khawatir. Kamu dihubungi juga nggak bisa."

Nayna merasa tenang, dia mengalihkan pandangan ke samping dan melihat senyum hangat dari ibunya.

"Maaf, Yah. Tadi aku pergi ke taman sama Aksara, dia ... "

"Aksara? Anaknya Pak Wisnu? Jadi kamu beneran dijodohin sama dia?" timpal Siti sebelum Nayna selesai dengan kalimatnya.

Rahmat menatap tajam pada wajah istrinya yang kini berbinar, namun cahaya itu redup tatkala pandangan mereka saling bertemu dan Siti merasa, kali ini suaminya benar-benar marah.

Dengan suara rendah, Rahmat meminta Nayna untuk masuk ke kamar dan beristirahat. Sementara dia dan istrinya masih saling tatap tanpa ada yang membuka suara untuk beberapa saat.

Setelah Nayna pergi, Rahmat menarik lengan Siti untuk mendekat.

"Bu, aku tahu kamu udah pengin mantu. Tapi mbok yo nanti dulu, liat keadaan. Aku lagi marah, ah bukan, bukan. Bukan marah, tepatnya aku khawatir. Anak gadis kita mulai pergi malam, aku tahu Nayna tak akan berbuat macam-macam, tapi lingkungan di luar nggak bisa kita kendalikan, Bu. Apalagi manusianya. Aku khawatir, apalagi anak kita perempuan."

Rahmat melihat anggukan kecil di sampingnya dan Siti meraih kedua tangan laki-laki itu dengan wajah penuh harap.

"Yah, maafin aku ya. Tadi spontan aja kaya gitu."

Rahmat mengangguk, lalu merangkul istrinya dengan rasa sayang.

Di kamarnya, Nayna masih belum bisa memejamkan mata. Rasa bersalah terus bergaung di hati dan pikiran. Dia merasa tak enak hati meninggalkan Aksara yang tengah berbagi cerita, pada Sandy yang mengingatkan kenangan lama juga pada kedua orang tua karena membuat mereka khawatir karena kebohongannya. Tubuh lelah itu terus beralih posisi, berharap kantuk datang menghapus kegelisahan hati, meski hanya sekilas dan akan kembali.

*

Keesokan harinya, Nayna sudah siap berangkat sekolah diantar sang ayah. Siti menyiapkan sarapan dan keperluan lain, tanpa ada satu pun yang membuka persoalan semalam. Semua berjalan seperti biasa, seakan tak pernah terjadi apa-apa. Namun di hati Nayna, masih saja ada penyesalan terlebih saat dia menikmati senyum di wajah ayah dan ibunya.

Motor melaju pelan, membelah padatnya lalu lintas di pagi hari. Sesekali, Rahmat melirik ke arah spion dan melihat wajah ayu yang kini masam tak bersemangat. Pria itu melayangkan candaan, berharap anak gadisnya dapat kembali tersenyum dan mengobrol seperti biasa.

"Nay masuk dulu ya, Yah. Makasih Ayah. Hati-hati pulangnya, jangan ngebut," ucap si anak seraya mencium punggung tangan Rahmat.

Pria itu tak segera melepas genggaman tangannya, dia justru sedikit menarik Nayna untuk mendekat.

"Maafin Ayah, Nak. Ayah nggak marah, Ayah cuma khawatir sama kamu yang pergi entah ke mana. Tolong, mulai sekarang terbuka sama Ayah dan Ibu ya. Jangan buat kami berpikir macam-macam," bisik Rahmat di telinga putrinya.

Nayna mengangguk dan berlalu pergi memasuki gerbang sekolah yang mulai ramai.

"Om Rahmat ya? Masih ingat saya? Temen Nayna waktu SMP dulu," ucap seorang gadis dengan senyum merekah.

Sementara di ruang kelas, Nayna duduk dengan ekspresi datar. Dia tak mengindahkan Tania yang terus bercerita tanpa jeda.

"Nay, kemarin kamu ke mana? Ayahmu nelpon aku, nanyain kamu."

Mendengar itu, Nayna mengalihkan fokusnya dan menatap Tania dengan sendu.

"Aku ketemu Aksara di taman, lupa kasih tahu kamu soal itu. Aku bilang ke Ayah, kalau ngerjain tugas di rumahmu. Hhh, aku yang salah, mulai semua dengan kebohongan, jadinya ya gini," ungkap gadis itu seraya menghela napas berat.

Tania menatap sahabatnya tak percaya, terlebih saat dia mendengar nama cowok kulkas yang disebut Nayna.

Belum juga bertanya, muncul dua wajah dengan ekspresi berbeda di ambang pintu.

"Nah, gini dong. Nggak usah berubah."

"Lo diem, kami curiga. Kelas juga jadi nggak asyik."

"Bener tuh, jadi nggak rame, Bro."

"Muka lo nggak pantes jadi cogan dingin yang penuh kharisma."

"Iya, iya, gue tahu. Gue Zuzuki bukan Kharisma," balas Sandy yang meletakkan ransel di meja, lalu merebahkan kepala di sana. Sedangkan Aksara hanya diam, tak ada satu pun orang yang berani mengomentari dirinya secara langsung. Hanya satu dua yang diam-diam melirik sekilas.

Nayna merasa ada yang aneh dari kedua pemuda itu, namun entah apa. Wajah mereka seakan menyimpan sesuatu yang mengganggu hatinya.

Ah, mungkin perasaanku aja. Toh mereka masih seperti biasa, cuma sedikit berbeda.

Nayna melanjutkan obrolannya dengan Tania, melupakan segala prasangka yang muncul tiba-tiba.

Saat istirahat datang, Aksara yang sudah berada di aula seorang diri, mulai mencerna kata-kata yang dia dapat di gerbang pagi tadi.

"Kamu bawa ke mana anak saya? Pasti kamu juga yang ngajarin dia untuk berbohong, kan? Kamu dan Ayahmu memang sama saja. Pantas kalian sulit akur." Rahmat menghentikan kalimatnya, menghela napas dalam, lalu kembali melanjutkan, "saya nggak larang kalian berteman, tapi tolong jangan buat Nayna keluyuran malam. Datanglah ke rumah kalau kamu benar-benar pria jantan, bukan mengajaknya bertemu di luar dengan alasan kerja kelompok dan lainnya."

Aksara terpekur menatap lantai, suara itu terus bergema di telinganya.

Maksudnya apa? Gue dan Papa sulit akur? Kenapa Om Rahmat tahu? Apa mereka saling kenal?

Dia meregangkan otot tangannya yang kaku, menggerakkan kepala ke kiri dan kanan lalu terkejut saat seseorang telah berdiri di dekatnya.

"Ngapain lo ke sini?" ujarnya dingin.

Sandy yang baru datang, tak langsung menjawab. Dia duduk di samping Aksara lalu membuka dua potong roti yang sejak tadi dia bawa.

"Nih, buat isi perut. Biar nggak kena aslam. Udah pikiran stres, makan telat, lambung masalah."

Dia menyerahkan sepotong pada Aksara lalu mulai mengunyah bagiannya sendiri.

Aksara masih bergeming, ada banyak tanda tanya yang tergambar di wajahnya mendapati perlakuan Sandy yang terasa berbeda.

"Lo kenapa? Puasa? Apa takut gue racun? Ckckck tenang aja, meski kita bersaing demi Nayna, tapi gue tetep nggak mau lo sakit trus m4ti karena kelaperan."

Mendengar itu, Aksara menatap tajam ke arah lawan bicaranya. Ada rasa kesal yang memuncak, namun ada juga perasaan hangat yang tiba-tiba muncul dari perhatian kecil yang tak pernah dia dapatkan. Dengan lirih hampir tak terdengar, Aksara mengucapkan terima kasih dengan senyum kecil di sudut bibirnya.

***

1
CumaHalu
omelin terus Sandy, sampe dia nangis-nangis. kalau perlu sampe dia trauma kaya Nayna.🤣
Bulanbintang: Heiiii😏😏
total 1 replies
CumaHalu
kasihan banget loh ayah, cepetan di tolongin Nayna/Slight/
Iqueena
Nayna, Aluna tunggu kehadiran mu, suruh mami mu cepetan update yahh
Bulanbintang: Ditunggu ya. Mami masih semedi
total 1 replies
Septi Utami
pengumuman kepada pak Rahmat : keperluan wanita itu banyak, salah satunya berfoto di setiap titik yang dikira bagus dalam satu tempat, jadi pakaian banyak bisa buat ganti pas ngambil beberapa foto🤣
Bulanbintang: Potosyut berkedok liburan🤣
total 1 replies
TokoFebri
Nayna sampe bicaraa gitu berarti saking astaghfirullah nya tuh orang.
Adifa
padma nama Kesayangan 🤩
Adifa
bukan Sahroni 😂
Iqueena
Etssss, ada tiga nihh🤣
Iqueena
Lah si Vita pengincar om2 ternyata
Iqueena
hahah, sabar dulu toh bu🤣
Iqueena
Oh ternyata memang temenan si om Rahmat ini sama bapaknya Aksara
CumaHalu
rasanya pengen ngejitak pala nih orang, enteng bener kalo ngomong.
Septi Utami
maksudnya menganggap seperti buah hati sendiri? jadi Nayna bukan anak kandung pak Rahmat dan bu Siti?
TokoFebri
loss Bu Siti..
TokoFebri
aku faham denganmu Bu Siti.. hihihi
TokoFebri
anjer.. velakor kecil..
Iqueena
Hahaha, aku suka Sandy yg begini, jangan sok cool ya Sandy wkk. 🥰
Bulanbintang: Aneh ya? 🤣
total 1 replies
Iqueena
Lah? urusan lu. Jangan mau om, udah kelewatan ni orang dua
CumaHalu
ambil sendiri dong pak😬
CumaHalu
ditanya baik-baik itu jawabnya baik dong, malah nyolot/Smug/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!