"Ada sebuah kisah kuno dari gulungan tua... tentang seekor naga yang tak mati meski semesta memutuskan ajalnya."
Konon, di balik tirai bintang-bintang dan bisikan langit, pernah ada satu makhluk yang tak bisa dikendalikan oleh waktu, tak bisa diukur oleh kekuatan apa pun—Sang Naga Semesta.
Ia bukan sekadar legenda. Ia adalah wujud kehendak alam, penjaga awal dan akhir, dan saksi jatuh bangunnya peradaban langit.
Namun gulungan tua itu juga mencatat akhir tragis:
Dikhianati oleh para Dewa Langit, dibakar oleh api surgawi, dan ditenggelamkan ke dalam kehampaan waktu.
Lalu, ribuan tahun berlalu. Dunia berubah. Nama sang naga dilupakan. Kisahnya dianggap dongeng.
Hingga pada suatu malam tanpa bintang, seorang anak manusia lahir—membawa jejak kekuatan purba yang tak bisa dijelaskan.
Ia bukan pahlawan. Ia bukan penjelajah.
Ia hanyalah reinkarnasi dari sesuatu yang semesta sendiri pun telah lupakan… dan takutkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Suara sayatan pisau bertemu papan talenan terdengar ritmis dari dapur. Aroma bawang putih dan rempah menguar memenuhi apartemen. Elsha, dengan celemek sederhana yang sudah ternodai sedikit tepung, tengah sibuk menyiapkan makan malam. Sesekali ia berhenti, mengecek panci rebusan di atas kompor, memastikan semua matang sempurna.
Di kamar, Asterion duduk bersandar di dekat jendela, menatap langit senja yang kini telah bertransformasi menjadi kanvas hitam bertabur bintang. Matanya tidak sekadar memandang… ia mengamati.
Titik-titik putih di angkasa itu berkilau, dan entah kenapa, setiap kelipan terasa… akrab. Ada sesuatu yang menghubungkannya dengan dua titik putih yang ia lihat sebelumnya di alam bawah sadar.
“Sepertinya otak naga tuaku belum tumpul…” gumamnya sambil tersenyum miring.
Tanpa pikir panjang, ia duduk bersila. Tarikan napas panjang ia lepaskan perlahan, menenggelamkan kesadarannya ke dalam dunia sunyi dan gelap—alam bawah sadar miliknya.
Di sana, dua titik putih itu masih berputar perlahan, setia menunggunya.
“Ayo… waktunya bertambah.”
Ia memusatkan pikirannya, mengerahkan setiap helai energi kosmik yang bisa ia serap. Perlahan, titik ketiga lahir—kecil, redup, namun nyata.
“Bagus…” ia menggumam puas. Tapi perjalanan belum selesai.
Keempat. Kelima. Keenam.
Setiap titik yang lahir, rasa sakitnya semakin menusuk tulang. Energi kosmik seperti memeras habis seluruh tenaganya. Darah kotor mulai mengalir dari hidungnya, lalu dari sudut bibir. Ia mengusapnya kasar.
“Tch… tak masalah. Ini cuma sedikit darah.”
Ketujuh. Kedelapan.
Sekarang darah merembes keluar dari telinganya. Tubuh mungilnya gemetar, seolah tidak siap menampung kekuatan sebesar itu. Tapi tatapan matanya—tajam, keras, penuh tekad—tak tergoyahkan.
“Tinggal sedikit lagi… Ayo, Asterion. Kau bukan bocah biasa. Kau… sang naga semesta.”
Tiba-tiba, di tengah konsentrasi itu, sebuah suara rantai putus terdengar di relung pikirannya. Seketika, gelombang energi kosmik meledak keluar dari tubuhnya.
Apartemen bergetar. Rak buku kecil bergoyang, lampu gantung berayun liar. Panci di dapur bergetar, membuat Elsha memandang ke arah langit-langit dengan alis berkerut.
“Apa… gempa?”
Sementara itu, di alam bawah sadar, Asterion terpaku.
“Kekuatan ku… Perlahan pulih. Jadi begitu… Star Soul adalah jalannya.”
Kesembilan. Kesepuluh.
Dan akhirnya… kesebelas.
Tubuhnya terasa seperti akan pecah. Retakan bercahaya mulai menjalar di kulitnya, sinar bintang merembes keluar seperti retakan di porselen yang siap pecah.
“Bertahan, tubuh sialan ini…! Sedikit lagi… Jika gagal, aku akan hancur seperti vas… Tapi aku tidak peduli! Aku… tidak akan jadi makhluk lemah lagi! Aku akan menjadi yang terkuat sekali lagi! Supaya… Ibu tidak menangis lagi!”
Kesebelas titik itu berputar kencang, membentuk lingkaran sempurna. Ledakan energi kosmik melonjak, membuat seluruh gedung apartemen berguncang hebat.
Di luar..
Para penghuni berteriak, berlarian keluar. Tangga darurat penuh oleh orang yang panik, membawa anak, membawa barang seadanya.
Elsha berlari ke pintu kamar Asterion. Ia memutar kenop—terkunci.
“Asterion! Buka pintunya!” teriaknya sambil menghantam pintu dengan kedua tangannya.
Tak ada jawaban.
Paniknya memuncak, air mata mulai mengalir.
“Asterion! Tolong jawab, Nak! Asterion!!”
Di Markas Militer Pusat
Sirine meraung. Lampu indikator merah berkedip liar di ruang kontrol. Monitor utama menampilkan gelombang energi kosmik yang melonjak tajam.
“Sial… apa lagi ini?!” teriak salah satu teknisi.
Komandan Ryu masuk, tatapannya seperti pedang. “Lapor!”
Teknisi berdiri kaku. “Komandan, ini… Energi kosmik dengan frekuensi yang… jarang. Sangat jarang. Mungkin… pemburu bintang.”
Ryu menyipitkan mata. “Koordinatnya?”
Teknisi menelan ludah. “Apartemen distrik barat… tempat tinggal keluarga Anda, Komandan.”
Ruangan hening. Wajah Ryu langsung menggelap, seakan badai meledak di dalam dirinya.
“Elsha… Asterion…”
Teknisi lain menambahkan, “Kami baru mendeteksi sekarang karena energinya baru melonjak. Jika itu pemburu bintang—”
“Aku tidak peduli teori kalian,” potong Ryu dengan suara rendah namun penuh ancaman. “Kalau ada yang berani menyentuh keluargaku… aku akan membuat mereka menghilang dari dunia ini.”
Tanpa perintah lebih lanjut, tubuhnya sudah melesat keluar. Ledakan Star Soul-nya meledak, aura kuning menyapu markas seperti badai, membuat para prajurit terhuyung. Dalam sekejap, Ryu menghilang dari pandangan, meninggalkan kilatan cahaya di langit malam.
Kembali ke Apartemen
Di kamar, Asterion masih bertahan. Retakan bercahaya di tubuhnya semakin banyak. Rasanya… seperti ribuan jarum panas menusuk dagingnya, tapi ia menolak menyerah.
“Aku… harus… berhasil!”
Lingkaran sebelas titik itu berputar semakin cepat, hingga membentuk pusaran energi yang memancar keluar, membuat getaran merambat ke seluruh gedung.
Di luar pintu, Elsha terus berteriak, memukul, dan mendorong pintu dengan bahunya. Tangannya mulai memar, tapi ia tak peduli.
“Asterion! Ibu mohon! Jawab Ibu!”
Langit malam di atas distrik barat tampak aneh—bintang-bintang seperti bergetar, seakan merespons energi yang sedang lahir di bumi.
Dan dari kejauhan, kilatan kuning mendekat, menembus udara seperti meteor terbalik.
Ryu, dengan mata yang membara, memfokuskan seluruh tenaganya.
Bertahanlah, Asterion… Ayah akan sampai sebelum semuanya terlambat.
Lingkaran sebelas titik itu berputar semakin cepat di alam bawah sadar Asterion. Semakin cepat… semakin rapat… hingga warnanya berubah menjadi putih menyilaukan.
Tubuhnya di dunia nyata kini penuh retakan bercahaya. Cahaya itu berdenyut, seolah setiap detiknya adalah detik terakhir sebelum segalanya pecah.
“Arrgggggghhhhhh!” raungnya, suara itu bercampur amarah, rasa sakit, dan tekad yang memekik menantang langit.
“Ayo! Hancurkan semua batasan ini… dasar sialan!!!”
Retakan tubuhnya makin melebar. Energi kosmik mengalir liar dari tubuh mungilnya, membakar udara di sekitarnya. Lingkaran itu tiba-tiba mulai menyusut—semakin kecil, semakin padat—sampai semua titik putih itu… menyatu.
Dan…
BOOOOMMMMM!!!
Ledakan kosmik meledak dari dalam kamar itu. Seluruh unit apartemen lantai atas terangkat seperti dihantam gelombang kejut. Dinding runtuh, kaca pecah, serpihan melesat ke udara seperti hujan pisau.
Elsha yang berada tepat di depan pintu terpental jauh ke koridor, tubuhnya menghantam dinding keras. Pandangannya berputar, napasnya tersengal.
“Aste—” suaranya tercekat, terputus oleh rasa sakit.
Di udara, Ryu sudah sangat dekat. Saat matanya menangkap kilatan ledakan itu, dunia seolah melambat.
“TIDAK!!!!” teriaknya, aura ungu membara dari tubuhnya, menyapu udara seperti badai. Tapi ledakan itu terlalu cepat, terlalu besar.
Alam bawah sadar…
Asterion membuka mata. Sunyi. Kosong. Gelap.
“Ah… apakah aku mati lagi?” gumamnya, suara itu penuh getir.
Ia melihat ke sekeliling. Tak ada cahaya, tak ada bintang, hanya kegelapan yang seakan menghisap segalanya.
“Sepertinya aku memang terbutakan oleh kekuatan… Hah, aku lupa… Aku bukan lagi naga semesta. Aku cuma… anak manusia biasa.”
Senyum tipis menghiasi wajahnya, tapi mata itu redup.
“Ternyata menerima takdir itu… tidak seburuk yang kupikirkan.”
Ia menutup matanya sejenak.
“Ayah, Ibu… maafkan aku. Aku mati konyol… hah… padahal yogurt masih enak… aku malah mati duluan.”
Namun tiba-tiba—sebuah cahaya putih menyilaukan matanya. Ia memicingkan mata, menoleh, dan terkejut.
Di tengah kegelapan itu, sebuah bintang… terbakar oleh api putih yang begitu murni, berdenyut seperti jantung alam semesta.
Asterion membeku.
“Ini… jangan bilang…”
Mata itu melebar, napasnya tercekat.
“Aku… berhasil.”
Dunia luar…
Asap hitam mengepul dari puing-puing yang dulunya adalah kamar Asterion. Bau debu dan logam terbakar memenuhi udara. Suara sirene mulai terdengar jauh di kejauhan.
Elsha, meski tubuhnya gemetar dan tulang rusuknya terasa perih, memaksa bangkit. Kakinya goyah, tapi ia berlari ke arah puing-puing.
Tangannya gemetar saat mulai menyingkirkan batu bata dan pecahan kayu.
“Aste… Asterion!” suaranya parau, penuh kecemasan yang menusuk hati.
Setiap detik tanpa jawaban terasa seperti menusuk jantungnya sendiri.
Air mata memburamkan pandangannya, tapi ia terus menggali, terus meraih serpihan demi serpihan.
Ryu akhirnya tiba, mendarat keras di puing, menciptakan retakan di bawah kakinya. Pandangannya langsung tertuju pada sosok Elsha yang tengah berjuang sendirian di antara puing-puing.
“Elsha!” panggilnya, tapi sang istri langsung menghampirinya dan memeluk erat tubuhnya.
Suara Elsha pecah, terisak di dadanya.
“Anak kita… yang lucu… Asterion… Asterion!”
Ryu merasakan detak jantungnya menghantam tulang rusuk. Amarah, rasa takut, dan keputusasaan bercampur jadi satu. Ia menggertakkan giginya, lalu tanpa berkata apa pun langsung melompat ke puing-puing.
“Nak… jawab ayah!” suaranya berat, menggelegar. “Asterion!!!”
Tangannya menyapu pecahan-pecahan besar seperti mainan. Batu, besi, kayu—semuanya ia singkirkan tanpa peduli serpihan itu melukai telapak tangannya.
Tak lama, suara langkah berat terdengar dari kejauhan. Puluhan Stellaris datang, armor mereka berkilat di bawah cahaya lampu darurat, senjata siap di tangan.
“Amankan perimeter!” teriak salah satu kapten.
Beberapa langsung mengelilingi lokasi, yang lain ikut membantu Ryu menggali puing.
Di tengah hiruk pikuk itu, Elsha berlutut, tangannya mencakar tanah dan debu.
“Asterion!!!” teriaknya sekali lagi, suara itu penuh keputusasaan yang membuat dada siapa pun yang mendengar ikut sesak.
Ryu tak menoleh. Rahangnya mengeras. Matanya menyala dengan aura kosmik yang tak biasa—ia sudah siap menghancurkan siapa pun yang ia temui jika terbukti menjadi penyebab ini.
Namun jauh di lubuk hatinya… ia hanya ingin mendengar satu suara kecil. Satu kata. Satu tanda bahwa anaknya masih hidup.