Amara Olivia Santoso, seorang mahasiswa Teknik Industri yang sedang berusaha mencari pijakan di tengah tekanan keluarga dan standar hidup di masyarakat. Kehidupannya yang stabil mulai bergejolak ketika ia terjebak dalam permainan seniornya Baskara Octoga.
Situasi semakin rumit ketika berbagai konflik terjadi disekitar mereka. Novel ini menceritakan tentang kisah cinta remaja, persahabatan dan kehidupan kampus.
Hari pertama di semester genap
David berjalan di sepanjang koridor kampus sendiri, memperhatikan beberapa detail visual ruangan serta mengingat kejadian yang telah ia lalui bersama bayangan Amara di sepanjang perjalanannya.
Pikirannya buntu, setelah beberapa hari terakhir masa liburannya ia habiskan dengan stalking sosial media dan melihat foto kebersamaannya dengan Amara di beberapa event.
Ia terhenti tepat di depan layar monitor yang kini terpasang di looby lantai satu. Matanya sayu, terlihat lemas tak bertenaga.
“Gimana kabarnya kak David” Sapa Angkasa membuyarkan lamunanya.
“Tumben sendirian” Ucap David basa-basi.
Tak langsung menjawab, Angkasa langsung mencondongkan kepalanya ke kanan di barengi dengan senyuman akwardnya.
David menoleh, dan benar saja Gwen tengah berdiri tepat di belakangnya, disusul Amara yang mendekat tak lama setelah itu.
“Aduhh grombolan bucin dan nyamuk abadinya” Ucap David asal.
“Yee apaan sih kak” Gwen terkekeh pelan.
“Ada pengumuman apa sih kak? Serius amat dari tadi?” Tanya Angkasa.
“Ngga ada sih, ohh yaa aku cabut dulu yaa, mau cari reverensi buat laporan kerja praktek” Kata David sembari melambaikan tangan dan pergi ke arah ruang perpustakaan.
Hari ini adalah minggu pertamanya di semester enam. Tak ada jadwal kuliah, tidak ada teman angkatannya. Ia hanya sedang mencari alasan untuk bertemu namun ia tidak ingin berinteraksi dengan Amara.
Tak banyak yang berubah, saat di perpustakaan pun dia terdiam cukup lama di bangku pojok dekat jendela. Entah apa yang akan ia lakukan, yang jelas ia mulai mencoret-coret sketchbooknya dengan pensil setelah terdiam lebih dari sepuluh menit disana.
Kenangan tentang pertemuan pertamanya dengan Amara mulai berputar. Perempuan itu sama sekali tidak memperhatikannya. Sangat dingin dan terkesan sombong untuk ukuran maba yang sedang di ospek oleh kakak tingkatnya.
David kembali tersenyum kecut, tangannyaa sejenak terhenti dari rutinitasnya.
“Coba aku lebih berani Ra” Desisnya pelan sebelum melanjutkan gambarnya.
David menghembuskan nafas gusar.
Dan tiba-tiba kenangan itu datang begitu saja.
David yang tengah menyeruput mi kuahnya di koperasi fakultas di kejutkan dengan Amara yang tiba-tiba datang dan duduk di sebelahnya.
Tak ada sapaan atau permisi, dengan santainya Amara langsung meminum susu kotak dan membuka roti rasa keju sebagai sarapan paginya.
David menatapnya lama, sedikit membuat Amara merasa tidak nyaman dan justru berbalik menatapnya penuh heran.
“Kamu kenapa?” Tanya Amara.
David mengalihkan pandangannya, ia kembali menyeruput minya. Kali ini dengan kasar, karena sialnya Amara memang tidak mengenalinya.
David berkedip, menyadari realitas yang ada saat ini. Kenyataan yang harus ia terima. Amara telah menjadi pacar Baskara, teman baiknya.
Puluhan kesempatan yang ia lewatkan dengan sia-sia karena perasaan tidak enaknya pada Kevin membuatnya berada di tepi jurang keputus asaan.
Sebenarnya cukup ikhlas ia melepaskan Amara, karena sejak awal pun dia tidak pernah berani untuk mengejar. Namun, semua berubah sejak El memberi tahunya kebenaran taruhan El dengan Baskara untuk memperebutkan Amara.
David cukup pintar dalam membaca situasi. El sudah jelas kalah dalam pertaruhannya dengan Baskara, dan sudah lebih dari tiga bulan hubungan antara Baskara dan Amara berjalan. Otomatis El juga kalah taruhan dengan dia, Gerry dan Satria.
El tidak akan diam saja. Ia pasti akan selalu mencari celah agar mereka putus. Tentu bukan karena cinta Amara. Tapi karena sifat kompetitifnya dan rasa tidak mau kalah yang mendominasi otaknya.
“Sialll” Desis David pelan.
***
Sorenya, David melihat Amara berjalan ke arah parkiran sendirian, membawa totebag dan beberapa buku di tangannya. Sesekali ini terlihat kewalahan karena buku yang di bawa terlihat begitu banyak dan menumpuk.
Buru-buru David berlari ke arahnya.
“Sini aku bantu bawain” Ucap David yang langsung mengambil beberapa buku yang ada di tangan Amara.
Amara terhenti, seperti biasa ia tersenyum, “Aduhh jadi ngerepotin. Tapi makasih Kak” Ucapnya.
Mereka berjalan beriringan kea rah mobil Amara terparkir. Tak banyak yang mereka bicarakan, sesekali Amara hanya bertanya soal kehidupan kuliah. Begitun David hanya menjawab seperlunya.
Kepala David berisik tentang beberapa kemungkinan yang terjadi jika dia mengakatan tentang taruhan itu pada Amara. Selain membuatnya sedih, Amara juga akan menjauh darinya. Karena dia juga adalah salah satu pelaku.
“Kak?” Tanya Amara ragu, “Kayaknya kamu lagi banyak pikiran deh” Lanjutnya.
David menatap Amara dalam, cukup lama untuk membuatnya meyakinkan diri, “Aku cuma mau hati-hati aja. Jangan mudah percaya sama orang lain. Termasuk aku dan Baskara”.
Amara mengerutkan dahinya, “Hmmm okay. Dalam konteks apa ini kak?” Tanya Amara.
“Aku tahu sesuatu, tapi aku takut kamu bakalan shock dan mungkin trauma” Kata David.
Cukup lama mereka terdiam dalam keheningan, sampai mereka berhenti tepat di samping mobil Amara.
“Mungkin kamu ngga bakalan percaya sama aku, tapi yakinlah besok pas Baskara udah selesai magang dan mulai masuk kuliah, kamu bakal tau kebenarannya. Entah dari Baskara langsung atau dari gerombolan gengku” Kata David panjang lebar.
Amara semakin mengerutkan dahinya tak mengerti, “Iyaa, tapi ini soal apa kak?” Tanya Amara dengan sedikit penekanan di belakang.
“Pokoknya jangan percaya siapapun, kalo kamu ragu percaya sama instingmu aja. Aku ngga ada kapasitas buat jelasin ini ke kamu. Dan aku juga ngga berhak buat melakukan pembenaran” Ucap David sembari mengembalikan tumpukan buku itu ke tangan Amara.
“Apaan sih kak, serius aku ngga paham kenapa harus ada kaitan sama geng kalian?” Tanya Amara.
David menunduk, menghembuskan nafas dalam, “Kamu yakin Baskara beneran udah move on dan cinta sama kamu?” Tanya David.
“Yakin” Jawab Amara mantab.
“Aku juga berharap gitu” David tersenyum kecut.
Kali ini Amara tersadar, ada yang tidak beres dengan David. Ada sesuatu hal yang tersembunyi dalam pertemanan mereka. Tapi apa? tidak mungkin dia salah menilai Baskara. Selama ini Baskara selalu jujur dan tidak pernah sekalipun mereka bertengkar secara serius.
“Aku cuma mau ngingetin, jangan terlalu dekat dengan El. Apalagi saat Baskara ngga ada di sini. Masih ada dua minggu lagi sebelum magangnya selesai. Kalau bisa hindari El demi hubungan kalian. Udah itu aja nasehat dari aku” Ucap David sebelum benar-benar melangkah pergi meninggalkan Amara sendiri dalam kebingungan.
Amara masih belum bereaksi, cukup beresiko jika dia mencari tahu sendiri. Entahlah yang jelas dia segera membuka pintu mobil dan menaruh barang-barangnya setelah David menghilang di kejauhan.
“Kak El yaaa” Ucap Amara pelan.
Kini ia mulai mengelus pelipisnya, mencoba menerka setiap kata yang di ucapkan oleh David. Jujur dia cukup terusik ketika David memastikan padanya lagi, apakah Baskara memang sudah move on dan benar mencintai dirinya.