Setelah kecelakaan misterius, Jung Ha Young terbangun dalam tubuh orang lain Lee Ji Soo, seorang wanita yang dikenal dingin dan penuh rahasia. Identitasnya yang tertukar bukan hanya teka-teki medis, tapi juga awal dari pengungkapan masa lalu kelam yang melibatkan keluarga, pengkhianatan, dan jejak kriminal yang tak terduga.
Di sisi lain, Detektif Han Jae Wan menyelidiki kasus pembakaran kios ikan milik Ibu Shin. Tersangka utama, Nam Gi Taek, menyebut Ji Soo sebagai dalang pembakaran, bahkan mengisyaratkan keterlibatannya dalam kecelakaan Ha Young. Ketika Ji Soo dikabarkan sadar dari koma, penyelidikan memasuki babak baru antara kebenaran dan manipulasi, antara korban dan pelaku.
Ha Young, yang hidup sebagai Ji Soo, harus menghadapi dunia yang tak mengenal dirinya, ibu yang terasa asing, dan teman-teman yang tak bisa ia dekati. Di tengah tubuh yang bukan miliknya, ia mencari makna, kebenaran, dan jalan pulang menuju dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulfa Nadia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
제30장
Restoran tradisional itu tenang, hanya suara gemericik air dari taman kecil di luar jendela yang terdengar. Ji Soo duduk di sudut ruangan, mengenakan coat hitam sederhana, rambutnya diikat rapi. Ia sudah menunggu cukup lama, namun wajahnya tetap tenang. Saat pintu geser dibuka, senyumnya langsung mengembang.
Ilsan masuk, mengenakan kemeja putih bersih dan celana abu-abu gelap. Ia membalas senyum Ji Soo dengan anggukan kecil.
“Kamu akhirnya datang juga. Silakan duduk,” kata Ji Soo, nada suaranya ringan namun penuh makna.
Ilsan duduk di hadapannya. Di atas meja, makanan sudah tersaji rapi semangkuk tteokguk hangat dan sepiring yaksik yang tampak baru dikukus.
“Aku udah pesenin makanan kesukaanmu,” ujar Ji Soo sambil menuangkan teh. “Ada tteokguk dan yaksik. Aku ingat kamu suka itu.”
Ilsan tersenyum, sedikit terkejut. “Bagaimana kamu tahu begitu banyak makanan kesukaanku?”
“Kamu temanku. Kita sudah berteman cukup lama, jadi aku jelas tahu,” sahut Ji Soo sambil tersenyum.
“Oh iya... gimana kabar ayah dan ibumu? Apa mereka baik-baik saja?” tanya Ji Soo, nadanya berubah sedikit lebih lembut.
Ilsan menatapnya, lalu tertawa kecil. “Aneh rasanya mendengar kamu menanyakan itu. Sejak kamu pacaran sama Jae Wan, kamu nggak pernah tanya mereka ke aku.”
Ji Soo mengangkat bahu. “Itu karena aku tahu kabar mereka dari Jae Wan. Jadi nggak mungkin aku tanya kamu lagi.”
Ilsan mengangguk pelan. “Aku kaget waktu kamu bilang putus sama Jae Wan. Padahal aku kira hubungan kalian akan berlanjut sampai ke pernikahan.”
“Itu pasti akan terjadi... setelah semuanya selesai,” sahut Ji Soo, kali ini dengan wajah serius.
Tatapan Ji Soo berubah. Matanya tajam, penuh tekad. Ilsan pun mulai menyadari bahwa percakapan ini bukan sekadar reuni teman lama. Mereka sudah merencanakan sesuatu. Dan masuknya Ilsan ke Songhwa bukan hanya soal karier itu bagian dari misi Ji Soo yang selama ini tersembunyi.
Sudah lama Ji Soo tahu siapa sebenarnya wanita itu ibu tirinya. Wanita yang datang dengan senyum manis dan suara lembut, tapi menyimpan duri di balik setiap pelukannya. Ia tahu luka yang ditinggalkan wanita itu dalam hidupnya, luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Dan kini, Ji Soo tak ingin lagi menjadi korban. Ia ingin membalas semuanya bukan pada wanita itu secara langsung, tapi pada putrinya: Jung Ha Young.
Bagi Ji Soo, Ha Young adalah simbol dari semua yang dirampas darinya keluarga, kasih sayang, dan rasa aman. Ia bertekad akan membuat hidup Ha Young menderita, perlahan, seperti dirinya yang dulu dibiarkan tenggelam dalam kehancuran tanpa ada yang peduli. Hubungannya menjadi tak baik dengan ayahnya sejak ada ibu tirinya.
Karena bagi Ji Soo, semua kebahagiaannya telah dirampas. Keluarganya hancur karena wanita yang menjadi istri kedua ayahnya. Wanita yang dulu merebut ayahnya, lalu perlahan memisahkan Ji Soo dari rumah yang ia kenal. Setahun sebelum ayahnya meninggal Ji Soo memilih meninggalkan rumah karena tak menyukai ibu tirinya. Tapi bahkan ayahnya tak mencegahnya sama sekali, sulit baginya menerima keadaan itu. Saat tahu bahwa ayahnya lebih memilih ibu tirinya dibandingkan dirinya, dan sejak mereka memiliki Ji Sang perhatian ayahnya semakin hilang kepadanya.
Walaupun Ji Soo tahu dengan jelas bahwa CEO Jung adalah dalang di balik kematian ayahnya, ia yakin akar dari semua ini tetap kembali pada ibu tirinya. Jika bukan karena wanita itu, ayahnya tak akan terjebak dalam permainan keluarga. Ibunya tak akan pergi dengan cara yang menyakitkan. Dan Ji Soo... tak akan tumbuh dengan dada penuh amarah.
Ia tahu, tak ada yang bisa mengembalikan masa lalu. Ayahnya sudah tiada, begitupun ibunya. Tapi jika ia bisa membuat Ha Young merasakan separuh saja dari penderitaannya, maka itu akan menjadi awal dari keadilan yang selama ini tak pernah ia dapatkan.
Ia akan mendekati gadis itu. Ia akan menyiksanya tanpa kekerasan, tapi dengan luka-luka yang tak terlihat. Ia akan membuat Ha Young merasakan bagaimana rasanya kehilangan, bagaimana rasanya tidak dipedulikan oleh ayah sendiri, bagaimana rasanya hidup dalam bayang-bayang seseorang yang menghancurkan segalanya.Dan langkah pertama? Merebut Hee Jae. Pria yang diam-diam disukai Ha Young. Ji Soo tersenyum samar, menatap Ilsan.
“Terima kasih sudah masuk ke Seonghwa,” bisiknya. “Sekarang... semuanya bisa dimulai.”
“Sebenarnya aku sempat ragu,” ujar Ilsan pelan, menatap Ji Soo di seberangnya. “Apa benar aku bisa menarik perhatian CEO Jung. Tapi tebakanmu tepat... waktu aku sebut nama Jae Wan, seperti yang kamu sarankan, ekspresi pria itu langsung berubah. Seolah ada sesuatu yang disembunyikannya.”
Ji Soo mengangguk, matanya menyala. “Aku sudah bilang padamu. CEO Jung merasa terusik dengan Jae Wan. Dan aku akan membunuhnya. Perlahan. Sama seperti dia membunuh ayahku.”
Ilsan menatap Ji Soo dalam diam. Ia bisa melihat bara yang menyala di balik sorot mata itu bukan sekadar kemarahan, tapi dendam yang sudah lama dipelihara. Ia tahu Ji Soo tak akan berhenti. Tapi ia juga tahu betapa berbahayanya jalan yang sedang gadis itu tempuh.
Itulah sebabnya ia tetap di sini. Karena Ji Soo adalah cinta pertamanya. Dan meski ia tahu hati Ji Soo masih tertambat pada Jae Wan, ia tak bisa berpaling.
“Ji Soo... kamu gak boleh gegabah,” ucap Ilsan akhirnya. “Aku bersedia bantu kamu, tapi karena kamu janji gak akan lakukan hal yang bisa membahayakan dirimu.”
Ji Soo tersenyum tipis. “Tenang saja. Kamu gak perlu khawatir. Fokus saja pada peranmu sebagai CEO di Seonghwa. Dapatkan semua informasi tentang Jung Ha Young. Aku yang akan urus sisanya.”
Ilsan mengangguk pelan, lalu bertanya, “Tapi kenapa kamu gak serahin ini ke Jae Wan aja? Dia polisi. Dia bisa cari bukti. Bisa bantu kamu ungkap kematian ayahmu.”
“Karena aku gak mau dia celaka,” jawab Ji Soo cepat. “CEO Jung itu bukan orang biasa. Bahkan Jae Wan pun bukan tandingannya.”
Ilsan menghela napas. “Tapi kamu juga bisa dalam bahaya. Apa kamu gak sadar itu?”
“Aku sadar,” sahut Ji Soo, nadanya mulai meninggi. “Tapi aku gak peduli. Aku putusin Jae Wan karena aku harus dekati Hee Jae. Aku gak mau Jae Wan terluka kalau lihat aku sering bareng dia. Dan aku gak mau dia tahu kalau aku putus demi balas dendam. Dia pasti gak akan setuju.”
Ilsan menatapnya tajam. “Kalau aku jadi Jae Wan, aku juga gak akan setuju. Siapa yang rela orang yang dia cintai masuk ke dalam bahaya?”
Ji Soo menunduk sejenak, lalu berkata lirih, “Kamu gak tahu rasanya jadi aku. Walaupun Jae Wan pacarku, aku tetap merasa sendiri. Dia gak pernah suka waktu aku bicara soal ibu tiriku. Aku takut... kalau aku terus desak dia buat benci juga, dia malah akan benci aku.”
Ilsan menatapnya lama. “Kalau dia benar-benar sayang, dia akan mengerti. Jadi sekarang, kamu mau gimana? Kasih tahu dia sebelum semuanya terlambat... atau tetap teruskan ini sendirian?”
Ji Soo menggeleng. “Gak. Jae Wan gak boleh tahu. Aku tetap akan balas dendam. Kecuali... kamu yang kasih tahu dia. Tapi kalau kamu lakukan itu... pertemanan kita selesai. Kamu gak akan khianatin aku, kan?”
Ilsan menatapnya dalam. Tanpa ragu, ia menjawab, “Aku gak akan pernah khianatin kamu. Sampai kapanpun.” Ilsan menatap Ji Soo ingin memastikan, “ kamu putus dengan Jae Wan, kamu gak takut dia bakal jatuh cinta sama wanita lain?” sambung ilsan
“Gak akan terjadi,” lanjut Ji Soo yakin. “Jae Wan Cuma cinta sama aku. Dia gak bisa move on secepat itu. Makanya aku harus selesaikan semua ini... supaya aku bisa kembali padanya.”
Ilsan menunduk, menyembunyikan cintanya yang tak bisa ia ucapkan. Dari semua yang dikatakan Ji Soo, satu hal paling jelas: tak ada ruang di hati gadis itu untuk orang lain. Bahkan juga untuknya, cinta pertama yang selalu ada di sisi gadis itu.
FLASHBACK...
Beberapa bulan yang lalu,
Ji Soo sudah kehilangan arah. Dunia terlalu sunyi, terlalu kejam. Tak ada yang percaya padanya. Tak ada yang mau mendengar tentang betapa besarnya kebencian ia terhadap ibu tirinya. Tentang kematian ayahnya yang tak pernah benar-benar dijelaskan. Tentang luka yang terus menganga, tak pernah sembuh.
Langkahnya membawa tubuhnya ke bibir air. Sepatunya basah. Tapi ia tak peduli. Ia ingin semuanya berhenti. Ia ingin tenggelam bersama semua rasa sakit itu.
Ji Soo sudah mencelupkan tubuhnya hingga seleher ke dalam air laut yang dingin. Ombak menggulung pelan, menyentuh kulitnya seperti bisikan terakhir dunia. Ia melangkah lebih dalam, membiarkan air menelan tubuhnya perlahan. Di kepalanya, hanya satu suara: semuanya sudah berakhir.
Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara seseorang memanggil. Bukan namanya. Hanya teriakan samar yang tertelan angin.
Ji Soo tak peduli. Ia tetap melangkah. Air kini hampir mencapai dagunya. Tapi sebelum ia sempat tenggelam sepenuhnya, seseorang menarik tubuhnya dari belakang. Lengan kuat memeluknya, menariknya paksa ke arah pantai.
Ji Soo meronta, berteriak, “Tidak usah pedulikan aku! Aku mau mati saja!”
Namun suara itu membalas, kali ini lebih keras, lebih tegas.
“Sadarlah, Lee Ji Soo!”
Ji Soo tertegun. Ia menoleh, air matanya menetes ke wajahnya yang pucat. Untuk sesaat, ia mengira itu Han Jae Wan. Tapi bukan. Pria itu bukan Jae Wan.
Matanya membulat. Ia mengenali wajah itu. Kang Ilsan.
Tubuhnya lunglai seketika. Air mata yang tertahan pecah begitu saja. Ia menangis sejadi-jadinya, menggenggam lengan Ilsan seperti anak kecil yang tersesat.
Tanpa berkata apa-apa, Ilsan menggendong Ji Soo ke daratan. Bajunya basah, pasir menempel di kulitnya, tapi ia tak peduli. Ia hanya ingin Ji Soo selamat.
Di tepi pantai, Ilsan menyelimuti tubuh Ji Soo dengan jaketnya. Ji Soo duduk tertunduk, lemas, di antara pasir yang dingin. Matanya kosong, tapi air matanya masih mengalir.
“Kamu gila, ya? Kenapa kamu bisa sampai seperti ini?” ilsan tak bisa menahan amarahnya saat mengetahui Ji Soo ingin bunuh diri. “dimana dia? Dimana Han Jae Wan saat kamu ingin bunuh diri” kata ilsan yang semakin dirundung rasa khawatir dan kasihan
Dan di sanalah semuanya tumpah. Di bawah langit kelabu dan suara ombak, Ji Soo menceritakan segalanya. Tentang ibu tirinya. Tentang kematian ayahnya. Tentang kebencian yang tak bisa ia redam. Tentang rasa sendirian yang menyesakkan.
Ilsan mendengarkan tanpa menyela. Hanya memegang tangannya, menguatkan.
“Aku gak punya siapa-siapa lagi,” bisik Ji Soo. “Gak ada yang percaya padaku. Gak ada yang mau bantu aku.”
Ilsan menatapnya, matanya berkabut oleh emosi yang tak bisa ia sembunyikan. “Kamu gak sendiri, Ji Soo. Mulai sekarang... aku yang akan berdiri di sampingmu.”
Ji Soo menatapnya, terkejut.
“Aku akan bantu kamu,” lanjut Ilsan. “Kalau kamu mau balas kematian ayahmu... aku akan jadi orang pertama yang berdiri di belakangmu.”
Dan sejak hari itu, mereka mulai menyusun rencana. Bukan lagi dua orang asing yang terpisah waktu, tapi dua jiwa yang telah disatukan. Ji Soo tak lagi sendirian. Dan Ilsan... tahu bahwa ia baru saja menyerahkan hatinya sekali lagi kali ini, untuk perang yang tak akan mudah.