NovelToon NovelToon
Rumah Hantu Batavia

Rumah Hantu Batavia

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Action / Misteri
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: J Star

Dion hanya ingin menuntaskan misinya di Rumah Hantu Batavia, tapi malam pertamanya di penginapan tua itu berubah menjadi teror yang nyata. Keranda tua terparkir di depan pintu, suara langkah basah menggema di lorong, keran bocor, pintu bergetar, dan bayangan aneh mengintai dari balik celah.

Saat ponselnya akhirnya tersambung, suara pemilik penginapan tidak kunjung menjawab, hanya dengkuran berat dan derit pintu yang menyeret ketakutan lebih dalam. Sebuah pesan misterius muncul, “Hantu-hantu yang terbangun oleh panggilan tengah malam, mereka telah menemukanmu.”

Kini Dion hanya bisa bersembunyi, menggenggam golok dan menahan napas, sementara langkah-langkah menyeramkan mendekat dan suara berat itu memanggil namanya.

”Dion...”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J Star, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Boneka Duduk Berdampingan

Leon terdampar seorang diri di lantai dua, mata dan telinganya waspada, mencermati setiap sudut sekitarnya. Ia menempatkan diri di pojok yang memungkinkan pandangan jelas ke arah tangga, sehingga dari arah mana pun pembunuh itu datang, memiliki kesempatan untuk segera melarikan diri.

Lampu-lampu dalam skenario tampak semakin redup, sementara musik menyeramkan seolah-olah mempermainkan jantung dan pikirannya. Leon mencubit lengan sendiri agar tetap fokus, lalu menarik napas panjang. Sebagai mahasiswa kedokteran, ia tahu rasa sakit kecil dan asupan oksigen adalah cara paling efektif untuk menenangkan diri dalam keadaan panik.

Pikirannya kembali mengulas kejadian sebelumnya, ’Waktu kemunculan monster itu terlalu aneh. Ia muncul tepat setelah Rian menyebut adanya sosok kedelapan yang tersembunyi di antara mereka, itu terlalu kebetulan. Ketika Rian menyampaikan penemuan itu, semua orang kehilangan kendali. Seandainya Zeno sempat menggunakan ponselnya untuk memeriksa kelompok dengan saksama, orang kedelapan itu pasti sudah terungkap, dan itulah kesalahan pertama. Saat monster menyerbu, kepanikan membuat kita berhamburan seperti kawanan ayam tanpa kepala. Padahal, seandainya tetap bertahan di tempat, keadaan mungkin akan berbeda, dan itulah kesalahan kedua.’

Leon menghela napas berat, ’Ya, monster yang menyerbu itu menakutkan, tetapi seharusnya tidak cukup untuk membuat semua orang kabur sekencang itu. Ketika orang pertama melarikan diri, kepanikan menular ke seluruh kelompok. Jika analisaku benar, maka pelari pertama itulah orang kedelapan. Barusan aku juga mendengar jeritan Lingga, dialah orang kedua yang lari, dan kebetulan berada paling dekat dengan pria misterius itu. Jadi, hal ini memperkuat dugaanku.’

Leon tersenyum getir, menebak dengan tepat dan menaklukkan rasa takut ternyata dua hal yang berbeda. Walau logikanya berjalan, tubuhnya tetap diliputi rasa dingin yang merayap dari ujung kaki hingga tengkuk. ’Monster dan sosok kedelapan itu jelas bekerja sama, menekan psikis agar ketakutan tumbuh, lalu memecah kelompok, dan pada akhirnya menjatuhkan kita satu per satu. Apakah pemilik rumah hantu benar-benar perlu mengandalkan permainan psikologis kejam seperti ini hanya demi menakuti seseorang?’

Meski dikenal cerdas, Leon sebenarnya sama penakutnya dengan Julian. Di kampus, ia tidak berani masuk ruang mayat sendirian. Ia sadar harus segera menyampaikan analisa ini kepada Zeno dan yang lain sebelum terlambat.

Dengan tangan gemetar, ia mengeluarkan ponselnya. Namun saat hendak menekan nomor Zeno, matanya menangkap sesuatu yang memantul di layar ponsel. Sosok kecil itu membuat tubuhnya gemetar hebat, sebuah boneka kain lusuh tengah duduk di anak tangga.

’Bagaimana bisa? Bukankah boneka itu kutinggalkan di lantai tiga sebelumnya?’

Leon menahan napas, tidak berani menyalakan senter, takut cahayanya justru mengundang monster. Ia memutar layar ponsel menghadap dinding, dan benar saja, boneka itu masih ada di sana, compang-camping, tergeletak begitu saja.

’Mungkinkah seseorang tidak sengaja menendangnya ke bawah tangga saat keributan tadi?’ Hanya itu penjelasan yang masuk akal, sebab boneka itu terbuat dari kain, diisi potongan kertas, tanpa mekanisme apa pun. Tidak mungkin dikendalikan dari jarak jauh, tapi pemandangan itu tetap menakutkan.

Secara objektif, boneka itu tidak lebih dari kain usang, tapi ketika menatapnya lama-lama, Leon merasa seakan benda itu hidup. Lebih mengerikan lagi, dalam bayangannya, wajah seorang gadis muda yang penuh permohonan tiba-tiba tercermin melalui mata boneka itu.

’Aku pasti berhalusinasi. Jika ingin menjaga kewarasan, aku harus segera keluar dari Rumah Hantu ini.’

Leon memberanikan diri menekan nomor Zeno, suara dering bergema dari lantai tiga.

’Ia masih di atas? Atau ponselnya terjatuh seperti Rian?’ Suara dering yang bergema justru membuat suasana Rumah Hantu semakin mencekam. Leon tidak memutuskan sambungan, hanya menyelipkan ponsel ke saku, lalu perlahan menaiki tangga menuju lantai tiga.

Berjongkok di anak tangga terakhir, ia mengintip ke sepanjang koridor. Seperti dugaan, ponsel Zeno dibiarkan tergeletak, terus berdering di lantai dingin.

’Baik Zeno maupun Rian meninggalkan ponsel mereka, aku harus mencoba menghubungi yang lain.’

Berdiri sendirian di tangga lantai tiga, Leon merasakan lemas. Pintu-pintu kamar di sepanjang koridor terbuka dan tertutup oleh hembusan angin, menambah kesan menyeramkan. Ia dengan cepat menggulir daftar kontak di ponselnya untuk mencari nomor lain.

Tiba-tiba ponselnya bergetar, sebuah panggilan masuk.

’Sial! Apa lagi sekarang?’

Nama yang tertera membuatnya tertegun, ’Lingga? Mengapa ia yang menelepon? Apakah ia juga terdampar sendirian sepertiku?’

Meski hatinya diliputi waswas, Leon menegakkan tubuhnya, mencoba memupuk keberanian. Ia mengangkat panggilan itu dengan suara yang dibuat tenang, “Lingga, apa kamu terpisah dari yang lain? Kamu di mana sekarang? Aku akan datang menjemputmu.”

Lingga terdengar panik di ujung sambungan, suaranya bergetar. “Aku terjebak di dalam sebuah kamar di lantai tiga. Aku tidak tahu nomor kamarnya, tapi tolong segera jemput aku. Rumah Hantu ini benar-benar aneh!”

Lingga biasanya adalah seorang gadis yang pendiam dan tertutup. Jika sampai ia berbicara dengan nada yang begitu drastis dan terburu-buru, pasti ada sesuatu yang traumatis telah menimpanya, dan suaranya terdengar seolah berada di ambang tangis.

“Pelan-pelan, ceritakan bagaimana kamu bisa terjebak? Tidak ada kamar yang memiliki kunci,” jelas Leon sambil bergegas menyusuri koridor, mencoba menelusuri arah suara Lingga.

“Aku juga tidak tahu, setelah berlari dan bersembunyi di dalam kamar ini, pintunya tidak bisa dibuka lagi! Dan kamar ini berbeda dari yang lain… ada dua boneka duduk berdampingan tepat di tengah ruangan!”

“Duduk?” Leon bergidik. Penyebutan boneka saja sudah cukup membuat bulu kuduknya berdiri. Ia merasa, jika seumur hidupnya tidak perlu melihat boneka lagi, itu sudah lebih dari cukup.

“Tolong datang cepat dan jemput aku!” suara Lingga meninggi, nadanya melengking. Dari intonasinya, kewarasannya mulai terkikis oleh ketakutan.

“Aku akan sampai di sana sebentar lagi! Untuk sementara, jauhi boneka-boneka itu sebisa mungkin. Ingat apa yang dikatakan Julian sebelumnya, jangan sentuh apa pun di dalam kamar. Aku curiga boneka-boneka itu...”

Kalimat Leon terputus, berhenti mendadak karena menyadari sesuatu. Hanya setengah meter di depannya, sebuah boneka kain tergeletak di lantai, seolah menghalangi jalannya.

Ia menahan dorongan untuk berteriak atau melemparkan ponselnya ke arah boneka itu. Dengan langkah hati-hati, ia mendekat ke arahnya.

Boneka itu memiliki rambut panjang, dengan ekspresi wajah samar yang memancarkan rasa bersalah sekaligus penebusan. Berbeda dengan boneka yang ia lihat sebelumnya di tangga, boneka ini tampak lebih dewasa. Leon tercengang, ’Apa-apaan... bagaimana mungkin aku bisa membaca begitu banyak emosi dari sekadar sebuah boneka? Apakah ini hanya ilusi karena ketakutan? Atau boneka-boneka ini memang terlalu realistis? Entah mengapa, aku merasa seakan-akan mereka memiliki perasaan layaknya manusia.’

’Bagaimanapun juga, sekarang bukan waktunya untuk memikirkan itu. Selama boneka di depanku bukan yang kulihat di tangga, maka semuanya akan baik-baik saja. Setidaknya ini membuktikan bahwa boneka-boneka itu tidak tahu cara bergerak sendiri, dan keadaannya tidak seburuk yang kubayangkan. Fokus, misi yang paling penting sekarang adalah menyelamatkan Lingga.’

Leon menggelengkan kepalanya keras-keras, berusaha menenangkan diri. Ia meyakinkan dirinya, ’Aku hanya menakuti diriku sendiri. Jika boneka dari tangga benar-benar mengikutiku, seharusnya ia berada di belakangku, bukan di depanku. Ini semua hanyalah trik dari sang pemilik rumah hantu, tidak ada yang perlu ditakuti.’

Untuk menguatkan keyakinan itu, Leon menoleh ke belakang. ’Lihat? Tidak ada apa-ap...’

Ucapannya mendadak terhenti, pandangannya tertuju pada lantai, sekitar satu meter di belakangnya. Di sana, sebuah boneka kain tergeletak begitu saja dengan tenang.

1
Gita
Membuat penasaran dan menegangkan.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!