Riana pikir kakaknya Liliana tidak akan pernah menyukai suaminya, Septian. Namun, kecurigaan demi kecurigaan membawanya pada fakta bahwa sang kakak mencintai Septian.
Tak ingin berebut cinta karena Septian sendiri sudah lama memendam Rasa pada Liliana dengan cara menikahinya. Riana akhirnya merelakan 5 tahun pernikahan dan pergi menjadi relawan di sorong.
"Kenapa aku harus berebut cinta yang tak mungkin menjadi milikku? Bagaimanapun aku bukan burung dalam sangkar, aku berhak bahagia." —Riana
Bagaimana kisah selanjutnya, akankah Riana menemukan cinta sejati diatas luka pernikahan yang ingin ia kubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Sudah dua minggu berlalu sejak Septian bergegas untuk mencari Riana. Sayangnya ia sudah mencari ke mana pun, tapi hasilnya nihil. Bahkan dalam sidang pertama perceraian, Riana tidak hadir dan hanya pengacaranya yang datang mewakili.
Septian sama sekali tidak menduga, Riana ternyata benar-benar serius ingin berpisah. Bahkan saat hakim menawarkan proses mediasi, pengacaranya dengan tegas menyampaikan bahwa Riana menolak.
“Riana, kamu di mana sebenarnya?” gumamnya sambil menatap layar ponselnya yang gelap.
Jemarinya menggulir galeri, berharap menemukan sesuatu yang bisa menenangkan pikirannya. Tapi yang muncul justru foto-foto Liliana, tidak ada satu pun kenangan tentang Riana. Lima tahun pernikahan, dan ia bahkan tak punya satu foto istrinya sendiri.
Rahangnya menegang. “Kamu memang bajingan, Tian,” gerutunya lirih. Tapi beberapa detik kemudian, ia menggeleng pelan, mencoba menepis rasa bersalah yang mulai tumbuh.
“Ini juga salah dia… kenapa jadi istri bisa selemah itu.”
"Riana," panggilnya dengan suara lirih yang langsung terbawa oleh angin.
Beberapa saat kemudian suara ketukan pelan di pintu memecah lamunannya. Liliana muncul dengan langkah anggun, rambutnya terurai, di pelipis hanya meninggalkan bekas luka kecil yang nyaris tak terlihat. Penampilannya tampak lebih sehat, bahkan lebih berani dari sebelumnya.
“Tian,” panggilnya lembut, bibirnya membentuk senyum kecil. “Kamu belum makan, ya? Aku bawain makan malam.”
Sekilas pandang Septian terhenti. Matanya sedikit membesar ketika melihat Liliana mengenakan baju tidur kimono trikot berwarna merah yang jatuh lembut mengikuti lekuk tubuhnya, kontras dengan kulit pucatnya yang tampak makin memikat di bawah cahaya lampu kamar.
Namun, beberapa detik kemudian ia memalingkan wajah. Bayangan Riana tiba-tiba melintas di benaknya. Dulu, saat Riana mencoba mengenakan pakaian seperti itu untuknya, ia justru memarahi habis-habisan. Ia bahkan sempat menyebut Riana seperti wanita malam. Sekarang, mengingat hal itu, dada Septian terasa sesak. Riana dulu tampak begitu manis, lebih tulus, lebih hangat, bukan seperti Liliana yang kini duduk di hadapannya dengan senyum menggoda.
“Lili, kenapa kamu pakai baju seperti itu?” tanyanya dengan nada datar, berusaha menahan nada kesal yang tak jelas arahnya, antara marah pada Liliana atau dirinya sendiri.
Liliana tersenyum samar. “Kenapa, Tian? Aku kelihatan jelek, ya?” ujarnya lembut sambil berjalan mendekat. Ia meletakkan kotak makanan di atas meja, lalu duduk di kursi di sebelah Septian. “Kalau iya, abaikan saja. Aku cuma khawatir kamu nggak jaga diri. Kamu kelihatan makin kurus, Tian.”
Nada Liliana terdengar lembut, tapi di baliknya ada sesuatu yang lain, cara halus untuk menekan rasa bersalah yang mulai tumbuh dalam hati Septian.
“Terima kasih,” ucap Septian akhirnya. Ia hendak mengambil sendok, tapi gerakannya terhenti ketika Liliana tiba-tiba menyentuh punggung tangannya.
“Jangan marah sama aku lagi, ya?” bisik Liliana pelan. “Aku cuma takut kehilangan kamu, Tian.”
Tatapan Liliana terlihat tulus dan penuh penyesalan, membuat dada Septian terasa aneh. Rasa sesal yang sempat muncul perlahan memudar, tergantikan oleh iba… dan entah kenapa, juga kenyamanan. Ia menarik napas panjang, menatap wajah Liliana sekilas, tapi lagi-lagi bayangan Riana muncul begitu saja di antara jarak pandangnya.
Septian segera berdiri dari tempat duduknya. Gerakannya yang tiba-tiba membuat Liliana terkejut.
“Kenapa, Tian? Kamu nggak suka?”
“T-tidak, aku hanya—”
“Kamu masih memikirkan Riana, ya?” potong Liliana, suaranya datar tapi matanya menajam menyimpan rasa kesal yang sulit untuk diabaikan.
Septian tidak menjawab. Hanya satu anggukan kecil, cukup untuk membuat Liliana terdiam beberapa detik. Wajahnya menegang, namun ia segera menarik napas dan menenangkan diri.
“Tian,” ucapnya lebih lembut, “aku tahu, semua yang terjadi antara kamu dan Riana juga karena aku. Karena kebodohanku waktu itu. Jadi… biarkan aku menebusnya. Aku bersedia melakukan apa pun agar kamu nggak terus menyalahkan diri sendiri.”
Septian terdiam. Ia bisa melihat kilatan sedih di mata Liliana, entah tulus atau hanya permainan perasaan sungguh ia tak tahu lagi.
“Waktu di rumah sakit, aku dengar kamu sempat bilang mau berpura-pura menikah denganku supaya Riana menyesal,” lanjut Liliana lirih. “Kenapa kamu nggak lanjutkan, Tian? Aku rela kalau itu bisa menebus kesalahanku.”
“Lili…” Septian menatapnya dengan sorot mata lelah. “Riana sungguh ingin berpisah. Kalau aku melakukan sandiwara seperti itu, dia benar-benar akan pergi selamanya.”
“Tapi Tian,” Liliana menimpali cepat, “kalau kamu nggak lakukan apa-apa, kamu juga nggak akan pernah menemukan dia. Sudah dua minggu kamu cari ke mana-mana, tetap nggak ketemu. Bukankah ini bukti kalau dia memang bersembunyi? Mungkin satu-satunya cara buat Riana keluar adalah dengan memancing emosinya.”
Septian terdiam lagi. Kata-kata Liliana terasa masuk akal. Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman.
“Jadi menurutmu aku harus berpura-pura menikah denganmu agar Riana muncul?” tanyanya, separuh ragu.
Liliana menatapnya lembut. “Tian, bagaimanapun aku dan dia saudara sedarah. Kalau kabar pernikahan kita menyebar, Riana pasti tahu. Kamu tahu sendiri, dia nggak mungkin diam saja kalau itu benar-benar terjadi.”
Septian termenung lama. Rasanya berat, tapi tak ada pilihan lain. Setiap hari tanpa kabar dari Riana membuat hatinya semakin hampa. Kadang ia merasa kesal dengan kekayaan dan nama yang ia miliki saat ini kenapa menemukan Riana di kota yang tidak terlalu besar begitu kesusahan. seolah Riana ada yang melindungi dan bisa menghilang tanpa jejak.
“Baiklah,” akhirnya ia berkata pelan. “Tapi hanya sampai aku menemukan Riana. Karena kita tidak mungkin bersama."
Liliana menunduk, menyembunyikan senyum kecil di bibirnya.
“Tentu, Tian. Aku mengerti. Kamu sudah menjelaskan kemarin, kalau janjimu waktu itu hanya untuk membuatku segera diobati."
"Terimakasih, Lili. Kamu benar-benar pengertian. Aku akan menelpon bagian humas untuk mempersiapkan semuanya," pamit Septian yang seperti menemukan secercah harapan.
***
Di sisi lain, malam ini Riana sama sekali tak bisa memejamkan mata. Hanya tinggal menghitung hari sebelum ia dan yang lainnya berangkat ke Sorong, namun satu hal masih mengganjal di hatinya, janjinya untuk membalas budi pada Alif belum juga terpenuhi. Lelaki itu selalu punya alasan setiap kali Riana menanyakan kapan mereka akan pergi ke rumah neneknya.
“Riana, kamu belum tidur?” suara Alif tiba-tiba terdengar dari belakang, membuat Riana sedikit tersentak. Ia sedang fokus membaca ulang beberapa buku kedokteran yang bahkan sudah ia hafal di luar kepala.
Riana menoleh cepat. “Aa juga belum tidur?” tanyanya pelan.
“Aku masih ada sedikit pekerjaan,” jawab Alif sambil berjalan ke dapur kecil di sudut ruangan. “Oh ya, aku mau buat susu. Kamu mau juga?”
“Gak usah, Aa. Tadi aku udah minum.” Riana menutup bukunya, lalu berdiri dan menghampirinya. “Aa, kapan jadi ke rumah nenek? Aku ingin semuanya selesai sebelum kita berangkat ke Sorong.”
Senyum di wajah Alif perlahan meredup. Ia terdiam sejenak, menatap gelas kosong di tangannya seolah mencari alasan yang tepat untuk diucapkan.
“Belum tahu, Riana,” ujarnya akhirnya, pelan namun terdengar hati-hati. “Nenek juga masih belum terlalu sehat. Aku takut kalau kita datang sekarang malah bikin capek.”
Riana menatapnya lekat, keningnya berkerut. “Tapi waktu itu Aa bilang, nenek sendiri yang ingin aku datang.” Nada suaranya lembut, tapi penuh rasa ingin tahu.
Alif menghela napas, pandangannya tetap tenang tapi gelagatnya begitu canggung. “Iya, dulu begitu. Tapi keadaan berubah, Riana. Kadang niat baik juga harus lihat waktu, kan?”
Riana terdiam. Tatapannya jatuh ke Lantai, ada rasa tak nyaman yang mengendap di dadanya. Entah kenapa, dari nada suara Alif ia bisa merasakan sesuatu yang tidak diucapkan.
Ia menggigit bibir, berbisik pelan, “Aa… kamu nyembunyiin sesuatu, ya?”
tk bisa kembali 🤣🤣🤣🤣.
kecuali di mantan Istri nikah dulu
Tapi mang salahnya Riana.. jadi perempuan kelewat naif jadinya mengarah ke bodo
Gampang banget di manipulasi
Ngga punya pertahanan diri.. huft!
Satu sisi kasian.. satu sisi lagi gumuss..
Bersyukur sekarang ketemu Alif yang bener cinta dan tulus
Cobaa ketemunya kayak Septik tank lagi.. wis runyam..
Ngga bakal ada hepi endingnya.. nelongso truss 🤦🏻♀️
kdang gmes sm riana yg lmah bgt....
yg kuat dong,tgas gt...jgn dkt2 nangis....