NovelToon NovelToon
Reinkarnasi Jadi Bebek

Reinkarnasi Jadi Bebek

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Reinkarnasi / Sistem / Perperangan / Fantasi Wanita / Fantasi Isekai
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: yuyuka manawari

Siapa sangka, kematian konyol karena mesin penjual minuman bisa menjadi awal petualangan terbesar dalam hidup… atau tepatnya, setelah hidup.

Ketika bangun, ia bukan lagi manusia, melainkan seekor bebek rawa level 1 yang lemah, basah, dan jadi incaran santapan semua makhluk di sekitarnya.

Namun, dunia ini bukan dunia biasa. Ada sistem, evolusi, guild, perang antarspesies, bahkan campur tangan Dewa RNG yang senang mengacak nasib semua makhluk.

Dengan kecerdikan, sedikit keberuntungan, dan banyak teriakan kwek yang tidak selalu berguna, ia membentuk Guild Featherstorm dan mulai menantang hukum alam, serta hukum para dewa.

Dari seekor bebek yang hanya ingin bertahan hidup, ia perlahan menjadi penguasa rawa, memimpin pasukan unggas, dan… mungkin saja, ancaman terbesar bagi seluruh dunia.

Karena kadang, yang paling berbahaya bukan naga, bukan iblis… tapi bebek yang punya dendam..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yuyuka manawari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 31: Suara yang Terdengar Di Balik Pintu

Hancurnya gua tersembunyi bisa terjadi karena beberapa alasan.

Pertama, kemungkinan ada hewan liar yang tidak sengaja merusak dinding luar gua.

Kedua, ada kemungkinan hewan yang lebih cerdas dan terorganisir sengaja menghancurkannya.

Zaza, yang sedari tadi berlari di depanku, tiba-tiba berhenti dengan napas terengah. Matanya membelalak menatap reruntuhan di hadapannya.

“Tidak mungkin!” serunya dengan suara serak.

Aku menoleh ke arah yang sama. Bongkahan batu besar yang kemarin disusun rapi kini berserakan di tanah. Beberapa masih berdebu seolah baru saja runtuh. Potongan kayu yang tadinya dipasang sebagai penyangga kini patah, menambah kesan berantakan.

“Ini baru saja dibangun secara diam-diam,” kata Zaza terbata sambil memungut pecahan kayu yang retak. “Tidak mungkin ada hewan lain yang tahu tentang ini. Kita bahkan memberi penjagaan ketat selama prosesnya.”

Suara paruhnya bergesekan keras ketika ia mencoba mengangkat satu batu, lalu yang lain, dengan tergesa. Tubuhnya bergetar menahan beban.

Aku melangkah mendekat. Baru saja aku hendak mengulurkan tangan untuk membantu, Zaza cepat memotong gerakanku.

“Raja tak perlu membantu!” serunya sambil memaksa dirinya mengangkat satu bongkahan besar. “Aku akan selesaikan ini secepat mungkin!”

Aku berhenti sejenak, menatap punggung kecilnya yang tampak bergetar menahan tenaga. Tapi aku tidak bergeming.

“Tidak apa-apa,” jawabku dengan tenang, lalu mulai mengangkat batu di sisi lain. “Kita ini keluarga. Kalau keluarga sedang kesulitan, berarti aku juga harus turun tangan.”

Zaza terdiam beberapa detik, lalu menoleh padaku dengan mata yang agak berkaca. Wajahnya jelas kaget sekaligus lega.

“Terima kasih, Rajaku…” ucapnya pelan.

Kami berdua bekerja bersama-sama. Batu demi batu dipindahkan ke sisi kiri gua. Debu berterbangan, membuat napas terasa berat. Keringat mengalir di pelipisku meski udara di sekitar masih dingin. Butuh waktu lama sampai lorong gua terlihat kembali cukup terbuka untuk dimasuki.

Setelah yakin jalan sudah aman, kami melangkah ke dalam.

Di bagian awal, gua ini tampak biasa saja. Lorongnya gelap, dingin, dengan udara yang lembap menusuk hidung. Suara langkah kami bergema, dan tetesan air dari stalaktit menimbulkan bunyi ritmis di kejauhan.

Namun semakin dalam kami berjalan, tanda-tanda bahwa tempat ini bukan gua alami mulai terlihat. Ada kursi kayu yang sudah terbalik, lemari yang pintunya terlepas, dan kasur yang hancur. Bahkan di salah satu sudut masih terlihat tungku dapur kecil yang sekarang tinggal puing.

Semuanya porak poranda.

Aku berhenti di tengah ruangan, mengamati dengan seksama. “Dihancurkan sampai ke dalam…” kataku dengan nada rendah.

Zaza mengangkat sayapnya, menepuk-nepuk debu dari lemari yang jatuh. Matanya menyapu seluruh ruangan. “Siapa yang bikin ricuh seperti ini? Apa ratu Lira lagi?” gumamnya dengan nada penuh curiga.

Aku menoleh tajam. “Tidak. Itu tidak mungkin. Ratu Lira sudah membuat persetujuan dengan kita.”

Zaza masih menggeleng, raut wajahnya tegang. “Tapi kita tidak pernah tahu kalau tiba-tiba dia berkhianat.”

Aku tidak langsung menjawab. Aku jongkok, mengambil potongan kayu patah dari lantai, memeriksa bekas hancurnya. Ada retakan yang terlihat seperti ditekan dari dalam, bukan dari luar. Aku hembuskan napas panjang lalu berdiri kembali.

“Zaza,” ucapku tegas. “Kepercayaan itu ibarat pondasi. Tanpa pondasi yang kuat, bangunan akan mudah terguncang bahkan bisa runtuh. Tapi kalau pondasinya kokoh, tak peduli seberapa besar hantaman, ia tetap berdiri.”

Zaza menunduk, paruhnya bergerak kecil tanpa suara.

Aku melanjutkan dengan suara yang lebih keras. “Kita hanya takut dikhianati kalau kita lemah. Sekarang aku tanya, apakah aku terlihat lebih lemah dari Ratu Lira? Setidaknya aku tidak pernah merasa takut dikhianati.”

“Tidak Rajaku.” Jawab Zaza sambil tubuh bebek itu perlahan menunduk, Sayapnya menempel pada sisi tubuhnya.

Beberapa detik kemudian, ia mengangkat kepalanya lagi, kali ini dengan mata yang sedikit berbinar. Ada sesuatu yang baru ia ingat.

“Rajaku… aku baru teringat sesuatu.”

Suara Zaza terdengar terburu-buru, sayap kecilnya mengepak gelisah seakan takut terlambat menyampaikan. Matanya bergerak cepat, menatap ke arah dinding batu yang gelap, lalu kembali kepada sosokku.

“Apa itu?” tanyaku, alis atau lebih tepatnya bulu di sekitar mataku mengernyit sedikit.

“Ruangan gua tersembunyi itu… bukan di sini,” jawab Zaza dengan nada panik. Paruhnya terbuka lalu menutup, seperti ia menelan air liur yang tidak ada. “Ada… sebuah tuas yang bisa ditekan. Aku tidak tahu persis letaknya, karena waktu itu semua yang melakukannya adalah Vlad. Tugasku hanya berjaga di luar.”

Dia berhenti sebentar, napasnya pendek-pendek. Suara tetesan air dari langit-langit gua mengisi jeda itu, membuat suasana semakin tegang.

“Jadi kau tidak tahu dimana letaknya?” tanyaku lagi, memastikan.

Zaza menunduk, tubuhnya sedikit gemetar. “I-iya, Rajaku. Tapi aku yakin… kalau tuas itu masih ada. Kita hanya perlu mencarinya.”

Aku menatapnya tajam. “Kenapa baru bilang sekarang?”

Zaza menunduk, suara paruhnya terdengar lirih. “Maafkan saya, Rajaku. Tadi saya terlalu terbawa emosi melihat keadaan ini.”

Aku menghela napas panjang, mengusap kening yang penuh debu. “Baiklah. Tidak ada gunanya menyesali. Ayo kita cari. Aku di sebelah kiri, kau di sebelah kanan.”

Zaza mengangguk cepat. Kami berdua mulai bergerak, menggeser pecahan kayu, memeriksa dinding yang retak, dan menepuk-nepuk permukaan batu untuk mendengar suara berbeda.

Kami berdua terus menyusuri kegelapan gua, mencoba mencari keberadaan tuas yang sempat disebutkan sebelumnya. Udara di dalam terasa lembap, dingin, dan berbau tanah basah. Setiap langkah menimbulkan suara kecil bergaung di dinding batu.

Aku menajamkan pandangan. Di tengah dinding kasar yang dipenuhi lumut, terlihat sesuatu yang sedikit berbeda.

Sebuah retakan berbentuk kotak. Sekilas sulit dikenali, tapi setelah diperhatikan dengan saksama, bentuknya jelas sekali bukan alami.

“Zaza, aku rasa… ini dia,” gumamku pelan sambil mendekat.

Letaknya berada di ujung ruangan, agak rendah, hampir menyentuh lantai batu. Aku menekan retakan itu perlahan. Benar saja, permukaannya terdorong ke dalam, dan suara gesekan berat dari batu bergema ke seluruh gua.

“Krkkkk…”

Zaza yang masih sibuk memeriksa sisi lain langsung menoleh.

“Aku menemukannya! Ayo cepat,” seruku sambil melambai.

Wajah Zaza langsung berbinar. Ia tersenyum kecil lalu berlari mendekat. Bersama-sama kami melangkah masuk melewati celah pintu yang kini terbuka lebar. Namun begitu tubuh kami sepenuhnya masuk, pintu batu itu menutup kembali dengan bunyi keras, seolah memutus hubungan dengan dunia luar.

“...Tertutup,” ucapku pelan, menelan ludah.

Namun pemandangan di dalam ruangan segera membuat rasa khawatir itu tergantikan oleh keterkejutan.

Tidak seperti gua gelap dan lembap yang kami lalui sebelumnya, ruangan ini tampak seperti bagian dalam sebuah bangunan. Dindingnya tersusun rapi dari batu yang dipahat halus, dengan pilar-pilar tinggi menopang atap. Bentuk dan coraknya sangat mirip dengan arsitektur Kerajaan Rawa, bahkan lebih besar dan lebih megah.

“Ini… tidak mungkin,” bisikku. Mataku terbelalak, berkilat penuh rasa kagum.

Zaza ikut tersenyum puas melihat reaksiku. Ia menunduk hormat sambil berkata,

“Rajaku, inilah markas sesungguhnya. Tempat ini kami bangun bersama Vlad dan Zirah Baja. Semua desainnya dibuat menyerupai Kerajaan Rawa, agar terasa seperti rumah bagi kita semua.”

Aku melangkah mendekat, menyusuri lantai yang terasa rata dan bersih. “Berapa lama kalian membuat ini?” tanyaku tidak percaya.

Zaza menegakkan tubuhnya. “Sekiranya satu hari satu malam, Rajaku.”

Aku membelalakkan mata. “Apa? Satu hari satu malam saja?!” seruku terkejut.

Bangunan seperti ini… di duniaku dulu, mungkin butuh waktu berbulan-bulan! Bahkan perusahaan konstruksi pasti membayar mahal untuk pekerjaan seefisien dan serapi ini.

Aku menyapu pandangan ke sekeliling. Ada beberapa ruangan dengan fungsi berbeda: kamar-kamar untuk tiap personel, sebuah ruang rapat besar dengan meja kayu panjang, dapur yang tertata rapi, hingga ruang makan luas. Semuanya bersih, beraturan, dan terasa nyaman.

Perlahan aku menarik napas panjang. “Kalian benar-benar melampaui dugaanku…” ucapku lirih.

Zaza terlihat bangga mendengarnya, bibirnya melengkung kecil meski ia tetap menjaga sikap hormat.

Kami berkeliling sebentar, menikmati setiap detail yang ada. Namun saat hendak keluar, aku kembali menuju dinding tempat tuas berada. Tanganku terangkat untuk menekan mekanisme itu, tapi tiba-tiba telingaku menangkap sesuatu.

Tap… tap… tap…

Suara langkah ringan. Bukan langkah kami. Terlalu cepat, terlalu kecil, dan terdengar jelas dari arah lorong gelap di luar ruangan itu.

Aku langsung menahan gerakan tanganku. Mata menatap tajam ke arah sumber suara, tubuh menegang, bersiap menghadapi apa pun yang akan muncul.

1
yuyuka
kwek🥶
Anyelir
kasihan bebek
Anyelir
wow, itu nanti sebelum di up kakak cek lagi nggak?
yuyuka: sampai 150 Chap masih outline kasar kak, jadi penulisannya belum🤗
total 1 replies
Anyelir
ini terhitung curang kan?
yuyuka: eh makasi udah mampir hehe

aku jawab ya: bukan curang lagi itu mah hahaha
total 1 replies
POELA
🥶🥶
yuyuka
keluarkan emot dingin kalian🥶🥶
FANTASY IS MY LIFE: 🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶
total 3 replies
yuyuka
🥶🥶🥶🥶
Mencoba bertanya tdk
lagu dark aria langsung berkumandang🥶🥶
yuyuka: jadi solo leveling dong wkwkwkw
total 1 replies
Mencoba bertanya tdk
🥶🥶
FANTASY IS MY LIFE
bro...
Mencoba bertanya tdk
dingin banget atmin🥶
FANTASY IS MY LIFE: sigma bgt🥶
total 2 replies
FANTASY IS MY LIFE
ini kapan upnya dah?
yuyuka: ga crazy up jg gw mah ttp sigma🥶🥶
total 3 replies
Leo
Aku mampir, semangat Thor🔥
yuyuka: makasi uda mampir
total 1 replies
Demon king Hizuzu
mampir lagi/Slight/
yuyuka: arigatou udah mampir
total 1 replies
Demon king Hizuzu
mampir
yuyuka: /Tongue/
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!