Kehidupan seorang balita berusia dua tahun berubah total ketika kecelakaan bus merenggut nyawa kedua orang tuanya. Ia selamat, namun koma dengan tubuh ringkih yang seakan tak punya masa depan. Di tengah rasa kehilangan, muncullah sosok dr. Arini, seorang dokter anak yang telah empat tahun menikah namun belum dikaruniai buah hati. Arini merawat si kecil setiap hari, menatapnya dengan kasih sayang yang lama terpendam, hingga tumbuh rasa cinta seorang ibu.
Ketika balita itu sadar, semua orang tercengang. Pandangannya bukan seperti anak kecil biasa—matanya seakan mengerti dan memahami keadaan. Arini semakin yakin bahwa Tuhan menempatkan gadis kecil itu dalam hidupnya. Dengan restu sang suami dan pamannya yang menjadi kepala rumah sakit, serta setelah memastikan bahwa ia tidak memiliki keluarga lagi, si kecil akhirnya resmi diadopsi oleh keluarga Bagaskara—keluarga terpandang namun tetap rendah hati.
Saat dewasa ia akan di kejar oleh brondong yang begitu mencintainya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Pagi itu rumah keluarga Bagaskara terasa tenang, berbeda dari biasanya yang selalu penuh suara tawa Arka dan Aksa. Di ruang makan, Celin sedang meneguk segelas susu hangat sambil membuka laptop. Wajahnya lelah, matanya sedikit sayu.
Arini memperhatikan dari jauh. Sejak Celin mulai aktif kuliah sekaligus bekerja di perusahaan, waktunya semakin padat. Namun ada hal lain yang diam-diam mengganjal hati seorang ibu: anak sulungnya semakin jarang tersenyum bebas.
Arka dan Aksa yang kini sudah kelas dua SMA duduk berseberangan dengan Celin. Seperti biasa, mereka saling berebut roti dan menyinggung kakaknya dengan celetukan kecil.
“Kak Celin, kamu serius terus, deh. Hidup itu jangan cuma mikirin angka sama bisnis. Senyum dong, biar awet muda,” kata Arka sambil nyengir.
Aksa menimpali, “Iya, Kak. Jangan jadi robot. Coba sekali-kali nongkrong sama kita. Biar Kakak inget rasanya main.”
Celin hanya menoleh sebentar, lalu tersenyum tipis. “Nanti ya. Aku ada deadline laporan sore ini.”
Arini akhirnya menaruh sendok di meja dengan suara cukup keras. “Arka, Aksa. Bisa Mama bicara dengan kalian berdua setelah ini?”
Dua bocah kembar itu saling pandang. Tatapan mereka sama-sama penuh tanya.
---
Setelah Celin berangkat kuliah, Arini memanggil si kembar ke ruang tamu. Wajahnya lembut, tapi matanya menyiratkan keseriusan.
“Arka, Aksa. Mama ingin kalian berhenti mengganggu Kak Celin dengan komentar atau keluhan kalian.”
Arka mengernyit. “Tapi Ma, kami cuma bercanda. Kami kangen Kak Celin. Dia jarang main sama kita sekarang.”
Aksa ikut membela, “Iya Ma, Kak Celin sibuk banget. Kalau kita nggak ganggu, nanti dia makin jauh.”
Arini menarik napas dalam. “Nak, dengar baik-baik. Kak Celin itu sudah dewasa. Dia memikul tanggung jawab besar, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk keluarga ini. Dia kuliah keras, dia bekerja di perusahaan Papa, bahkan sering kali diam-diam membantu urusan rumah. Kalian sadar nggak, betapa beratnya beban itu untuk seorang gadis yang baru berusia dua puluh tahun?”
Kedua anak itu terdiam. Arini melanjutkan, suaranya bergetar.
“Kalian selalu bilang Kak Celin sibuk dan lupa sama kalian. Tapi pernahkah kalian pikir, dia mungkin merasa kesepian? Teman-teman seusianya bisa bebas main, pacaran, atau jalan-jalan. Sedangkan Celin lebih banyak di kantor dan di rumah. Dan kalian, adik-adik yang dia sayangi, justru sering membuatnya merasa bersalah karena tidak bisa selalu bersama kalian.”
Air mata Arini menetes. “Jangan egois, Nak. Kalau kalian sayang sama Kak Celin, biarkan dia punya dunianya. Jangan kalian kuras tenaganya dengan tuntutan. Sebaliknya, kalian yang harus menjaga dia.”
Arka dan Aksa menunduk. Untuk pertama kalinya, mereka benar-benar memahami sisi lain dari kakak mereka.
“Maaf, Ma,” ujar Arka lirih. “Kami nggak pernah mikir sejauh itu. Kami kira Kak Celin kuat.”
Arini meraih kedua tangan anak kembarnya. “Dia memang kuat. Tapi bahkan orang terkuat pun butuh sandaran. Jadilah sandaran itu untuk kakak kalian.”
---
i
Hari-hari berlalu. Celin tetap sibuk seperti biasa. Namun ada hal yang tidak ia ungkapkan pada siapa pun: rasa sepi.
Di kampus, ia punya teman, tapi hubungannya tidak sedekat sahabat masa kecil. Di kantor, ia dihormati, tapi tetap dianggap “putri bos”. Sering kali, ia duduk sendiri di kamar setelah semua orang tidur, menatap layar laptop tanpa benar-benar membaca.
Dalam hati, Celin merindukan sesuatu yang sederhana: duduk bersama orang yang mau mendengar keluh kesahnya, tanpa menuntut atau menghakimi.
Suatu malam, ia menulis di buku hariannya:
“Aku mencintai keluarga ini. Tapi kadang aku merasa seperti cahaya yang harus selalu bersinar. Padahal, aku juga ingin sekali-kali padam, hanya untuk beristirahat.”
Air matanya menetes. Ia buru-buru menutup buku itu ketika mendengar suara pintu diketuk.
---
Arka membuka pintu pelan, diikuti Aksa. Biasanya mereka masuk dengan teriak-teriak, tapi kali ini langkah mereka hati-hati.
“Kak Celin… boleh kami masuk?” tanya Aksa.
Celin tersenyum samar. “Masuklah.”
Mereka duduk di lantai, sementara Celin tetap di kursinya. Hening sejenak sebelum Arka bicara.
“Kak… kami mau minta maaf. Selama ini kami sering nyusahin Kakak. Kami egois. Kami nggak ngerti kalau Kakak juga capek.”
Aksa menambahkan, “Mulai sekarang, biar kami yang jaga Kakak. Jadi Kakak jangan merasa sendirian lagi.”
Celin tertegun. Dadanya hangat, tapi matanya berkaca-kaca. “Kalian kenapa tiba-tiba ngomong begini?”
Arka tersenyum kikuk. “Mama yang nyadarin kami. Katanya, Kak Celin itu cahaya. Dan kami harus jadi bintang kecil yang jagain cahaya itu, bukan bikin padam.”
Celin menutup mulutnya dengan tangan. Air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Ia meraih kedua adiknya dan memeluk erat.
“Kalian nakal banget… tapi Kakak sayang. Terima kasih sudah mengerti.”
---
Sejak malam itu, sikap Arka dan Aksa berubah. Mereka tidak lagi menuntut Celin untuk selalu ada, melainkan berusaha memberi ruang.
Suatu sore, saat Celin pulang kuliah, ia mendapati kamar sudah rapi dengan meja kecil berisi bunga segar. Ada catatan kecil di sana:
“Kak, jangan kerja terus. Sabtu ini kita pergi main bertiga. Nggak ada alasan.” — Arka & Aksa.
Celin tertawa kecil. Hatinya menghangat.
Sabtu itu mereka benar-benar pergi. Bukan ke mall mewah, melainkan ke taman kota. Mereka naik sepeda, makan jajanan sederhana, bahkan ikut lomba kecil mewarnai untuk anak-anak yang kebetulan diadakan komunitas seni.
“Lihat, Kak Celin kalah sama bocah TK!” seru Arka sambil tertawa keras.
“Justru lucu, Kak. Kamu serius banget mewarnai langit pakai biru tua, padahal langit sore warnanya oranye,” goda Aksa.
Celin ikut tertawa, tawa lepas yang sudah lama tidak terdengar. Rasanya seperti kembali ke masa kecil.
Saat mereka duduk di rumput sambil minum es kelapa, Celin menatap langit. “Terima kasih ya, kalian. Hari ini Kakak benar-benar bahagia.”
Arka menoleh. “Mulai sekarang, kita yang jaga kebahagiaan Kakak. Setuju, Sa?”
Aksa mengangguk mantap. “Setuju. Tiga bintang Bagaskara nggak boleh redup, apalagi cahaya utamanya.”
---
Hari-hari berikutnya, Celin merasa lebih ringan. Ia masih sibuk dengan kuliah dan perusahaan, tapi kini ia tahu ada dua orang yang selalu mendukungnya dengan cara yang benar.
Arka mulai menunjukkan sisi dewasa. Ia berhenti sering menggoda kakaknya dan lebih sering menawari bantuan, entah itu mengambilkan minuman atau sekadar mendengarkan Celin bercerita tentang kuliah.
Aksa, si kembar yang lebih tenang, menjadi penyeimbang. Ia sering mengingatkan Arka untuk tidak berlebihan, sekaligus memberi perhatian kecil pada Celin, seperti menaruh camilan di meja belajarnya.
Arini melihat perubahan itu dengan haru. Suatu malam, ia bercerita pada Bagas. “Aku merasa lega. Anak-anak kita tumbuh dewasa. Celin tidak sendirian lagi.”
Bagas merangkul istrinya. “Itulah arti keluarga. Kita saling menjaga. Suatu saat nanti, kalau kita tiada, aku yakin tiga bintang itu akan tetap bersinar bersama.”
---
Celin menyadari bahwa nasihat ibunya kepada adik-adiknya membawa dampak besar. Kini, meski jadwalnya padat, ia tidak lagi merasa terasing. Ia bisa tertawa, bercanda, bahkan curhat dengan Arka dan Aksa.
Di buku hariannya, ia menulis lagi:
“Dulu aku merasa kesepian. Tapi sekarang aku sadar, aku tidak sendiri. Aku punya dua bintang kecil yang kini tumbuh besar, siap menjagaku. Aku adalah cahaya, tapi cahaya ini tidak akan padam selama ada mereka yang terus memantulkan sinarnya.”
---
Suatu malam di balkon rumah, Celin, Arka, dan Aksa duduk berdampingan menatap langit berbintang.
“Kak,” kata Aksa, “kalau nanti Kak Celin sudah lulus kuliah dan jadi bos besar, jangan lupa kita ya.”
Celin menoleh, tersenyum lembut. “Tidak mungkin Kakak lupa. Kalian bukan cuma adik. Kalian bagian dari jiwa Kakak.”
" lagian kita pasti akan satu perusahaan itu milik papa dan kalian anak laki laki" ujar Celin lagi
Arka mengangkat tangan, menunjuk ke langit. “Lihat! Tiga bintang sejajar. Itu kita.”
Celin memeluk keduanya erat. “Ya. Tiga bintang Bagaskara. Selamanya.”
Dan malam itu, cahaya bintang seolah lebih terang, mengukuhkan janji mereka bertiga: saling menjaga, saling menguatkan, hingga kapan pun juga.
---
✨ Bersambung…
cakra msti lbih crdik dong....ga cma mlindungi celin,tp jg nyri tau spa juan sbnrnya....mskpn s kmbar udu nyri tau jg sih....
nmanya jg cnta.....ttp brjuang cakra,kl jdoh ga bkln kmna ko....
kjar celine mskpn cma dgn prhtian kcil,ykin bgt kl klian brjdoh suatu saat nnti.....
ga pa2 sih mskpn beda usia,yg pnting tlus....spa tau bnrn jdoh....
nongol jg nih clon pwangnya celine.....
msih pnggil kk sih,tp bntr lg pnggil ayang....🤭🤭🤭