NovelToon NovelToon
EXONE Sang EXECUTOR

EXONE Sang EXECUTOR

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Dunia Lain
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Aegis zero

Seorang penembak jitu tewas kerena usia tua,dia mendapatkan dirinya bereinkarnasi kedunia sihir dan pedang sebagai anak terlantar, dan saat dia mengetahui bahwa dunia yang dia tinggali tersebut dipenuhi para penguasa kotor/korup membuat dia bertujuan untuk mengeksekusi para penguasa itu satu demi satu. Dan akan dikenal sebagai EXONE(executor one) / (executor utama) yang hanya mengeksekusi para penguasa korup bahkan raja pun dieksekusi... Dia dan rekannya merevolusi dunia.



Silahkan beri support dan masukan,pendapat dan saran anda sangat bermanfaat bagi saya.
~Terimakasih~

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aegis zero, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

deklaration

Malam menjelang ketika Arya dan Dina berhenti di bawah pohon besar di tepi jalan berbatu.

“Aku dapat informasi dari Gamma,” kata Arya sambil menatap langit malam. “Neptune, si Es, sedang mengejar kita.”

Dina menoleh. “Lalu, siapa yang akan melawannya nanti? Apa aku saja?”

“Kamu mau coba melawannya?”

“Tentu saja! Aku juga ingin melawan salah satu dari mereka. Selama ini, yang kulawan cuma penjaga biasa!”

Arya mengangkat alis. “Beneran bisa sendiri?”

“Jangan meremehkanku! Kamu pikir aku lemah, ya?!”

Arya tertawa. “Hahaha! Nggak mungkin aku anggap kamu lemah.”

Dina melipat tangan. “Kali ini, target kita penguasa mana?”

“Ke barat. Kota Tazer.”

“Berapa hari perjalanan?”

“Katanya sih empat hari.”

Dina mengangguk pelan. “Oh.”

Arya kembali menatap ke depan. “Aku mau langsung turun tangan dan masuk ke mansion.”

Dina menatapnya curiga. “Kenapa?”

“Mengingat mereka sudah mengejar kita, artinya informasi kita sudah bocor. Jadi tidak perlu bergerak secara diam-diam lagi.”

“Kalau sudah nggak senyap, lalu kita bakal gimana?”

“Kita bakal ninggalin jejak yang jelas, supaya mereka langsung ngejar kita. Semakin cepat kita ketemu mereka, semakin cepat jumlah mereka berkurang.”

Dina mengerutkan kening. “Tapi kenapa terburu-buru?”

“Instingku bilang, mereka sedang membangun sesuatu. Lihat saja, setelah Mars mati, mereka langsung isi posisinya. Mereka sedang membentuk kekuatan besar. Dan jika mereka sudah benar-benar siap, mereka nggak akan biarkan satu pun dari mereka mati lagi.”

“Jadi... mereka sedang siapkan sesuatu yang lebih besar?”

Arya mengangguk. “Tepat. Kita tinggal tunggu laporan dari Gamma. Tapi sebelum itu, kita ambil inisiatif duluan. Kalau kita terus sembunyi, mereka bakal tumbuh makin kuat... dan saat itu tiba, kita tidak akan bisa menjatuhkan mereka.”

Ia menatap tajam ke kejauhan. “Mulai sekarang, kita main agresif. Kita paksa mereka datang ke tempat yang kita pilih. Dan kita habisi satu per satu.”

Dina menghela napas. “Huuuh... Pusing aku mikirnya. Jadi... jejak apa yang bakal kita tinggalkan?”

Arya menyeringai tipis. “Provokasi. Misalnya—'Tujuan kami adalah Raja negeri ini! Lindungi dia kalau bisa, wahai para bajingan!' Fanatiknya pasti langsung murka dan memburu kita.”

Dina memutar mata. “Cara yang kekanak-kanakan.” Tatapannya sinis.

“Wahahaha! Tapi dijamin efektif. Pujilah aku!”

“Dasar orang aneh.”

Empat hari kemudian, mereka tiba di kota Tazer.

“Ugh... Panas banget di sini! Apa-apaan suhu tempat ini?” keluh Dina, menyeka keringat.

Arya memandang sekeliling. “Kota ini disiksa oleh terik yang kejam. Rakyatnya kelaparan. Rumah-rumah roboh, air langka, makanan nyaris tak ada. Penguasanya benar-benar biadab.”

“Gimana kalau kita langsung muncul di tengah publik?” tanya Dina.

“Hm... ide yang menarik. Kalau kita buat kehebohan, identitas kita pasti sampai ke telinga Seven Eclipse lebih cepat.”

“Semakin sering kita muncul, semakin cepat mereka datang. Dan semakin cepat kita bisa habisi mereka.”

Arya tertawa kecil. “Kadang kamu pintar juga, ya.”

“Aku memang pintar!”

Tok!

“Bunyi kopong tuh,” goda Arya, mengetuk kepala Dina.

“Apa katamu?!”

Arya tertawa dan melangkah ke tengah jalan. “Kita dinginkan dulu suhu di sini. Beri mereka air dan makanan.”

Ia mengangkat tangan. “Freeze!”

Udara perlahan berubah sejuk. Panas menghilang. Kemudian:

“HALO SEMUANYA! DI SINI ADA MAKANAN DAN AIR GRATIS! SILAKAN KE SINI! SEMUANYA GRATIS!”

Ia mengeluarkan persediaan makanan dari penyimpanan.

“Earth Craft!” Tanah terangkat, membentuk kolam.

“Water!” Air jernih memancar, memenuhi kolam buatan itu.

“Air! Itu air dan makanan!”

“Sudah berhari-hari aku tidak makan! Kumohon!”

“Anakku... dia belum makan sama sekali...”

Arya tersenyum tenang. “Tenang! Ambil satu-satu. Semua pasti kebagian.”

“Jangan dorong-dorongan! Nanti ada yang terluka!” seru Dina, menenangkan warga.

Beberapa menit kemudian, makanan dan air dibagikan merata.

“Terima kasih, Nak!”

“Kalian menyelamatkan kami!”

Arya dan Dina hanya mengangguk canggung, dikerumuni warga penuh syukur.

“Bisa kami pergi dulu? Kami ada urusan lain. Makanannya kami tinggal di sana,” ucap Arya akhirnya.

“Terima kasih! Semoga kalian diberkahi!”

Mereka meninggalkan kerumunan, menuju mansion penguasa.

“Apa-apaan itu tadi...” suara Dina bergetar. “Melihat mereka berebut makanan... sudah jelas mereka belum makan selama berhari-hari.”

Arya menatap langit. “Sungguh dunia yang kejam. Jika Tuhan memang ada, mengapa kejahatan terus bermunculan? Dan jika Tuhan tak ingin memusnahkan mereka, maka biar kami yang melakukannya.”

Ia mengepalkan tangan.

Malam hari…

Arya mengeluarkan dua pistol. “Kita berdua langsung masuk.”

Dina menarik dua dagger dari punggungnya. “Siap.”

Didepan gerbang, Arya menembak dua penjaga. Peluru menembus kepala mereka tanpa hambatan. Pagar dibuka paksa.

“Siapa kalian?!”

Dor! Dor! Dua penjaga lagi tumbang.

“Kalian nggak berhak tahu,” gumam Arya.

Dina melesat cepat. Slash! Tubuh-tubuh penjaga terpotong, kepala terlempar, tangan dan kaki tercerai.

“Hei, Ar! Tempat ini mewah banget! Lorong panjang, lampu gantung, patung-patung, karpet merah... beda banget dengan nasib rakyat di luar!”

“Kamu boleh mengamuk sepuasnya. Aku cari penguasa dan keluarganya.” Arya memejamkan mata. “SEARCH!”

Lantai atas. Empat orang. Kemungkinan keluarga.

Arya menendang pintu di lantai atas.

“Siapa kamu?! Apa kau tidak tahu siapa aku?! Aku penguasa terhormat! Tunjukkan sopan santunmu!”

“Sopan santun?” Arya tertawa dingin. “Untuk apa?”

Dor! Dor! Anak dan istri sang penguasa ambruk seketika.

“Penguasa ada untuk mensejahterakan rakyat, bukan menyengsarakan mereka.” Dor! Peluru menembus kepala pria itu.

 

Keesokan harinya…

Arya berdiri di aula besar mansion yang sekarang kosong dari penguasa.

“Bagusnya tulisan provokasi ditaruh di mana ya? Di dinding atau lantai?” gumamnya sambil memandangi ruang itu.

“Di dinding mungkin lebih bagus,” jawab Dina, duduk di atas meja panjang.

“Baiklah.” Arya menulis besar-besar di dinding aula:

> *"TUJUAN KAMI ADALAH RAJA NEGERI INI. LINDUNGI DIA KALAU BISA, WAHAI PARA BAJINGAN."*

> —**EXONE**

Arya menyeringai puas. “Sudah selesai. Sekarang tinggal beberapa urusan lagi.”

“Urusan apa lagi?”

“Panggil para pelayan yang selamat.”

“Untuk apa?”

“Sudah, panggil saja.”

Beberapa saat kemudian, Dina kembali bersama seorang wanita tua berpenampilan rapi.

“Ini kepala pelayannya,” ujar Dina.

Wanita itu membungkuk. “Ha... halo. Ada yang bisa saya bantu?”

Arya menatapnya. “Tante, apakah Anda punya saran siapa yang cocok memimpin kota ini?”

Kepala pelayan terkejut sejenak. “K-kalau boleh menyarankan... bagaimana dengan keponakan mantan penguasa? Dia anak baik, sering datang kemari dan terang-terangan tak setuju dengan cara pamannya memerintah.”

“Bisakah Anda memanggilnya ke sini?”

“Dia tinggal agak jauh. Mungkin tiga hari.”

“Tak masalah. Katakan padanya, pamannya sudah mati. Dan katakan... Exone yang membunuhnya.”

Kepala pelayan menelan ludah. “B-baik... Akan segera saya hubungi.”

Arya mengangguk. “Terima kasih. Dina, kita ke lapangan.”

 

**Di lapangan kota...**

Arya berdiri di atas kotak kayu.

“HALO SEMUANYA! SILAHKAN BERKUMPUL DI SINI!”

Warga mulai berdatangan, mengenali sosok kecil yang semalam memberi mereka makanan.

“Apa itu?! Anak kecil yang semalam... mau ngapain lagi?!”

Arya menarik napas panjang. “SEPERTI YANG KALIAN DENGAR, PENGUASA KOTA INI TELAH MATI. DAN YA—KAMI BERDUALAH YANG MEMBUNUHNYA!”

Ia melemparkan kepala sang penguasa ke tanah.

Kerumunan terdiam. Beberapa bergumam panik.

“Apa?! Mereka membunuh penguasa?!”

“Syukurlah dia mati… Tapi... apa tujuan mereka?”

Arya mengangkat tangan. “Tenang! Kami bukan pahlawan. Bukan penyelamat. Kami adalah... eksekutor! Kami akan membunuh setiap penguasa korup, dari penjaga pintu istana… sampai ke Raja tertinggi negeri ini—**Sekius Belmera IV!**”

“Lalu... apa yang kalian mau dari kami?” tanya salah seorang warga.

“Pertanyaan bagus. Kami hanya ingin satu hal—sebarkan nama kami. Identitas kami. Ciri-ciri kami. Dan sebagai gantinya… kami akan hidupkan kembali kota ini. Kami akan bantu kalian.”

“Ha-hanya itu?”

“Ya. Kami ingin memancing organisasi yang berada di bawah raja. Kami menyatakan perang pada mereka.”

“Tapi... kalian cuma dua anak kecil!”

Arya tertawa keras, lantang, penuh keyakinan.

“HU HA HA HA! YA, KAMI ANAK KECIL! TAPI KEKUATAN TIDAK DIUKUR DARI USIA, MELAINKAN DARI TEKAD! SEMUA ORANG PUNYA KEKUATAN, TAPI TAK SEMUA PUNYA TEKAD UNTUK MENGGUNAKANNYA! SEBARKAN NAMA KAMI! BIARKAN PARA KORUPTOR ITU GEMETAR KETAKUTAN! BIARKAN RAJA TAHU—PERANG TELAH DIMULAI!”

Kerumunan terdiam. Beberapa menggigil. Ada yang berbisik—ada pula yang menangis.

Arya melanjutkan. “Untuk penguasa selanjutnya kota ini, kepala pelayan menyarankan keponakan mantan penguasa. Apakah kalian setuju?”

“Keponakan?! Tapi... bukankah dia juga keluarganya?!”

“Dia dikenal peduli pada rakyat! Pernah debat dengan pamannya!” seru seorang pria dari tengah kerumunan.

“Dan jika dia ternyata sama bejatnya dengan pamannya...” suara Arya menjadi dingin, “…aku akan membunuhnya juga.”

“Y-ya! Kami setuju!”

Arya tersenyum. “Bagus. Pertama-tama, mari mulai dari perumahan. Para lelaki yang masih kuat, tolong ambil kayu dari hutan terdekat!”

“Kami bisa!” seru mereka.

Dina memiringkan kepala. “Kenapa harus pakai kayu? Bukannya kamu bisa bangun pakai sihir tanah?”

“Biar mereka belajar. Dan sekarang kita buat saluran air.” Arya mengangkat tangan.

“Earth Craft!”

Tanah terangkat, membentuk aliran sungai buatan.

“Water!”

Air meluap, mengisi saluran itu hingga penuh dalam lima menit.

Anak-anak bersorak. Para wanita menangis haru.

“Dina, coba cari di mansion. Ada kertas dan alat tulis?”

“Nyuruh-nyuruh mulu…” protesnya. Tapi Arya sudah menyodorkan makanan ke arahnya.

“Nih, bayarannya.”

“Terima kasih banyak!” Dina langsung berangkat.

Arya tersenyum kecil. “Dasar rakus.”

 

**Beberapa saat kemudian...**

Dina datang sambil membawa gulungan kertas dan tinta. “Nih.”

Arya segera mulai menggambar.

“Ini blueprint rumah sederhana. Mudah dibangun, bahkan oleh pemula.”

Beberapa jam kemudian, para lelaki kembali dengan kayu. Arya membagikan rancangannya.

“Bangunlah berdasarkan ini. Ini paku dan alat-alat lain. Kalau ada yang bingung, tanya saja.”

Warga mulai bekerja. Semangat menyala di wajah mereka.

 

**Tiga hari kemudian…**

Seorang pemuda datang dengan tergesa.

“A-apa ini?! Sungai?! Rumah-rumah baru?!”

Arya menoleh. “Kamu... keponakan penguasa?”

“Ya, nama saya Pirlo. Dan... Anda siapa?”

“Arya. Atau... Exone.”

“E-Exone?! Sa-salam kenal...”

“Langsung ke intinya. Aku dapat surat dari kepala pelayan. Bisakah kau memimpin kota ini?”

Pirlo ragu. “Saya... tak sehebat itu...”

“Kau tak perlu hebat. Aku akan bantu di awal. Tapi ingat, jika kau khianati rakyat… kau tahu apa yang terjadi.”

Pirlo menelan ludah. “S-saya mengerti. Saya akan berusaha sebaik mungkin!”

“Bagus. Ini perencanaannya.” Arya menyerahkan lembaran-lembaran penuh skema pertanian, pupuk, sistem distribusi.

“A-apa ini?! Rumit sekali!”

“Bagian pupuk dan sawah sudah kusiapkan. Kau tinggal lanjutkan. Bisa?”

“Tentu! Terima kasih atas kepercayaan Anda!”

“Warga juga sudah kuberikan blueprint rumah. Sekarang pergilah, sambut mereka.”

“Baik! Terima kasih!” Pirlo berlari ke arah warga.

Dina memperhatikan dari samping. “Dia kelihatannya orang baik, ya?”

“Iya... semoga konsisten.”

 

**Seminggu kemudian...**

Kota mulai bangkit. Rumah terbangun, air mengalir, makanan cukup hasil buruan.

Arya dan Dina bersiap pergi.

“Baiklah, semuanya. Jangan lupakan kesepakatan kita,” ujar Arya sambil mengencangkan tasnya.

“Kami pergi dulu, ya!” tambah Dina.

“Terima kasih banyak, Exone! Hati-hati!” teriak warga dan Pirlo bersamaan.

Arya dan Dina tersenyum, lalu meninggalkan kota Tazer.

 

**Sementara itu, di suatu tempat...**

Neptune berdiri di tengah hutan.

“Sebenarnya mereka ke mana sih?! Sialan!”

Ia mendongak, memandang langit.

“Kenapa semuanya pepohonan?! Mana kotanya?! Dasar Exone!”

Neptune terus menjelajah, tersesat, karena satu hal sederhana ia... Buta arah.

 

1
luisuriel azuara
Karakternya hidup banget!
Nandaal: terimakasih banyak
total 1 replies
Ani
Gak sabar pengin baca kelanjutan karya mu, thor!
Nandaal: terimakasih banyak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!