NovelToon NovelToon
MAS BERONDONG, I LOVE YOU

MAS BERONDONG, I LOVE YOU

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Berondong / Beda Usia / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Persahabatan / Enemy to Lovers
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Nanadoongies

Orang bilang Abel yang jatuh cinta duluan dengan gombalan-gombalan itu, tapi Abi juga tahu kalau yang rela melakukan apa saja demi membuat Abel senang itu Laksa.
.
Berawal dari gombalan-gombalan asbun yang dilontarkan Abel, Laksa jadi sedikit tertarik kepadanya. Tapi anehnya, giliran dikejar balik kok Abel malah kabur-kaburan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanadoongies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 11

Sebelum itu...

Sebetulnya Laksa tak begitu ingin menonton dari bagian tribun, toh pemandangan dari sudut mana pun akan tetap terlihat jelas dengan tinggi badannya itu. Tapi Abi ngotot ingin duduk di sana. Alhasil menempati bagian ujung dan berseberangan langsung dengan dua gadis hebring itu.

“Lagi ngomongin lo tuh, Lak.” Abi terkekeh, dia memainkan botol air mineral dengan senyum menggoda.

“Nggak usah ngomong yang aneh-aneh sama bunda.”

“Ngomong aneh-aneh gimana? Orang yang gue ngomongin sesuai kenyataannya kok. Abel, ‘kan, emang demen godain lo selama beberapa hari ke belakang. Bukan salah gue dong kalau bunda lo tiba-tiba penasaran sama dia.”

“Ngerepotin!”

“Gue yakin suatu hari nanti lo akan berterima kasih sama gue karena hal ini.”

“Amit-amit.”

Ketika Bian dan kawan-kawan mulai memasuki lapangan, Abi sempat geleng-geleng kepala. Heran, sekaligus takjub karena teriakan gadis-gadis itu sudah sama persis dengan fangirling idol Korea.

“Buset! Apa nggak putus itu pita suaranya?”

“Nyimak aja.”

Kedua tim berhasil memberikan penampilan yang memukau, bukan hanya soal intensitas permainan yang berangsur-angsur mulai naik, melainkan munculnya trik-trik kecil yang membuat pertandingan semakin menarik.

“Ternyata kabar dua tim yang sama-sama kuat bukan cuma hoax doang, ya? Gilaaa. Kalau kayak gini gue semakin nggak mau ambil ekskul lain lagi.”

Laksa diam-diam mengiyakan. Pantas saja Bian digilai gadis-gadis itu, ternyata cara bermainnya memang oke punya.

“Lah. Lah. Lah. Kok pada naik ke tribun semua? Kagak muat anying!"

Suasana berubah semakin chaos. Di tengah kericuhan itu, Laksa sempat melihat Abel terdorong ke sembarang arah karena kalah besar dengan siswa lain.

“Ngerepotin,” bisiknya.

“AKHHHH!”

“Abel keples—“

Lalu entah bagaimana, Laksa refleks mengulurkan tangan. Menarik bagian belakang seragam Abel dengan cepat dan tanpa sadar. Kalau boleh jujur, ia juga deg-degan setengah mati. Bagaimana jika terlambat? Mungkin bukan hanya Abel saja yang akan berguling-guling sampai tribun bawah.

“Laksa?”

Abel menoleh dengan hela nafas lega. Tangannya refleks mencari pegangan dan lengan Laksa yang menjadi tujuannya.

“Aduuuh, thank you. Thank you. Kalau nggak ada lo mungkin gue udah guling-guling sampai bawah. Bentar, pegangin dulu. Pijakan kaki gue belum stabil.”

Laksa mundur, memberi sedikit ruang agar Abel bisa berdiri dengan nyaman.

“Ya Allah deg-degan banget ampe jantung gue mau copot.”

“Ngapain sih?”

“Yang ngapain tuh mereka. Udah tahu tribunnya nggak segede stadion bola malah maksa naik semua. Nggak tau apa kehadiran mereka mengancam cewek-cewek mungil kayak gue begini?”

“Bocah.”

“Gue tau dibalik makian lo itu sebenarnya mau memuji gue dengan sebutan kecil, imut dan menggemaskan, ‘kan?” Abel menyenggol lengan Laksa dengan senyum mentereng. “Ya, elah. Masih malu-malu aja padahal udah bukan hari pertama. Santai aja kali, nggak akan gue makan sekalipun lo memuji gue dengan gila-gilaan.”

“Pede amat.”

Abel mengangkat kepala. “Gue nggak tau kalau lo nonton di sini juga.”

“Ngga ada kewajiban buat laporan sama lo.”

“Bener juga. Tapi mungkin beberapa bulan lagi, lo akan melakukan yang sebaliknya. Btw, gue suka sama risol mayonya. Luarnya crispy tapi dalemnya lumerrrrrrr banget. Daging sama mayonya juga nggak pelit, terus ukurannya juga gemuk-gemuk. Beneran ngenyangin deh. Makasih, ya?”

“Daripada basi.”

Yang lebih tua terkekeh pelan. Gara-gara antusias penonton lain, Abel jadi harus dekat-dekat dengan Laksa. Bukan hanya penuh, mereka juga sedikit mendorong hingga bau parfum Laksa bisa tercium dengan jelas. Citrus. Segar dan menenangkan.

“Gue juga suka—”

Laksa tak bertanya lebih jauh. Perhatiannya kembali jatuh pada sisa pertandingan.

“... sama bau parfum lo. Kayaknya kalau lagi main ke suatu tempat terus mencium wangi yang sama, gue bakal berpikiran kalau itu lo.”

“Berisik. Gue mau nonton.”

“Kalau gitu ayo nonton bareng.”

Sisa pertandingan yang masih panjang itu, Laksa tak lagi mampu berkonsentrasi sepenuhnya. Semuanya gara-gara Abel. Dia memang paling lihai mengacaukan segalanya.

Sama seperti kabar yang beredar, kekuatan masing-masing tim mengantarkan pada selisih skor yang cukup tipis. Meskipun pada akhirnya tetap dimenangkan oleh tim yang dipunggawai oleh Bian juga. Yah, gelar pemain terbaik memang bukan omong kosong belaka.

“ABEL! GUE MENANG!”

Semua orang bersorak karenanya. Anjani yang baru menyadari kalau Abel tak lagi ada di sampingnya kontan mendengus sebal.

“Oy! Katanya mau nonton sama gue, kenapa ujungnya malah nonton sama Laksa?”

“Nonton sama yang tinggi itu lebih enak, soalnya kalau gue kepleset dia mau nolongin. Nggak kayak siapa tuh? Udah tau gue hampir guling-guling malah dianggurin doang.”

“Ehehehe, nggak sadar gue.”

“Kalau perlu nggak usah sadar terus, Jan. Lumayan dapat adegan romantis dari si tinggi dan si pendek,” ujar Abi.

“Enak aja dikatain pendek, gue tuh mungil tau.”

“Apa bedanya?”

“Gue tersinggung sama enggak.”

Sebenarnya Abi masih ingin mengobrol lebih lama, tapi Laksa lebih dulu membawanya pergi. Oh, Laksa memang tidak sabaran.

“Mau daftar,” ujarnya. Wajah datar, nada bicara datar, Abi sampai harus memindahkan Laksa ke belakang punggung sebelum dianggap cari masalah.

“Maksud temen gue, kita mau daftar, Bang.”

“Bisa main basket?” tanya Bian. Dia sempat memindai seolah tengah meremehkan kemampuan Laksa.

“Mau tanding sekarang juga bisa.”

“Heh!” Abi melotot panik. “Mabok, ya, lo? Berani-beraninya ngomong kayak gitu di depan pemain andalan sekolah. Kita masih jadi anak kecebong njir! Cari mati banget lo,” bisiknya sembari mengajak Laksa menjauh.

“Gue cuma jawab pertanyaan dia.”

“Bercanda, Bang. Temen gue emang suka asbun jadi maklumin aja kalau omongannya kedengeran songong.”

“By one,”  tantang Bian.

“Atur.”

“KOSONGIN LAPANGAN! BIAN MAU BY ONE SAMA LAKSA!”

Pengumuman itu berhasil menghentikan langkah Abel. Mulanya dia ingin pergi ke kantin demi menjemput dimsum ala-ala. Berhubung pertandingan—tidak terduga— akan dimulai sebentar lagi, jiwa pengen ngunyahnya mendadak hilang.

“Bian beneran targetin Laksa,” bisik Anjani.

“Let’s see siapa yang bakal memenangkan pertandingan ini.”

“Lo mau dukung siapa?”

“Abi.”

“Abi nggak main, dodol!”

Abel terkekeh. Meskipun tidak menjawab, seharusnya Anjani tahu betul siapa yang akan jadi pilihannya.

Jika dibandingkan dengan Bian, mungkin bakat Laksa masih berada di bawahnya. Tapi mengingat seberapa sombong manusia satu ini, pantang bagi Laksa untuk menyerah begitu saja. Kalaupun harus berjuang sampai titik darah penghabisan, bukan masalah serius juga.

“BIAN! BIAN! BIAN!”

“LAKSA! LAKSA! LAKSA!”

“Semangat Biaaaan!”

“Laksa jangan mau kalah, Laksa. Kalau lo kalah langsung gue coret dari KK 10 IPA 1,” teriak Clarista dari tepi lapangan.

“Laksa. 10 IPA 1 harga mati, Laksa.”

“Menangin, Lak. Nanti gue traktir risol mayo isi daging premium,” teriak Abi. Dia jadi ikut kompor-kompor gara-gara Clarista.

Satu-satunya penawaran yang membuat semangatnya tambah menggebu-gebu hanya risol mayo. Oh, risol mayo memang harga mati untuknya.

Perebutan skor—atau mungkin perebutan hati— berjalan cukup sengit. Meskipun tetap dimenangkan oleh Bian, tapi dengan perjuangan yang sebegitu gila-gilaan, Laksa juga pantas mendapat apresiasi yang tak kalah tinggi.

“Lumayan.”

“Formulir.”

Bian geleng-geleng, setengah tertawa setengah tidak mendengus. “Ambil di anak-anak.”

“Ambil dua, Bi.”

“SIAP!”

Abi menggoyangkan formulir dengan senyum mentereng. Setelah melewati jalan perjuangan yang cukup panjang, akhirnya bisa mendapatkan formulir juga.

“Keren juga bisa nipisin skor.”

“Emang.”

“Sial! Songong amat muka lo.”

Laksa terkekeh pelan. Pelaaaaan sekali. Itu pun harus musnah karena Abel tiba-tiba mendatangi mereka.

“Widih, keren juga anak baru udah berani nantangin pemain andalan sekolah. Gue nggak tau lo lagi mau caperin siapa, tapi plis, gue merasa tercaperi dengan aksi lo barusan. Yang berani nyerempet nekat begini, tipe gue banget nih.”

“Lo lagi. Lo lagi.” Laksa menggunakan punggung Abi sebagai tumpuan menulis.

“Ya, emang gue. Terus kenapa?”

“Ngintil mulu.”

“Soalnya kalau mau gandengan belum dibolehin jadi ngintil aja dulu. Siapa tau kapan-kapan bisa diajak jadian.”

“Kumat.”

“Selamat, ya, anak gugus paling sleepcall-ableku.” Abel meletakkan tiga bungkus permen yupi ke atas punggung Abi, tepat di atas kertas formulir Laksa.

“Kok gue nggak dikasih juga?”

“Kongsi.”

“Dikata Upin-Ipin kerjaannya kudu kongsi? Woy, Abel!”

“Berisik,” dengus Laksa.

“Lak, kongsi, Lak.”

Laksa memberikan seluruh permen untuk sahabatnya. “Jangan berisik.”

“Kaulah sahabat terbaikkuuu~”

***

Anjani mengaduk-aduk kuah soto tanpa minat. Iyalah, dia yang telah merencanakan pergibahan besar terpaksa tunduk—jadi kambing congek— karena Bian tiba-tiba bergabung di mejanya. Oh, sial. Kalau begini caranya, menelan saja agaknya juga merepotkan jika Evan terus memperhatikannya.

“Mana?”

Bian mengulurkan telapak tangannya.

“Apa?”

“Yupi. Kayaknya tadi lo lagi bagi-bagi permen yupi.”

“Kata siapa lagi bagi-bagi? Itu cuma apresiasi kecil karena Laksa udah berani nantang lo.”

“Ohhh, apresiasiiii.” Evan kontan saling pandang dengan Bian, entah apa yang sedang dipikirkannya sekarang.

“Kirain karena suka.”

“Emang kalau memanusiakan manusia lain harus didasari sama rasa suka, ya?”

“Weh, kalem dong, Bel. Gue, ‘kan, udah minta maaf soal insiden kemarin. Meskipun kepal tangan, gue nyuruh dia push-up di rerumputan kok.”

“Lo beneran nggak paham sama apa yang gue permasalahkan di sini, ya, Van?”

“Udaaah, gue yang salah karena kemarin udah kelewatan,” sahut Bian. Dia berusaha meraih tangan Abel, namun tak berhasil terjangkau.

“Nggak habis pikir gue sama jalan pikiran lo. Udah ngoceh segitu panjangnya sampai tenggorokan gue kering, ujungnya tetap nggak berhasil bikin lo paham juga.”

“Abeeel.”

“Ayo cabut, Jan. Bikin bete aja.”

Evan mengedip-ngedip bingung. Sedikit terkejut dengan reaksi Abel yang menurutnya terlampau sensitif.

“Gue bikin salah apalagi??”

1
ren_iren
kok aneh, padahal laksa liat Abel diikat sm tutup matanya masih aja dimarahin...
ren_iren: nanti bucin mampus sampe keurat2 nadi kapok lo sa.... 🤭
total 2 replies
Nanadoongies
kritik dan saran sangat amat dianjurkan, ya. jadi jangan sungkan buat ngoceh di kolom komentar.
Nanadoongies
Jangan lupa tinggalkan jejak, teman-teman
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!