Anya gadis cantik berusia 24 tahun, terpaksa harus menikahi Revan CEO muda anak dari rekan bisnis orangtuanya.
Anya tidak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan kesepakatan kedua keluarga itu demi membayar hutang keluarganya.
Awalnya ia mengira Revan mencintai tulus tapi ternyata modus, ia hanya di jadikan sebagai Aset, untuk mencapai tujuannya.
Apakah Anya bisa membebaskan diri dari jeratan Revan yang kejam?
Jika ingin tahu kisah Anya selanjutnya? Langsung kepoin aja ya kak!
Happy Reading...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riniasyifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Anya! teriak Damian dalam hati, matanya membelalak ngeri. Jantungnya seakan berhenti berdetak.
Anya tidak menyadari bahaya yang mengintai. Ia terlalu fokus pada lawannya di depan, sehingga tidak melihat pria yang mengendap-endap di belakangnya.
Bagh!
Balok kayu itu menghantam Anya dengan keras. Darah segar langsung mengalir dari pelipisnya, membasahi rambutnya yang berantakan. Anya terhuyung dan jatuh ke tanah, pandangannya kabur, rasa sakit yang menusuk-nusuk menjalar di kepalanya.
"Anya!" Damian berteriak histeris, melupakan semua lawannya. Ia berlari menghampiri Anya, berlutut di sampingnya dan memeluknya erat. Tangannya gemetar saat berusaha menekan luka di kepala Anya, mencoba menghentikan pendarahan.
"Anya, bertahanlah!" Damian memohon, matanya berkaca-kaca. Jangan tinggalkan aku."
Anya berusaha membuka matanya, namun kepalanya terasa sangat sakit. Ia melihat Damian memeluknya dengan erat, wajahnya penuh ketakutan. Ia merasakan kehangatan dan cinta yang terpancar dari pelukannya, namun rasa sakit itu terlalu kuat.
"Damian ..." bisik Anya dengan suara lemah, bibirnya bergetar. "Aku ... aku tidak apa-apa."
"Tidak, Anya, kau terluka!" bantah Damian, suaranya bergetar. "Aku harus segera membawamu ke rumah sakit."
"Tidak ... tidak perlu," tolak Anya, menggelengkan kepalanya pelan. "Aku hanya ... sedikit pusing." Ia meringis kesakitan saat mencoba bergerak.
Damian tahu Anya berbohong. Ia bisa melihat jelas betapa sakitnya Anya. Namun, ia juga tahu bahwa mereka tidak punya waktu untuk berdebat. Revan bisa mengirim lebih banyak orang kapan saja.
Damian membantu Anya duduk, menyandarkannya di dinding. Lalu dengan cepat Ia merobek bagian bawah bajunya dan mengikatnya ke luka Anya, berharap bisa menghentikan pendarahan.
"Kau harus istirahat, Anya, aku janji tidak akan lama," ujar Damian dengan lembut, mengusap rambutnya yang berlumuran darah dari wajahnya. "Aku akan mengurus mereka semua."
Damian berdiri dan menatap para anak buah Revan dengan tatapan membunuh. Amarahnya memuncak. Ia tahu betul reputasi Revan sebagai pemimpin yang kejam dan tidak kenal ampun.
"Kalian akan membayar atas apa yang telah kalian lakukan!" geram Damian, suaranya menggelegar penuh amarah.
Dengan kecepatan dan kekuatan yang luar biasa, Damian menyerang para anak buah Revan. Ia melancarkan pukulan dan tendangan yang mematikan, setiap gerakannya dipenuhi dengan amarah dan tekad untuk melindungi Anya. Ia seperti binatang buas yang terluka, siap menerkam siapa saja yang berani mendekat.
Para anak buah Revan ketakutan melihat amarah Damian yang membara. Mereka tahu bahwa Damian adalah angen rahasia yang terkenal sebagai petarung yang hebat, namun mereka tidak menyangka bahwa ia akan menjadi begitu brutal. Sekarang, mereka melihat sendiri sisi gelap itu keluar.
Para anak buah Revan mulai mundur, berusaha melarikan diri dari amukan Damian. Namun, Damian tidak membiarkan mereka lolos begitu saja. Ia melumpuhkan mereka dengan pukulan dan tendangan yang mematikan. Ia tidak memberi mereka ampun, setiap serangan bertujuan untuk melumpuhkan mereka secepat mungkin.
Dalam waktu singkat, semua anak buah Revan tergeletak tak berdaya di tanah. Damian berdiri di tengah-tengah mereka, napasnya terengah-engah, namun matanya masih memancarkan amarah.
Setelah memastikan bahwa semua musuh telah dilumpuhkan, Damian segera kembali ke sisi Anya. Ia berlutut di sampingnya dan memeriksa keadaannya.
"Anya, bagaimana keadaanmu?" tanya Damian dengan cemas, tangannya kembali gemetar saat menyentuh luka di kepala Anya.
"Aku baik-baik saja, Damian," jawab Anya dengan lemah, tersenyum tipis. "Jangan khawatir." Namun, Damian bisa melihat jelas bahwa Anya berbohong. Wajahnya semakin pucat, dan bibirnya bergetar menahan sakit.
"Kita harus segera pergi dari sini, Anya," kata Damian. "Revan pasti akan mengirim lebih banyak orang."
"Ke mana kita akan pergi?" tanya Anya, suaranya nyaris tak terdengar.
Damian terdiam sejenak. Ia tidak tahu ke mana mereka harus pergi. Mereka tidak punya tempat yang aman, tidak ada teman yang bisa mereka percayai. Revan memiliki kekuasaan dan pengaruh yang luas, ia bisa menemukan mereka di mana saja.
"Aku tidak tahu," jawab Damian dengan jujur. "Tapi kita yang terpenting sekarang kita harus mengobati loka kamu dulu.
Damian membantu Anya berdiri dan memapahnya keluar dari rumah singgah. Mereka berjalan dengan langkah gontai, meninggalkan rumah yang telah menjadi tempat perlindungan mereka selama ini.
Anak-anak rumah singgah mengikuti mereka dari belakang, wajah mereka penuh dengan kesedihan dan ketakutan. Mereka tidak ingin berpisah dengan Anya dan Damian, yang telah menjadi keluarga bagi mereka.
"Om Damian, Kak Anya, jangan pergi!" seru salah seorang anak dengan suara bergetar. "Kami tidak ingin kalian pergi!"
Damian berhenti dan berbalik menghadap anak-anak itu. Ia tersenyum lembut, berusaha menenangkan mereka.
"Kami harus perg, untuk sementara," kata Damian dengan lembut. "Tapi kami janji, kami akan kembali suatu hari nanti."
"Benarkah?" tanya Nina dengan mata berbinar.
"Benar," jawab Damian dengan yakin. "Kami akan kembali dan membawa kalian semua ke tempat yang lebih baik." janji Damian.
Setelah berpamitan dengan anak-anak, Damian dan Anya melanjutkan perjalanan mereka. Mereka berjalan tanpa arah, hanya mengikuti insting mereka. Damian memegang erat tangan Anya, memastikan ia tidak terjatuh.
Di tengah kegelapan dan ketidakpastian, mereka memiliki satu sama lain. Dan itu sudah cukup.
Saat mereka berjalan menjauh dari rumah singgah, Anya menoleh ke belakang dan menatap rumah itu dengan tatapan sedih. Ia merasa berat meninggalkan tempat itu, tempat di mana ia telah menemukan kebahagiaan dan kedamaian. Ia teringat akan senyuman anak-anak, tawa mereka, dan semua kenangan indah yang mereka bagi bersama.
Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa tinggal di sana selamanya. Revan akan terus mengejarnya, dan ia tidak ingin membahayakan anak-anak rumah singgah. Ia harus kuat, ia harus berani, dan ia harus siap menghadapi apa pun yang akan terjadi.
Dengan berat hati, Anya berbalik dan mengikuti Damian. Ia tahu, di sisinya ada Damian, orang yang akan selalu melindunginya. Bersama, mereka akan menghadapi badai apa pun yang menghadang.
Mereka berjalan menyusuri jalanan yang sepi dan gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan. Suara langkah kaki mereka memecah kesunyian malam.
Anya merasakan sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi. Ia berusaha menahannya, namun ia tidak bisa. Ia merasa pusing, mual, dan juga perutnya tiba-tiba keram.
"Damian ...," panggil Anya dengan suara lemah. "Aku ... aku dah gak sanggup."
Damian segera berhenti dan menatap Anya dengan cemas. Ia melihat wajah Anya pucat dan berkeringat.
"Anya, kau baik-baik saja?" tanya Damian dengan khawatir.
"Tidak ... perut aku tiba-tiba sakit bangat," jawab Anya, menggelengkan kepalanya pelan.
Tiba-tiba, Anya kehilangan kesadaran dan jatuh pingsan ke pelukan Damian.
"Anya!" teriak Damian histeris, memeluk Anya erat-erat. "Anya, bangun! Jangan tinggalkan aku!"
Bersambung ...
di tunggu karya karya selanjutnya ya