Hari yang seharusnya menjadi momen terindah bagi Hanum berubah menjadi mimpi buruk. Tepat menjelang persalinan, ia memergoki perselingkuhan suaminya. Pertengkaran berujung tragedi, bayinya tak terselamatkan, dan Hanum diceraikan dengan kejam. Dalam luka yang dalam, Hanum diminta menjadi ibu susu bagi bayi seorang duda, Abraham Biantara yaitu pria matang yang baru kehilangan istri saat melahirkan. Dua jiwa yang sama-sama terluka dipertemukan oleh takdir dan tangis seorang bayi. Bahkan, keduanya dipaksa menikah demi seorang bayi.
Mampukah Hanum menemukan kembali arti hidup dan cinta di balik peran barunya sebagai ibu susu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
08. Dia istriku!
Mobil hitam yang membawa mereka berhenti tepat di halaman depan rumah keluarga Biantara. Malam itu terasa begitu panjang, terutama bagi Hanum. Jemarinya masih dingin meski udara dalam mobil cukup hangat. Perkataan Abraham di hadapan semua orang tadi terus bergaung di telinganya,'istriku.'Kata itu seperti tamparan dan pelukan dalam waktu bersamaan.
Begitu mereka tiba, Hanum segera melangkah masuk, menundukkan kepala, berusaha mengabaikan degup jantung yang masih berisik di dadanya. Namun, Abraham yang berjalan di belakangnya terus menatap punggung Hanum. Ada sesuatu yang berbeda malam ini.
“Hanum,” panggil Abraham pelan.
Wanita itu berhenti sejenak, menoleh dengan gugup. “Iya?” suaranya lirih, nyaris bergetar.
Pria itu mendekat, jaraknya hanya setengah meter darinya. Tatapannya tajam, tetapi tidak sedingin biasanya. “Kau benar-benar baik-baik saja setelah kejadian tadi? Aku tahu Lilis … sudah melampaui batas.”
Hanum menunduk, jemarinya saling meremas. “Aku baik-baik saja. Selama Tuan Abraham melindungiku … aku tidak takut.” Kalimat itu meluncur begitu saja, tanpa sempat ia saring. Wajahnya memanas, malu sendiri karena begitu jujur di hadapan pria yang jarang sekali membuka hati.
Abraham terdiam sejenak, dadanya naik turun menahan sesuatu yang tidak ingin ia tunjukkan. Dia berusaha meredam debaran asing yang sejak tadi mengganggunya. “Kau tidak perlu merasa takut lagi. Selama kau tinggal di rumah ini, aku tidak akan membiarkan seorang pun menyakitimu, ingat itu.”
Hanum menelan ludahnya, perasaan hangat menjalari tubuhnya. “Terima kasih, Tuan Abraham…” ucapnya tulus.
Sesaat hening, hanya suara jam dinding yang berdetak. Abraham kemudian mengalihkan pandangan, seolah menegaskan kembali jarak di antara mereka.
“Sudah malam, kau harus istirahat. Kevin akan segera bangun, dan kau pasti lelah.”
Hanum mengangguk patuh. “Baik.” Ia berbalik, melangkah menuju kamarnya. Namun, langkahnya terasa ringan kali ini. Hatinya masih bergetar, bukan karena sakit dihina Lilis, melainkan karena untuk pertama kalinya sejak tragedi hidupnya, ada seseorang yang berdiri di depannya, membela dirinya, bahkan dengan lantang menyebutnya istri.
Di ruangannya sendiri, Abraham duduk di kursi kerja, menatap kosong ke arah jendela. Tangannya masih teringat saat ia menahan tangan Lilis, wajah Hanum yang terkejut, dan tatapan matanya yang penuh luka bercampur ketulusan.
'Kenapa aku begitu peduli?' batinnya bergemuruh. Namun, jawabannya tak kunjung ia temukan.
Sementara itu, di kamar sebelah, Hanum duduk di tepi ranjang, menatap Kevin yang terlelap di pelukannya. Ia mengelus kepala mungil itu dengan lembut.
“Papamu … melindungi ibu hari ini, Nak,” bisiknya sambil tersenyum tipis. “Entah kenapa, hatiku merasa … aman.”
Pagi itu, aroma teh hangat dan roti panggang menyebar dari meja makan keluarga Biantara. Hanum sedang menyiapkan bubur kecil untuk Kevin, sementara Siska duduk di kursi utama, matanya memandang menantu barunya dengan raut puas.
“Hanum, duduklah sebentar. Biar pelayan yang melanjutkan,” ujar Siska lembut.
Hanum menoleh cepat, sedikit gugup. “Tidak apa-apa, Bu. Saya hanya...”
“Duduk.” Nada Siska kali ini lebih tegas, tetapi penuh kasih. Hanum pun menurut, mengambil tempat di sebelah Kevin yang masih tenang dalam kursi bayinya.
Tak lama, langkah berat Abraham terdengar menuruni tangga. Ia tampak rapi dengan setelan sederhana, meski masih memancarkan wibawa khasnya. Pandangannya sempat bertemu dengan Hanum sekilas, membuat wanita itu buru-buru menunduk.
Siska tersenyum tipis, lalu membuka percakapan.
“Abraham, aku tidak menyangka kau bisa seberani itu semalam.”
Hanum langsung menegang, sendok di tangannya berhenti bergerak. Ia mengingat jelas momen ketika Abraham menahan tangan Lilis dan mengucapkan kalimat yang masih menggema di kepalanya,
'Sekali lagi kamu menyentuh istriku, akan kubuat seluruh keluargamu hancur.’
Abraham duduk, mengambil cangkir kopi yang sudah disiapkan. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam sikapnya.
“Apa yang perlu disangka, Bu? Aku hanya melindungi istriku. Semua orang harus tahu itu.”
Jawaban sederhana itu membuat Hanum terdiam, jantungnya berdetak lebih cepat. Siska menatap putranya lekat-lekat, ada kebanggaan yang sulit disembunyikan.
“Kau tidak menyesal?”
Abraham meneguk kopinya pelan sebelum menjawab.
“Tidak.” Suaranya tenang, mantap. “Kalau semalam aku diam, semua orang akan semakin meremehkan Hanum. Aku tidak akan membiarkan dia dipermalukan seperti itu. Meskipun bukan di depanku.”
Hanum terperangah, dia tak menyangka Abraham yang selama ini dingin bisa berbicara dengan ketulusan yang begitu jelas. Tangannya refleks menggenggam kain rok yang ia kenakan, mencoba menahan perasaan yang campur aduk.
Siska tersenyum semakin lebar. “Kau mungkin terlihat dingin, Bian, tapi nyatanya hatimu tahu cara melindungi orang yang kau cintai.”
Abraham menoleh cepat, menatap ibunya dengan sorot yang sulit ditebak.
“Ini bukan soal cinta, Bu. Ini soal tanggung jawab. Hanum sudah memilih masuk ke keluarga kita, merawat Kevin, berarti aku wajib menjaganya.”
Namun, di balik kalimat rasional itu, ada sesuatu di matanya yang berkilat, sebuah pengakuan yang bahkan Abraham sendiri belum siap untuk menyebutnya dengan kata cinta.
Hanum menunduk semakin dalam, wajahnya memerah. Tanggung jawab, pikirnya lirih. Meski begitu, hatinya diam-diam merasakan sesuatu yang berbeda, perasaan aman, perasaan yang dihargai.
Kevin tiba-tiba merengek kecil, membuat suasana sejenak teralihkan. Hanum segera menggendongnya, menyusui dengan lembut. Abraham menoleh sekilas, lalu menghela napas panjang, menegakkan tubuhnya. Ia tahu, semakin lama ia mengizinkan perasaan asing itu tumbuh, semakin sulit pula ia menjaga jarak yang sudah ia tetapkan.
Hanum.bisa loh nakhlukin ranio
waspada Abraham
Istri mu nggak kaleng2 Biiii 👏👏👏