NovelToon NovelToon
Susuk Berdarah: Kutukan Pocong PSK

Susuk Berdarah: Kutukan Pocong PSK

Status: tamat
Genre:Spiritual / Iblis / Mata Batin / Hantu / PSK / Tamat
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Putri Sabina

Teror mencekam menyelimuti sebuah desa kecil di kaki gunung Jawa Barat. Sosok pocong berbalut susuk hitam terus menghantui malam-malam, meninggalkan jejak luka mengerikan pada siapa saja yang terkena ludahnya — kulit melepuh dan nyeri tak tertahankan. Semua bermula dari kematian seorang PSK yang mengenakan susuk, menghadapi sakaratul maut dengan penderitaan luar biasa.

Tak lama kemudian, warga desa menjadi korban. Rasa takut dan kepanikan mulai merasuk, membuat kehidupan sehari-hari terasa mencekam. Di tengah kekacauan itu, Kapten Satria Arjuna Rejaya, seorang TNI tangguh dari batalyon Siliwangi, tiba bersama adiknya, Dania Anindita Rejaya, yang baru berusia 16 tahun dan belum lama menetap di desa tersebut. Bersama-sama, mereka bertekad mencari solusi untuk menghentikan teror pocong susuk dan menyelamatkan warganya dari kutukan mematikan yang menghantui desa.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Janji dan Pengkhianatan Gaib

Siang itu hujan masih menggantung di langit, membuat halaman klinik tampak basah dan sepi. Atna duduk di bangku tunggu, jemari tangannya meremas ujung tas kecilnya. Nafasnya cepat, bukan karena kedinginan, tapi karena ia tahu sebentar lagi semua akan terjawab.

Pintu ruangan dokter terbuka. “Silakan masuk, Bu Atna.” Suara suster terdengar lembut, tapi di telinga Atna justru berat, seperti memanggilnya ke sebuah vonis.

Di dalam, dokter berkacamata itu menatapnya lama sebelum berbicara. Di atas meja, ada berkas dan sebuah amplop putih.

“Bu Atna…” Dokter menghela napas, lalu menyodorkan berkas itu. “Hasil pemeriksaan sudah keluar.”

Atna meraih amplop itu dengan tangan bergetar. Kertasnya terasa dingin di kulit. Ia membuka, menatap barisan huruf dan angka yang tampak seperti bahasa asing—sampai matanya berhenti di satu baris.

HIV-positif.

Seakan-akan seluruh udara di ruangan lenyap. Telinganya berdenging. Bibirnya bergerak, tapi tak ada suara yang keluar.

“Bu, saya mengerti ini berat,” suara dokter terdengar sayup-sayup. “Tapi ini bukan akhir. Ada pengobatan yang bisa menekan—”

Kata-kata itu terpotong oleh isak kecil yang lolos dari tenggorokan Atna. Ia memalingkan wajah, menatap ke luar jendela yang buram oleh rintik hujan.

Di pantulan kaca, ia tak lagi melihat perempuan yang lincah di club, yang tertawa di bawah lampu warna-warni. Yang ia lihat hanya sosok pucat, mata kosong… dan di belakangnya, seperti bayangan tipis, sesosok pocong susuk yang tersenyum—bukan untuk mengancam, tapi seperti sedang menikmati kekalahannya yang justru menjadi kemenangan lain.

Sore itu, matahari mulai miring, memantulkan cahaya oranye di atap seng rumah-rumah desa. Atna berjalan pulang dari klinik, langkahnya pelan. Amplop hasil medis itu masih ia genggam erat, meski isinya sudah ia hafal.

Di tikungan dekat warung, dua ibu-ibu yang sedang menjemur pakaian spontan terdiam saat melihatnya lewat. Mereka saling pandang, lalu berbisik—pelan tapi cukup keras untuk sampai di telinga Atna.

"Katanya sakitnya… itu, loh."

"Ih, pantesan kurusan. Ya ampun, jangan-jangan dari kerjaannya itu…"

Atna menunduk, mencoba mempercepat langkah. Tapi bisik-bisik itu justru mengikuti dari belakang, seperti langkah bayangan.

Di warung, seorang bapak tua pura-pura sibuk menata rokok sambil meliriknya dari ujung mata. Dua remaja yang sedang nongkrong di motor saling senggol dan terkekeh, tatapan mereka penuh sindir.

Sesampainya di depan rumah, Atna menutup pagar dengan keras, berharap bisa meredam suara-suara itu. Tapi di dalam kepalanya, semua gosip itu masih bergema, bercampur dengan suara parau pocong susuk yang entah kenapa kini terdengar puas.

"Kau sudah kehilangan kehormatanmu di mata mereka… dan itu hanya permulaan."

Di luar, beberapa anak kecil berlari-lari sambil berteriak, “Itu rumahnya yang kena kutukan!” lalu tertawa terbahak-bahak.

Atna duduk di lantai ruang tamu, punggungnya bersandar ke dinding. Tangannya menutupi wajah, menahan air mata yang mulai jatuh. Di luar, langit gelap lebih cepat dari biasanya—seolah seluruh desa ikut menutup diri darinya.

Malam itu, udara terasa berat. Angin yang biasanya sepoi-sepoi kini membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang amis. Di luar, suara jangkrik mendadak berhenti, meninggalkan keheningan yang membuat telinga terasa berdengung.

Atna duduk di ruang tamu dengan lampu redup, secangkir teh di meja sudah dingin tak tersentuh. Kepalanya pusing, badannya lemas. Amplop hasil medis tergeletak di sebelahnya, seperti benda terkutuk yang ingin ia buang tapi tak sanggup.

Tiba-tiba—tok… tok… tok…

Tiga ketukan pelan terdengar dari pintu depan.

Atna menegakkan tubuh.

“Siapa?” suaranya pelan, nyaris berbisik.

Tidak ada jawaban.

Hening sejenak, lalu suara itu datang lagi—lebih keras.

TOK… TOK… TOK…

Jantung Atna berdetak kencang. Dengan tangan gemetar, ia melirik jam dinding—pukul 12 lewat tujuh menit. Malam Jumat.

Ia berdiri perlahan, mencoba mengintip dari lubang pintu. Kosong. Tidak ada siapapun di teras. Tapi anehnya, saat ia menempelkan telinga ke pintu, ia mendengar napas… panjang, berat, seolah seseorang berdiri tepat di baliknya.

“Pergi…” bisik suara parau dari luar.

Atna mundur, menahan napas.

Lampu di ruang tamu berkedip sekali… dua kali… lalu mati total. Gelap menyelimuti rumah. Dari kejauhan, ia mendengar langkah—bukan dari luar, tapi dari dalam rumah. Langkah itu bergerak pelan dari arah dapur menuju ruang tamu.

Di tengah kegelapan, Atna bisa merasakan sesuatu berdiri di sudut ruangan. Bau kain basah dan tanah kuburan memenuhi udara.

Suara itu kembali, kini jelas di telinganya:

"Kau bukan lagi milikmu sendiri, Atna…"

Atna memundurkan langkah, punggungnya menempel ke dinding. Napasnya memburu, jemarinya meraba-raba meja di belakang, mencari sesuatu yang bisa dijadikan senjata. Hanya ada gelas kosong—yang ia genggam erat meski tahu percuma.

Langkah itu semakin dekat. Sret… sret… seperti kain diseret di lantai.

Bau tanah makin menusuk, membuat perutnya mual.

Tiba-tiba—BRAK!

Jendela dapur terbuka sendiri, gorden berkibar liar seperti ditiup angin dari kuburan. Dalam sekejap, cahaya bulan masuk, cukup untuk menampakkan sosok itu: pocong dengan kain kafan kusut, wajahnya setengah membusuk, mata merah menyala, lehernya miring seperti dipatahkan paksa.

“Atna…” suara itu serak, bergema, membuat bulu kuduknya berdiri.

Kain kafannya kotor, ada bercak darah mengering di beberapa bagian.

Atna ingin berteriak, tapi suaranya tercekat.

Pocong itu mendekat tanpa melompat, melainkan meluncur di udara—gerakannya cepat namun hening, seperti mimpi buruk yang menembus kenyataan.

Tiba-tiba lampu rumah menyala sendiri, tapi cahaya bukan menenangkan—justru memperlihatkan sesuatu yang lebih mengerikan. Di setiap sudut ruangan, ada bayangan-bayangan lain, samar, berdiri diam. Mata mereka mengawasi.

Pocong itu berhenti tepat di hadapan Atna.

Senyum tipis, aneh, terbentuk di wajah busuknya.

“Dunia sudah tahu aibmu, Atna… sekarang giliran arwah yang menagih.”

Dingin seperti es menyusup dari ujung jari hingga ke dadanya saat pocong itu mengangkat tangan… jemari panjangnya bergerak, seperti hendak meraih lehernya.

Jemari panjang dan kaku itu menembus udara, menyentuh kulit Atna. Rasanya seperti es mencengkeram tulangnya. Dalam sekejap, pandangannya gelap—seluruh ruangan lenyap.

Atna terjatuh, tapi ia tidak merasakan lantai rumahnya. Yang ada hanyalah tanah basah, licin, dan berbau busuk. Kabut tebal menggantung, menutup pandangan ke segala arah. Dari kejauhan, terdengar ratusan bisikan bercampur rintihan.

Ia mencoba bangkit, namun tubuhnya terasa berat, seperti ada beban di pundaknya. Saat menoleh, darahnya membeku—puluhan pocong berdiri mengelilinginya, kain kafan mereka compang-camping, wajah mereka menganga tanpa suara… kecuali mata mereka, semua memandangnya penuh dendam.

Di tengah lingkaran itu, pocong susuk yang selama ini menghantuinya melangkah maju.

“Atna…” suaranya bergema di telinga dan kepala sekaligus.

“Kau hidup dengan tubuh ini, uang ini, kemewahan ini… karena kami.”

Dari dalam tanah, tangan-tangan pucat keluar, mencengkeram pergelangan dan kakinya. Atna berteriak, tapi tidak ada udara yang keluar dari mulutnya.

“Kami tidak butuh alasan lagi. Kami menagih nyawamu.”

Tiba-tiba, langit di atasnya terbuka, bukan menjadi cahaya—melainkan lubang hitam raksasa yang berputar perlahan, mengisap segala yang ada. Pocong-pocong itu mulai tertarik ke atas, tapi sebelum mereka lenyap, pocong susuk mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari Atna.

“Ini baru permulaan.”

Cengkeramannya menghantam dada Atna—dan seketika ia terbangun kembali di ranjang rumahnya, basah kuyup oleh keringat. Tapi di pergelangan tangannya, ada bekas jemari hitam, nyata, dan berdenyut pelan…

1
Siti Yatmi
bacanya rada keder thor....agak bingung mo nafsirin nya....ehm...kayanya alur nya diperjelas dulu deh thor biar dimengerti
Mega Arum
crtanya bagus.. hanya krg dlm percakapanya,, pengulangan aura gelapnya berlebihan juga thor..
Mega Arum
masih agak bingung dg alur.. juga kalimat2 yg di ulang2 thor
Mega Arum
mampir thor....
Warungmama Putri
bagus ceritanya alurnya pun bagus semoga sukses
pelukis_senja
mampir ah rekom dari kak Siti, semangat ya kaa...🥰
Siti H
novel sebagus ini, tapi popularitasnya tidak juga naik.

semoga novelmu sukses, Thor. aku suka tulisanmu. penuh bahasa Sastra. usah aku share di GC ku...
kopi hitam manis mendarat di novelmu
Siti H: Alaaamaaak,.. jadi tersanjung🤣🤣
Putri Sabina: aduh makasih kak Siti aku juga terinspirasi darimu❤️🤙
total 4 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!