Vivian Shining seorang gadis dengan aura female lead yang sangat kuat: cantik, baik, pintar dan super positif. Dia tipe sunny girl yang mudah menyentuh hati semua orang yang melihatnya khusunya pria. Bahkan senyuman dan vibe positif nya mampu menyentuh hati sang bos, Nathanael Adrian CEO muda yang dingin dengan penampilan serta wajah yang melampaui aktor drama korea plus kaya raya. Tapi sayangnya Vivian gak sadar dengan perasaan Nathaniel karena Vivi lebih tertarik dengan Zeke Lewis seorang barista dan pemilik coffee shop yang tak jauh dari apartemen Vivi, mantan atlet rugbi dengan postur badan bak gladiator dan wajah yang menyamai dewa dewa yunani, juga suara dalam menggoda yang bisa bikin kaki Vivi lemas sekita saat memanggil namanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon whatdhupbaby, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 23 Konfrontasi Sang Pangeran Dan Kesatria
Vivian tertidur saat Zeke keluar untuk menghirup udara segar sesaat ketika dia melihat Nathanael muncul dari bayangan lorong, wajahnya keras dan dingin bagai patung marmer.
"Kita perlu bicara," ucap Nathanael, suaranya rendah namun tajam dan dingin.
Zeke tak terkejut. Dia malah tersenyum tipis. "Tentu. Tapi bukan di sini. Bukan di depan Vivian."
Nathanael mengangguk singkat. Kedua pria itu berjalan menuju taman kecil di belakang rumah sakit, diterangi cahaya bulan dan lampu taman yang temaram.
"Aku menyukai Vivian," Nathanael membuka pembicaraan, blak-blakan dan tanpa basa-basi. "Aku akan memperjuangkannya."
Zeke mendengarkan, senyumnya tidak pudar. "Silahkan. Aku tidak akan menghentikanmu."
Nathanael terkejut. "Apa?"
"Tapi," Zeke menatapnya tajam, senyumnya kini berubah menjadi peringatan. "Lakukan dengan baik. Jangan membuatnya tertekan dengan perasaanmu. Jangan sampai lagi aku melihatnya pingsan karena lelah dan stres."
Sebenarnya Zeke tidak tahu apa yang terjadi pada Vivian sebenarnya, dia hanya tahu diagnosis penyebab sakitnya Vivian setelah bertanya pada salah satu perawat.
Namun melihat Nathanael yang sekarang terdiam...
Nathanael terdiam oleh ucapan Zeke. Ego dan rasa bersalahnya berperang. "Aku... tidak bermaksud menyakitinya."
Spot On. Zeke hanya tersenyum pahit. Ternyata asumsinya yang sesaat tadi benar, pria ini yang membuat Vivian sakit.
"Itu yang penting," Zeke mengangguk. "Kau punya uang dan kuasa, tapi itu bukan segalanya untuk Vivian."
Nathanael memandang Zeke, matanya menyelidik. "Kau tidak takut? Bahwa aku bisa memberinya segalanya? Bahwa aku bisa membuatnya mencintaiku?"
Zeke terkekeh, suaranya penuh keyakinan dan matanya yang memandang Nathanael penuh kepercayaan diri. "Takut? Kenapa aku harus takut," ujarnya, langkahnya mendekati Nathanael. "Ketika setiap kali aku menyentuh Vivian, dadanya selalu berdetak kencang. Napasnya selalu tersengal. Dan matanya tidak pernah bisa berbohong."
Dia berhenti, senyumnya melebar. "Uangmu bisa membeli gaun mewah, Tuan Nathanael. Tapi tidak bisa membeli detak jantungnya."
Nathanael hanya bisa terdiam, terpaku oleh kepercayaan diri Zeke yang menyala-nyala.
"Sekarang jika tidak ada lagi," Zeke berbalik untuk pergi. "Aku harus kembali. Wanitaku mungkin sudah bangun dan mencari ku." Ucapnya dengan seringai licik dengan tekanan disengaja pada ucapan Wanitaku untuk memprovokasi Nathanael.
Dan Nathanael terpancing dengan kata "wanitaku" itu menggantung di udara, seperti tantangan terakhir.
Melihat punggung Zeke menjauh, Nathanael berdiri bagai patung di tengah taman. Angin malam berhembus, menerbangkan ujung jasnya, tapi tidak mampu mendinginkan api yang membara di dadanya.
"Wanitaku?"
Kata-kata itu menggelegar di kepalanya. Egonya yang rapuh akhirnya pecah.
"Baiklah, Zeke Lewis," gumamnya, matanya menyala dengan tekad baru. "Kau pikir kau mengenal Vivian lebih baik? Kau pikir kau yang tahu yang terbaik untuknya?"
Dia mengepalkan tangannya, merasakan getaran ambisi yang lama tidak dirasakannya.
"Aku akan mengejarnya. Bukan dengan uang atau kuasa. Tapi dengan caraku sendiri. Aku akan menunjukkan padanya sisi Nathanael yang bahkan tidak kukenal."
Dia memandang ke arah kamar Vivian di lantai atas, sebuah rencana mulai terbentuk di pikirannya.
" Tunggu, Vivian Sunny. Aku tidak akan menyerah untuk mu"
__________
Sambil berjalan menyusuri lorong rumah sakit kembali ke kamar Vivian, Zeke tersenyum kecil.
"Lelaki itu memang keras kepala, tapi dia mencintai mu, Vi. Aku bisa melihatnya di matanya."
Tapi senyumnya segera berubah menjadi ekspresi protektif.
"Tapi cinta saja tidak cukup. Tidak jika membuatnya sakit."
Tangannya membuka pintu kamar Vivian dengan lembut. Melihatnya masih terlelap, wajah Zeke melunak.
"Aku berjanji, Vi," bisiknya, duduk di samping tempat tidur dan menggenggam tangannya. "Aku akan menjagamu. Bahkan dari dirinya. Bahkan dari diri ku sendiri jika perlu."
Dia membelai punggung tangan Vivian dengan jempolnya, suaranya berubah menjadi dalam dan penuh keseriusan.
"Kau terlalu berharga untuk dijadikan medan perang ego. Aku tidak akan membiarkan siapapun melukaimu lagi, bahkan dengan alasan cinta."
Matanya berkilat dengan tekad yang tak tergoyahkan.
"Aku mungkin bukan siapa siapa, hanya barista dan bukan pemilik perusahaan besar, tapi aku tahu satu hal bahwa cinta sejati tidak memaksa. Dan aku akan menunggu sampai kau sadar sendiri... bahwa di sini," dia menempatkan tangan Vivian di dadanya, "selalu ada tempat untukmu."
_________
Zeke pulang kerumahnya sebentar untuk melihat keadaan Mocca, kucingnya dan mengisi ulang tempat makan otomatisnya. Setelah selesai mengurus kucingnya dia langsung berangkat lagi ke rumah sakit namun saat membuka pintu kamar dia menemukan Vivian sudah terbangun, duduk di tepi tempat tidur dengan wajah memelas dan kedua tangan menekan pelipisnya.
"Zeke..." panggilnya dengan suara lemah, bibirnya menggigit karena menahan malu dan tidak nyaman. "Aku mau ke toilet, udah gak bisa ditahan lagi..."
Matanya berkaca-kaca, campuran antara rasa sakit dan desperation. "Tapi... kepalaku berputar-putar. Aku gak bisa berdiri sendiri..."
Zeke langsung mendekat. "Tenang, aku bantu." Matanya scan sekeliling kamar. "Mungkin ada pispot di sini..."
"Gak mau!!" Vivian memotong, wajahnya memerah padam. "Aku gak mau pipis di pispot! Aku mau ke toilet yang bener!"
Zeke terkekeh. Meski dalam keadaan lemah, Vivian masih saja keras kepala. "Oke, oke. Toilet it is."
Dia mendekati Vivian, tanpa ragu menyelipkan satu lengan kuatnya di bawah lutut Vivian, dan lengan lainnya mendukung punggungnya. Dengan mudah, dia mengangkat Vivian seperti princess carry.
"Zeke! Aku...aku bisa jalan sendiri...kamu cuma perlu bantu aku berdiri." protes Vivian, tapi tangannya secara refleks merangkul di leher Zeke untuk keseimbangan.
"Diam saja," Zeke berjalan dengan pasti menuju toilet. "Kamu lagi sakit. Ini tugasku."
Vivian menyembunyikan wajahnya yang merah di bahu Zeke, malu tapi juga merasakan kehangatan yang membuat hatinya berdebar.
Zeke dengan hati-hati mendudukkan Vivian di atas toilet, tangannya masih melingkar erat di punggungnya untuk menopang.
"Aku bisa sendiri," ucap Vivian cepat, wajahnya merah padam dan dadanya berdebar-debar.
"Yakin?" tanya Zeke, dengan tubuh besarnya yang membuat toilet terasa sempit.
Vivian mengangguk cepat, matanya menghindari kontak.
"Oke," Zeke perlahan melepaskannya, memastikan Vivian benar-benar stabil. "Aku tunggu di luar. Kalau udah selesai, panggil aku."
Pintu tertutup. Zeke benar-benar menunggu di depan pintu, bersandar di dinding dengan tangan di saku, siap setiap saat Vivian memanggil.
Beberapa menit kemudian, suara kecil memanggil namanya. Zeke langsung masuk, tanpa ragu mengangkat Vivian lagi ke dalam pelukannya.
"Masih pusing?" tanyanya saat mendudukkan Vivian kembali di kasur.
"Sedikit," jawab Vivian, suaranya kecil. "Tapi aku gak mau di rumah sakit. Kapan aku bisa pulang?" Nadanya seperti anak kecil yang merajuk.
Zeke duduk di tepi kasur, menghadapnya. "Vi, kamu di sini biar cepat sembuh."
"Tapi aku gak suka," bantah Vivian, alisnya berkerut. "Aku rasa sakitku justru bertambah parah kalau menginap di sini terus."
Zeke menghela napas. "Tapi di sini ada perawat dan dokter yang akan jaga kamu. Di apartemen kamu tinggal sendiri. Gimana kalau ada apa-apa..."
Vivian meremas-remas ujung baju pasiennya, tidak menyerah tapi malu. "A... ada... kamu," bisiknya, matanya menatap Zeke penuh harap. "Aku bisa... panggil kamu... kalau butuh bantuan..."
Udara mendadak hening.
Zeke tertegun, matahari pagi yang masuk dari jendela menyoroti wajah Vivian yang polos dan rapuh. Permintaannya begitu tulus, begitu bergantung padanya.
Dia tersenyum, senyum lembut yang jarang ia tunjukkan. "Oke. Tapi dengan satu syarat, kamu harus benar-benar istirahat. Gak boleh buka laptop, gak boleh mikirin kerjaan."
Vivian mengangguk antusias, wajahnya langsung cerah. "Janji!"
"Aku antar kamu pulang nanti sore," kata Zeke sambil meluruskan selimutnya. "Sekarang tidur dulu. Aku bakal di sini."
Vivian memandangnya sebentar, lalu menutup mata dengan patuh. Untuk pertama kalinya sejak masuk RS, dia merasa tenang.
________