Di balik reruntuhan peradaban sihir, sebuah nama perlahan membangkitkan ketakutan dan kekaguman—Noir, sang kutukan berjalan.
Ditinggalkan oleh takdir, dihantui masa lalu kelam, dan diburu oleh faksi kekuasaan dari segala penjuru, Noir melangkah tanpa ragu di antara bayang-bayang politik istana, misteri sihir terlarang, dan lorong-lorong kematian yang menyimpan rahasia kuno dunia.
Dengan sihir kegelapan yang tak lazim, senyuman dingin, dan mata yang menembus kepalsuan dunia, Noir bukan hanya bertahan. Ia merancang. Mengguncang. Menghancurkan.
Ketika kepercayaan menjadi racun, dan kesetiaan hanya bayang semu… Siapa yang akan bertahan dalam permainan kekuasaan yang menjilat api neraka?
Ini bukan kisah tentang pahlawan. Ini kisah tentang seorang pengatur takdir. Tentang Noir. Tentang sang Joker dari dunia sihir dan pedang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MishiSukki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20: Bertahan Hidup dalam Hutan
Langit di atas hutan itu selalu diselimuti abu-abu yang suram, seolah tak pernah ada matahari. Di bawah naungannya, Noir yang berusia enam belas tahun merangkak keluar dari bivaknya yang reyot. Bivak itu, hasil karya tangannya yang gemetar, terbuat dari ranting-ranting patah dan dedaunan busuk.
Itu adalah satu-satunya perlindungan yang ia punya dari dinginnya malam, dan bau tanah basah adalah satu-satunya parfum yang ia kenali. Tubuhnya kurus kering, kulitnya pucat, dan di balik tulang-tulang yang menonjol itu, racun yang disuntikkan Geraldine masih bersemayam, memakan dirinya dari dalam. Setiap gerakan terasa seperti sebuah siksaan. Setiap langkah seperti pertaruhan.
Ia berjalan di bawah rimbunnya pohon, batuk hebat. Paru-parunya terasa seperti terbakar, dan darah yang keluar dari mulutnya menjadi pengingat yang mengerikan bahwa tubuhnya telah rusak. Namun, ia tidak berhenti. Ia terus melangkah, mencari air, mencari makanan.
Berbekal pengetahuan usang dari masa lalu—kini terasa seperti mimpi yang jauh—ia membedakan antara tanaman yang bisa dimakan dan yang beracun, meskipun ia harus berhati-hati, mengingat pengalamannya yang hampir fatal.
Pencariannya terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Kadang ia menemukan beberapa buah beri, kadang jamur yang tidak menarik, atau sesekali seekor serangga yang berani. Makanan itu hanya cukup untuk bertahan hidup, tidak untuk memulihkan diri.
Tubuhnya terus melemah, dan matanya yang cekung memancarkan rasa lelah yang dalam. Tetapi, di balik rasa lelah itu, ada percikan api. Api yang sama yang membuatnya bertahan saat ia terbaring tak berdaya. Api yang membuatnya bertahan hidup, bahkan ketika nyawanya dipertaruhkan.
Malam kembali tiba, membawa serta dingin yang menusuk. Noir kembali ke bivaknya, meringkuk di dalamnya, mencoba menghangatkan tubuhnya. Di kegelapan yang pekat itu, suara hutan menjadi musiknya. Suara serangga yang berdesing, hembusan angin yang lembut, dan gesekan daun-daun kering. Ia mendengarkan, dan sebuah rasa aneh menyelimuti hatinya. Bukan rasa takut, tetapi ketenangan.
Hutan ini, yang seharusnya menjadi musuh baginya, ternyata adalah sekutunya. Ia tidak menemukan predator buas. Tidak ada ancaman yang langsung mengincarnya. Selama ia bisa menemukan makanan dan air, ia bisa bertahan. Selama ia bisa bersembunyi di dalam bivaknya, ia aman. Ketakutan perlahan tergantikan oleh kewaspadaan. Ia tidak lagi takut, ia hanya waspada.
Namun, ia tahu bahwa kedamaian ini rapuh. Ia hanyalah setitik debu di alam yang kejam ini. Jika keberuntungan meninggalkannya, ia akan hancur. Jika musim berganti, dan makanan sulit ditemukan, ia akan mati. Tetapi, ia akan berjuang.
Ia akan menggunakan setiap sisa kekuatannya, setiap pengetahuan yang ia miliki, untuk terus bertahan. Karena ia telah belajar bahwa di dunia ini, di mana kekejaman adalah satu-satunya kepastian, hidup adalah satu-satunya hal yang layak diperjuangkan.
Sesuatu dalam diri Noir mulai berubah. Ketahanan, yang dulunya hanyalah sebuah naluri untuk bertahan, kini perlahan bertransformasi menjadi sesuatu yang lain: harapan. Harapan itu tumbuh perlahan, layaknya tunas yang muncul dari tanah yang kering.
Ia tidak lagi hanya bertahan hidup; ia mulai mencari alasan untuk melakukannya. Setiap malam, saat ia meringkuk di dalam bivaknya, ia memimpikan sebuah masa depan. Bukan masa depan yang penuh kemewahan, tetapi masa depan di mana ia bebas dari bayang-bayang Geraldine, bebas dari racun yang merusak tubuhnya, dan bebas dari ketakutan.
Ia membayangkan dirinya berjalan di bawah sinar matahari, menghirup udara bersih, dan memakan makanan yang lezat tanpa rasa sakit. Ia menyadari bahwa penderitaan yang ia alami tidak hanya menghancurkannya, tetapi juga menempanya menjadi seseorang yang lebih kuat. Ia telah melihat sisi terburuk dari kemanusiaan, tetapi ia juga telah menemukan kekuatan yang luar biasa dalam dirinya sendiri.
Kini, setiap pagi, ia bangkit dengan tekad yang baru. Ia tidak lagi hanya mencari makan untuk bertahan hidup, tetapi mencari jalan keluar. Ia mulai memperhatikan arah matahari, pola angin, dan jejak-jejak kecil di tanah. Ia menyadari bahwa ada dunia di luar hutan ini, dan ia harus mencapainya.
Harapan itu adalah satu-satunya kompas yang ia miliki, dan ia berpegang teguh padanya. Ia mungkin masih lemah, tubuhnya masih sakit, dan dunia masih tampak kejam. Tetapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia akan bertahan.
Ia akan menemukan jalan keluar, dan ia akan hidup, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk membuktikan bahwa bahkan dari kegelapan yang paling dalam sekalipun, cahaya bisa ditemukan.