Nathan memilih untuk menceraikan Elara, istrinya karena menyadari saat malam pertama mereka Elara tidak lagi suci.
Perempuan yang sangat ia cintai itu ternyata tidak menjaga kehormatannya, dan berakhir membuat Nathan menceraikan perempuan cantik itu. Namun bagi Elara ia tidak pernah tidur dengan siapapun, sampai akhirnya sebuah fakta terungkap.
Elara lupa dengan kejadian masa lalu yang membuatnya ditiduri oleh seorang pria, pertemuan itu terjadi ketika Elara sudah resmi bercerai dari Nathan. Pria terkenal kejam namun tampan itu mulai mengejar Elara dan terus menginginkan Elara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nagita Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
****
Pagi itu.
Elara kembali bekerja.
Di lantai paling atas, ruang kerja Marvin. Tapi pagi itu, sesuatu terasa berbeda. Saat Elara mengetuk pintu dan masuk, Marvin sedang berdiri di depan jendela besar dengan tangan disilangkan di dada.
“Tuan, saya sudah kembali bekerja.” ucap Elara sopan, menunduk sedikit.
Marvin berbalik perlahan. Senyum tipis menghiasi wajahnya, bukan seperti biasanya, tapi lebih hangat, lebih manusiaw sebagai atasan.
“Elara.” panggil Marvin.
Nada suaranya rendah, kali ini terdengar ramah.
“Selamat datang kembali,” lanjutnya. “Bagaimana kabar Grandma mu?” tanya Marvin.
Elara sedikit terkejut. Biasanya Marvin tidak banyak berbasa-basi.
“Oh, Grandma sudah jauh lebih baik, Tuan. Hasil pemeriksaannya juga stabil. Terima kasih sudah datang menjenguk.” ucap Elara.
Marvin menatapnya lama.
“Aku tidak datang karena kewajiban, Elara. Aku datang karena aku ingin memastikan kau tidak sendirian.” balas Marvin.
Pipi Elara terasa panas mendadak. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan rona merah yang mulai muncul.
“Terima kasih, Tuan. Tapi saya tidak ingin mengganggu waktu Anda untuk hal pribadi.” ucap Elara.
Marvin tersenyum, mendekat beberapa langkah hingga hanya berjarak satu meter dari Elara.
“Gangguan? Tidak ada yang mengganggu. Justru ruang ini terlalu sepi waktu kau tidak ada.” ucap Marvin tersenyum.
Elara mendongak cepat, menatap mata pria itu.
“Tuan Marvin…”
Namun sebelum sempat melanjutkan, Marvin mengubah topik, seolah menyadari dirinya hampir mengatakan sesuatu yang terlalu pribadi.
“Menurutmu bagaimana tentang Lucas? Oh, Lucas sempat menanyakan mu.” ucap Marvin.
Elara tersenyum lembut mendengar nama Lucas.
“Lucas manis sekali, Tuan. Saya tidak menyangka ia bisa sedekat itu dengan saya.” ucap Elara senang membahas Lucas.
“Lucas jarang dekat dengan siapa pun,” sahut Marvin pelan. “Bahkan dengan aku pun, terkadang ia terlalu keras kepala.” lanjut Marvin.
Elara terkekeh kecil.
“Mungkin karena ia butuh sosok yang bisa membuatnya merasa tenang.” balas Elara kemudian menutup mulut karena terkesan lancang.
Marvin mengangguk pelan.
“Mungkin begitu.”
Kemudian ia menatap Elara lagi.
“Lucas mengatakan, kau mirip seseorang.” lanjut Marvin.
Elara terdiam, seakan hatinya tersentak oleh kalimat itu.
“Mirip… siapa?” tanya Elara.
Marvin mengalihkan pandangannya sejenak, menatap meja kerjanya.
“Seseorang yang dulu pernah sangat berharga baginya, mungkin saja.” balas Marvin seakan ragu.
Elara menunduk, tidak tahu harus berkata apa. Sampai akhirnya...
“Kalau begitu,” ujar Elara setelah hening sesaat, “saya akan mulai memeriksa laporan yang tertunda Tuan.” ucap Elara.
“Baik.” balas Marvin. Tapi sebelum Elara sempat berbalik, ia menambahkan dengan nada tenang.
“Oh, dan Elara, setelah jam makan siang, tolong temani aku memeriksa kontrak proyek baru. Tapi kali ini, makan siangnya kita bersama saja.” ucap Marvin.
Elara menatapnya bingung.
“Bersama, Tuan?” tanya Elara.
Marvin tersenyum.
“Ya. Kau sekretariku, tak ada yang salah kan?” tanya Marvin.
Elara ragu-ragu sesaat, tapi akhirnya mengangguk.
“Baik, Tuan.” balas Elara.
“Bagus,” ucap Marvin, suaranya sedikit menurun seperti bisikan. “Dan Elara, jangan terlalu kaku. Aku tidak sedang menegurmu, hanya ingin makan siang dengan sekretarisku. Itu saja.” lanjut Marvin.
Ucapan itu membuat Elara nyaris kehilangan kata-kata. Ia menunduk cepat, menyembunyikan senyumnya lagi.
“Saya mengerti, Tuan.” balas Elara cepat.
Saat ia keluar dari ruangan, pintu tertutup pelan di belakangnya. Tapi di dalam, Marvin masih berdiri di tempat, menatap pintu yang baru saja dilewati Elara. Bibirnya membentuk senyum tipis, dan dalam hati ia bergumam pelan.
"Tetaplah disisiku, Elara. Sampai aku berani membuat pengakuan padamu, setidaknya kau bisa mengingat lebih dulu kejadian di masa lalu." gumam Marvin.
Sementara itu, di luar ruangan, Elara menekan dadanya perlahan, berusaha menenangkan detak jantungnya sendiri.
Marvin terlalu sering mengejutkannya.
***
Siang itu cukup tenang.
Di ruang kerja Marvin, Elara sedang menyiapkan dokumen proyek yang akan diperiksa bersama atasannya setelah makan siang.
Namun sebelum sempat ia mengetuk pintu ruangan Marvin, suara gaduh kecil terdengar dari arah lift pribadi di lorong, muncullah seorang bocah laki-laki berpenampilan rapi dengan kemeja putih dan celana abu-abu kecil, menenteng tas mini sambil disertai seorang sopir tua.
“Lucas?” seru Elara refleks, sedikit kaget.
Bocah itu menatapnya dengan sorot mata berbinar, kemudian berlari kecil ke arah Elara.
“Mommy!” panggilnya tanpa ragu, membuat beberapa karyawan yang lewat spontan menoleh.
Elara terkejut setengah mati.
“Lucas, sayang, kenapa kau di sini? Kau tidak seharusnya—”
“Aku mau lihat Mommy,” sela Lucas cepat, wajahnya polos tapi penuh keyakinan.
“Daddy bekerja terus, aku kesepian. Jadi aku ke sini sendiri.” ucap Lucas.
Sopir di belakangnya, Raymond, buru-buru memberi hormat kecil pada Elara.
“Maaf, Nyonya Elara. Tuan muda Lucas bersikeras datang sendiri, katanya sudah izin.” ucap Raymond.
“Izin?” Elara mengerutkan kening. “Izin pada siapa?” panjut Elara.
Dan seolah menjawab pertanyaan itu, suara berat dan dalam tiba-tiba terdengar.
“Izin pada siapa, Lucas?” tanya nya.
Marvin muncul dengan ekspresi yang jelas menahan kesal. Jas hitamnya masih rapi, tapi mata tajamnya menatap langsung ke arah putranya yang kini berdiri di samping Elara.
Lucas spontan bersembunyi di balik kaki Elara.
“Aku hanya mau lihat Mommy.” gumamnya pelan.
“Lucas.” Marvin menatapnya tegas.
“Kau tidak bisa datang ke kantor seenaknya. Ini bukan taman bermain.” lanjut Marvin.
Lucas berani mendongak, wajahnya cemberut.
“Tapi Daddy bekerja terus! Aku bosan di rumah! Aku hanya mau melihat Mommy sebentar saja!” ucap Lucas.
“Dan kau pikir itu alasan yang cukup?” kesal Marvin.
“Iya!” jawab Lucas cepat tanpa berpikir.
Elara menahan tawa kecil, mencoba menengahi.
“Tuan Marvin, tidak apa-apa. Lucas hanya ingin melihat saya sebentar, nanti saya pastikan ia tidak mengganggu pekerjaan Anda.” ucap Elara.
Marvin mendengus pelan.
Marvin menatap Elara, lalu menatap Lucas yang kini memeluk kaki Elara dengan wajah bangga, seperti baru memenangkan pertempuran besar.
“Baiklah,” kata Marvin akhirnya.
“Tapi hanya satu jam, setelah itu pulang.” ucap Marvin.
Lucas langsung bersorak kecil.
“Yeay! Aku memang selalu menang dari Daddy.” kekeh Lucas.
Marvin menatapnya tajam.
“Siapa yang bilang kau menang? Daddy hanya mengalah berdebat denganmu ya.” ucap Marvin.
Lucas dengan polos menjawab.
“Ck! Daddy memang harus mengalah.” ucapnya.
Suasana hening sejenak, lalu Elara tidak bisa menahan diri untuk tertawa kecil.
“Lucas.” Ucap Elara lembut sambil menunduk ke arah bocah itu. “Tidak boleh bicara begitu pada Daddy mu.” lanjutnya.
“Tapi itu benar, Mom.” jawab Lucas. “Daddy suka berpura-pura kejam.” lanjut anak itu.
Marvin mendengus lagi, memijat pelipisnya.
“Anak ini benar-benar, kombinasi buruk antara logika dan keberanian.” decak Marvin.
**
Beberapa menit kemudian, Marvin akhirnya mengizinkan Lucas duduk di ruang kerjanya sementara Elara dan Marvin melanjutkan pembahasan dokumen.
Tapi tentu saja, Lucas tak tinggal diam. Ia duduk di kursi besar, menggoyang kakinya, lalu berkata keras-keras.
“Daddy, kenapa Mommy tidak duduk di sini bersamaku? Kenapa duduknya terlalu jauh dariku?” rengek anak itu.
Marvin menatapnya tajam.
“Karena Mommy sedang bekerja.” balas Marvin.
“Tapi aku juga mau menemani Mommy bekerja!” ucap Lucas bosan sendiri.
“Kerja apa?” tanya Marvin.
Lucas berpikir sebentar, lalu menjawab dengan polos.
“Kerja jadi asisten Mommy.” balasnya.
Elara tertawa kecil.
Marvin menghela napas berat.
“Lucas, diamlah sebentar, kalau kau berisik Daddy suruh kau tidur di kantor malam ini.” ucap Marvin.
Lucas malah membalas dengan gaya menantang.
“Kalau tidur dengan Mommy, tak apa-apa Dad!” ucap Lucas.
Elara langsung tersedak pelan, sementara Marvin menatap putranya tidak percaya.
"Lucas, kalau kau tak bisa diam maka pulanglah dengan Raymond." ucap Marvin lagi.
Lucas berdecak, ia melangkah mendekati Elara lalu duduk di dekat Elara.
"Aku janji akan diam." ucapnya merebahkan kepalanya di pangkuan Elara, lagi-lagi anak itu manja dengan matanya yang terpejam.
Marvin tersenyum tipis membiarkan hal itu terjadi.
"Bagus lah, jangan berisik lagi." balas Marvin.
Tring!
pesan masuk, notifikasi terlihat di layar ponsel Elara yang berada di atas meja.
[Elara, bolehkah aku berkunjung? Aku ingin bertemu dengan Grandma.] begitulah pesan yang masuk ke ponsel Elara dan terbaca oleh Marvin.
Elara dengan cepat membalikkan ponselnya.
"Kalau kau merasa terganggu, kapanpun aku bisa membantumu." ucap Marvin yang tetap fokus pada berkasnya.
Bersambung…