Area khusus Dewasa
Di mansion kediaman keluarga Corris terdapat peraturan yang melarang para pelayan bertatapan mata dengan anak majikan, tiga kakak beradik berwajah tampan.
Ansel adalah anak sulung yang mengelola perusahaan fashion terbesar di Paris, terkenal paling menakutkan di antara kedua saudaranya. Basten, putra kedua yang merupakan jaksa terkenal. Memiliki sifat pendiam dan susah di tebak. Dan Pierre, putra bungsu yang sekarang masih berstatus sebagai mahasiswa tingkat akhir. Sifatnya sombong dan suka main perempuan.
Edelleanor yang tahun ini akan memasuki usia dua puluh tahun memasuki mansion itu sebagai pelayan. Sebenarnya Edel adalah seorang gadis keturunan Indonesia yang diculik dan di jual menjadi wanita penghibur.
Beruntung Edel berhasil kabur namun ia malah kecelakaan dan hilang ingatan, lalu berakhir sebagai pembantu di rumah keluarga Corris.
Saat Edell bertatapan dengan ketiga kakak beradik tersebut, permainan terlarang pun di mulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan menjodohkan aku
"Hanya mampir?" Lady Corris menertawai anak bungsunya.
"Jangan mengacau di kamar kakakmu. Kau pasti ingin memperkenalkannya dengan perempuan-perempuan jalang itu kan? Jangan kotori pikiran Ansel."
Pierre menatap ibunya tidak percaya.
"Mom, apakah pikiran anak bungsumu ini sekotor itu di matamu?"
Lady Corris mencibir.
"Memangnya kau yakin pikiranmu bersih?"
"Tapi anak sulung kesayangan mommy belum tentu sebaik yang mommy kira. Mungkin saja Ansel suka menyembunyikan seorang wanita misalnya."
"Jangan sembarangan kamu! Kalau Ansel suka begitu, sudah lama dia menikah dan punya anak." sentak wanita paruh baya berdarah bangsawan tersebut.
Pierre tertawa kecil. Susah memang punya ibu yang sudah percaya dan membanggakan salah satu dari anaknya. Termasuk pilih kasih tapi Pierre tidak peduli. Tidak ada yang peduli juga. Karena kalau orangtua mereka sudah pilih kasih, artinya kebebasan mereka bergerak tidak begitu diperhatikan. Contohnya Pierre. Ibunya sampai hampir di batas menyerah menegurnya.
Dan Pierre justru menikmati kenyataan itu. Menjadi anak bungsu yang paling bebas, paling nakal, dan paling sering disalahkan, membuatnya punya ruang gerak lebih luas daripada dua kakaknya. Ia tahu, sekalipun ibunya sering marah, pada akhirnya semua akan dilupakan. Sementara Ansel, yang dielu-elukan sebagai anak kebanggaan, justru hidup dalam pagar ekspektasi yang terl tinggi.
"Mom terlalu percaya pada Ansel," ucap Pierre santai, tapi seolah sedang menyiratkan sesuatu. Wajah tengilnya jelas sekali. Ansel menatap lelaki itu tajam. Pierre hanya tertawa kecil menikmati melihat ekspresi Ansel yang jarang sekali dia lihat, bahkan hampir tidak pernah. Ia menurunkan kakinya dari ranjang dan berdiri.
Lady Corris mengerutkan alis.
"Kau bicara apa sih?"
Pierre mengangkat bahu, melangkah santai ke arah jendela sambil menyibak sedikit tirai. Sesekali menatap ke lemari si kakak.
"Tidak ada. Hanya berpikir keras. Jangan diambil hati, mom."
"Huh," Lady Corris mendengus.
"Daripada pikir aneh-aneh, lebih baik kau pikirkan masa depanmu. Sampai sekarang pun belum ada satu pun perempuan baik-baik yang bisa kau ajak bicara serius. Semua hanya perempuan murahan dan penghibur pesta. Apa kau mau seumur hidup jadi seperti ini?"
"Tidak, kalau aku menemukan seseorang yang benar-benar ingin aku nikahi." sahut Pierre santai.
Perkataannya terkesan asal tapi sebenarnya dia juga ingin menemukan seseorang yang bisa membuatnya berubah. Entah siapa itu dan kapan, dia tidak tahu. Sekarang dia masih menikmati hidupnya.
Lady Corris menertawai putra bungsunya tersebut, seakan tidak percaya kalau lelaki itu akan menemukan sosok yang ingin dia nikahi. Hobinya kan main terus.
"Mom, ada perlu apa?" Ansel angkat suara akhirnya. Tapi fokusnya ada pada Edel yang sekarang di dalam lemari. Kalau terlalu lama gadis itu di dalam sana, mungkin dia akan sesak nafas. Dia berharap ibunya cepat pergi.
"Aku ingin membicarakan mengenai pesta pertemuan dengan keluarga bangsawan lusa di rumah ini." kata Lady Corris.
Lady Corris berdiri dengan anggun di dekat meja rias yang tak pernah disentuh Ansel. Sambil merapikan sarung tangannya, ia melanjutkan dengan nada bicara yang resmi, khas seorang wanita bangsawan.
"Ayahmu ingin menjamu Tuan Valreich dan keluarganya. Akan ada jamuan makan malam, dansa, dan beberapa perkenalan penting." ia menatap Ansel serius.
"Kau harus tampil sempurna malam itu, Ansel. Tidak boleh ada satu pun kesalahan. Kau tahu sendiri, putri sulung keluarga Valreich akan hadir."
Ansel menahan napas sejenak. Ia tahu maksud ibunya, perjodohan. Karena Basten dengan tegas menolak dijodohkan, sekarang dia yang ingin dijodohkan.
Diam-diam, Lady Corris telah menyusun rencana untuk mempertemukannya dengan calon istri dari kalangan bangsawan yang setara. Ia sudah menduga ini akan datang cepat atau lambat.
"Jangan coba-coba menjodohkan aku, mom." kata Ansel sesekali menatap ke lemari pakaiannya. Ia melihat Pierre berjalan ke sana dan membuka lemari tersebut.
Sial.
Ansel langsung waspada. Pierre betul-betul menguji emosinya. Untungnya Edel tersembunyi di balik pakaiannya, jadi gadis itu tidak kelihatan sama sekali. Ansel berusaha semampu mungkin agar ibunya tidak menatap ke sana, atau mencurigai sesuatu.
"Bukan bermaksud menjodohkan Ansel, kalian kenalan saja dulu. Kalau saling suka, itu akan sangat baik." ucap Lady Corris.
Ansel menghela nafas. Ia tidak tertarik.
"Kau harus mengenakan setelan dari D'louvent. Sudah Ibu siapkan khusus." tambah Lady Corris dengan puas.
"Dan tolong, jangan terlalu kaku. Kau harus terlihat hangat malam itu. Setidaknya tunjukkan pada semua putri bangsawan bahwa kau adalah laki-laki yang menyenangkan."
Pierre tertawa kecil karena perkataan mamanya, tapi kini tatapannya bertemu dengan gadis manis yang tengah meringkuk di dalam lemari. Lucu sekali. Apalagi wajahnya cantiknya yang menggemaskan itu. Mata polosnya, semuanya menarik perhatian Pierre.
Lelaki itu membungkuk, dia membiarkan ibu dan kakaknya sibuk berbincang, sementara dirinya sendiri sibuk dengan gadis yang makin meringkuk ke sudut lemari dengan wajah panik. Panik karena takut ketahuan Lady Corris.
Pierre hanya tersenyum geli. Bibirnya tak bersuara, tapi ia mengucapkan sesuatu dengan gerakan mulut pelan yang jelas terbaca oleh Edel,
"Tenang saja."
Edel memejamkan mata sejenak. Jantungnya berdetak makin cepat, tapi ia mencoba percaya pada kode tenang dari tuan muda ketiga itu. Ia bahkan tak yakin apakah Pierre akan membantunya, atau malah mempermainkannya.
Namun, Pierre tidak berkata apa-apa. Ia hanya menutup lemari perlahan, seolah tak terjadi apa-apa, lalu kembali berdiri di dekat jendela sambil memasang wajah usilnya ke Ansel.
"Kalian berdua dengar baik-baik, semua orang yang akan datang lusa adalah orang-orang penting. Jaga kelakuan kalian kalian, terutama kau Pierre," Lady menoleh ke putra bungsunya.
"Jangan sampai kau bawa perempuan sewaanmu datang ke pesta. Mereka berbeda dengan gadis-gadis bangsawan yang akan datang nanti."
Pierre mengangkat bahu. Menurutnya wanita-wanita bangsawan itu sama saja, tidak beda dengan pelacur yang ia tiduri. Status sosial mereka saja yang berbeda. Tetapi para wanita bangsawan itu, banyak yang ingin tidur dengannya, juga kedua kakaknya yang dia akui memang lebih berkharisma darinya.
Dia pernah tidak sengaja dengar pembicaraan para wanita bangsawan itu tentang bagaimana penasarannya mereka di tiduri oleh the Corris brothers, terutama Ansel dan Basten.
Pierre tersenyum miring mengingat gosip-gosip yang pernah ia dengar. Ia memutar bola mata malas sambil menjawab,
"Mommy tidak tahu saja wanita bangsawan itu birahi mereka sangat tinggi. Sama saja dengan wanita murahan."
"Pierre!" Lady Corris melotot lebar.
Pierre lagi-lagi tertawa. Tapi yang dia katakan adalah kenyataan.
"Jangan buat aku kehilangan muka, Pierre," ancam sang ibu tajam.
"Kau tahu reputasi keluarga kita sangat terhormat kan?" Pierre tidak peduli.
Sedang Ansel hanya berdiri diam, satu tangan bersandar ke kursi, sementara matanya tak lepas dari lemari. Ia berharap Edel akan bertahan lama di dalam sana. Nafasnya pasti berat, apalagi ruang sempit itu membuat siapa pun mudah panik.