Bayangmu di Hari Pertama
Cinta yang tak lenyap meski waktu dan alam memisahkan.
Wina Agustina tak pernah mengira hari pertama OSPEK di Universitas Wira Dharma akan mengubah hidupnya. Ia bertemu Aleandro Reza Fatur—sosok senior misterius yang ternyata sudah dinyatakan meninggal dunia tiga bulan sebelumnya. Hanya Wina yang bisa melihatnya. Hanya Wina yang bisa menyentuh lukanya.
Dari kampus berhantu hingga lorong hukum Paris, cinta mereka bertahan menantang logika. Namun saat masa lalu kembali dalam wajah baru, Wina harus memilih: mempercayai hatinya, atau menerima kenyataan bahwa cinta sejatinya mungkin sudah lama tiada…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarifah31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 – Kepada Seseorang yang Percaya & Rumah yang Terlalu Besar untuk Kenangan
Wina duduk di ranjangnya malam itu, hanya ditemani lampu meja kecil yang temaram. Layar ponselnya menyala, jempolnya berkali-kali menghapus dan mengetik ulang pesan yang hendak ia kirim.
Sudah berhari-hari perasaan ini mengendap.
Sudah cukup banyak keanehan yang ia temui, cukup banyak kesamaan, cukup banyak getaran yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Dan hari ini—melihat tulisan tangan itu—segalanya seperti terkunci menjadi satu kepingan utuh.
Wina menghela napas panjang, lalu akhirnya mengetik pesan panjang di aplikasi chat:
📲📲📲
Wina
🕐 22.43
> Nay, kamu masih bangun?
Aku nggak tahu harus cerita ke siapa lagi soal ini, tapi aku yakin kamu masih ingat Ale…
Aku rasa… aku ketemu dia lagi.
Wina
🕐 22.45
> Tapi dia bukan Ale. Maksudku, semua orang memanggil dia dengan nama Fatur.
Dia anak dari pemilik firma tempat aku kerja.
Dia mentor kami, dan dia mirip banget sama Ale—matanya, cara dia jalan, bahkan bekas luka di pelipisnya.
Dan tadi… aku lihat tulisannya. Sama persis dengan tulisan tangan Ale di jurnal ospekku dulu.
Nay, aku… gemetar.
🥱🥱
Belum sampai satu menit, centang dua berubah biru. Nayla langsung membalas.
🌸🌸
Nayla 🍜🇰🇷
🕐 22.46
> WINA AGUSTINA, YOU’RE NOT DREAMING?!
Astaga… kamu serius?
Ale? Yang itu? Yang suka muncul tiba-tiba pas kita lagi OSPEK dan nggak dilihat siapa pun?
🌸🌸
Wina senyum miris membaca respon Nayla yang seperti biasa: dramatis, cepat, dan tanpa aba-aba.
🌸🌸
Wina
🕐 22.48
> Iya, Nay. Aku serius.
Tapi dia nggak ingat apa-apa. Dia hidup sebagai Fatur.
Orang-orang juga kenalnya sebagai anak dari Bapak Fathur Rahman Ar-Rasyid. Bahkan… Abi kenal banget sama ayahnya.
Gimana kalau selama ini dia nggak pernah tiada?
🌸🌸
Nayla 🍜🇰🇷
🕐 22.49
> Win… kalau dia masih hidup, kamu harus tahu kenapa dia bisa jadi orang lain.
Kadang trauma bisa menghapus masa lalu seseorang. Tapi hati… nggak bisa bohong.
Kamu masih sayang dia, kan?
🌸🌸
Wina menatap lama layar ponselnya. Matanya berkaca-kaca.
> "Masih."
> Bahkan mungkin lebih dari sebelumnya.
🌸🌸
Wina
🕐 22.50
> Aku mau bantu dia ingat, Nay.
Tapi aku takut kalau aku kehilangan dia lagi…
🌸🌸
Nayla 🍜🇰🇷
🕐 22.51
> Dengar, sahabatku yang paling stubborn…
Kalau dia benar-benar Ale, dan dia juga merasa hal yang sama saat melihat kamu,
maka suatu saat… meski pelan, dia akan ingat.
Kamu cuma perlu sabar. Dan… tetap tinggal di sisinya.
Wina memeluk ponselnya, seakan pelukan itu bisa menyambungkan dirinya dengan Nayla yang ribuan kilometer jauhnya.
Lalu ia berbisik sendiri dalam gelap:
> “Aku akan tetap tinggal, Le.
Bahkan kalau kamu tak ingat aku...
Aku akan terus jadi alasan kamu kembali.”
Memperlihatkan keterikatan emosional lintas jarak antara Wina dan Nayla, juga bagaimana dukungan sahabat sejati bisa memberi kekuatan saat dunia mulai terasa asing dan penuh pertanyaan.
***
Langit malam menggelap perlahan, menyisakan semburat biru tua di balik jendela besar kamar di lantai dua.
Dari luar, rumah keluarga Ar-Rasyid tampak megah, nyaris seperti galeri seni atau vila kuno yang ditinggikan dengan pilar-pilar dan marmer putih. Tapi bagi Fatur, malam ini... rumah itu terasa asing.
Ia berdiri diam di tengah ruang keluarga yang hening, memandangi tangga kayu yang menjulang ke lantai atas. Langkah kakinya lambat, ragu-ragu, seolah ia masuk ke dalam rumah orang lain—bukan rumah tempat ia tinggal selama bertahun-tahun.
Sebuah suara lirih dari dalam dirinya bergumam:
> "Benarkah aku lahir dan dibesarkan di sini?"
Ia menyentuh ukiran di pegangan tangga, meraba permukaan dingin itu seperti mencari petunjuk dari masa silam yang entah menguap ke mana.
Sesampainya di lantai dua, ia membuka pintu kamarnya perlahan.
Cahaya kuning hangat menyambutnya. Kamarnya rapi, bersih, luas. Terlalu luas, bahkan. Dipenuhi perabot mewah: rak buku tinggi, lemari built-in, tempat tidur empuk dengan selimut abu-abu.
Tapi…
Tak ada satu pun foto.
Tidak di meja. Tidak di dinding. Tidak di rak.
Tidak ada foto masa kecilnya. Tidak ada potret remaja SMA, tidak juga foto keluarga.
Fatur berdiri terpaku di ambang pintu.
Napasnya terasa berat.
Ia masuk perlahan, lalu duduk di kursi dekat jendela besar. Lampu kota terlihat kelap-kelip dari kejauhan. Tapi tak satu pun cahaya itu bisa menerangi lubang kosong di pikirannya.
Tangannya menyentuh kaca jendela, dingin dan berembun.
Ia bertanya dalam hati:
> Siapa aku sebenarnya?
Kenapa aku tidak ingat pernah berlari di halaman ini?
Kenapa tidak ada kenangan yang terasa akrab dengan ruangan ini?
Ia menoleh ke sekeliling, memperhatikan detail kamarnya. Bahkan...
bau bantalnya pun terasa tidak familiar.
Seolah ada bagian dari dirinya yang tertinggal... entah di mana.
Di sudut rak buku, ia menemukan satu kotak kecil berdebu. Ia membukanya. Isinya hanya sebuah kalung dengan liontin kecil berbentuk bulu angsa, dan secarik kertas kuning lusuh:
> "Untuk Fatur, agar kau terbang setinggi yang kau mau."
— Ummah
Fatur menggenggam liontin itu erat.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, air mata menetes di sudut matanya—bukan karena kehilangan yang ia tahu, tapi karena rasa kehilangan yang tak bisa ia jelaskan.
Ia menatap bayangannya sendiri di kaca jendela.
Tapi yang ia lihat bukanlah dirinya.
> Seolah wajah itu... milik orang lain.
Membawa kita lebih dalam ke konflik batin Ale yang hidup sebagai Fatur.
Rasa keterasingan, keraguan terhadap identitas, dan kehampaan di tempat yang seharusnya menjadi rumah, semua membentuk ketegangan batin yang pelan-pelan mengantar kita ke momen pencerahan berikutnya.
ku harap kamu milih aku sih
wina akhirnya pujaan hatimu masih hidup