Hutang pinjol 120 juta menjerat Juwita, padahal ia tak pernah meminjam. Demi selamat dari debt collector, ia nekat jadi pengasuh bayi. Tapi ternyata “bayi” itu hanyalah boneka, dan majikannya pria tampan penuh misteri.
Sebuah kisah absurd yang mengguncang antara tawa, tangis, dan cinta inilah perjalanan seorang gadis yang terpaksa berperan sebagai janda sebelum sempat menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MahaSilsi24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesedihan Zergan
Juwita berdiri memandangi Zergan yang terbaring lemah di atas ranjang. Marlina dan Herman ikut masuk ke kamar, sementara Princess ada di kamar sebelah.
Sebelumnya, Juwita sempat menelpon Marlina dan meminta sopir pribadi mereka untuk menjemput. Untung jarak rumah Marlina tidak jauh, hanya di kompleks depan, sehingga penjemputan itu berlangsung cepat.
"Wit, sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Marlina dengan wajah cemas melihat kondisi putranya.
"Mami, Juwita minta maaf," ucap Juwita sambil menunduk. Suaranya bergetar, matanya berkaca-kaca. "Tadi Tuan sangat bahagia, tapi tiba-tiba ada segerombolan anak-anak yang melihat Princess, mereka bilang Princess itu boneka."
Tangis Juwita pecah, ia merasa bersalah.
"Itulah yang Mami takutkan," Marlina menarik napas berat. "Zergan terlalu ambisi dengan Princess. Mami menyesal sudah membeli boneka itu. Tapi tanpa boneka itu, Zergan bahkan tidak bisa apa-apa."
"Mi, kata dokter gimana? Apa Tuan Zergan bisa sembuh?" tanya Juwita dengan hati-hati.
Marlina terdiam sejenak, lalu menatap Juwita dalam-dalam. "Semuanya tergantung keikhlasan Zergan, Wit. Sayangnya dia masih menolak kenyataan."
Juwita ikut terdiam. Siapa pun akan hancur bila berada di posisi Zergan ditinggalkan istri yang berselingkuh, mengalami kecelakaan ketika mengejarnya, lalu kehilangan anak tercinta.
"Wit, Mami bersyukur kamu ada di sini," ucap Marlina, menggenggam tangan Juwita. "Sejak kamu hadir, Zergan bisa tersenyum lagi. Ada tawa, ada semangat. Mami benar-benar berharap padamu. Tolong bantu Zergan sembuh, ya."
Juwita mengangguk, meski hatinya bergetar.
Tak lama kemudian Marlina dan Herman meninggalkan kamar, menyisakan Juwita dan Zergan berdua. Juwita kebingungan. Ia akhirnya membuka ponsel dan mencari di internet cara menyembuhkan trauma. Namun, jawaban yang ia temukan tidak memuaskan.
Duduk di sofa, Juwita terus menggulir layar, tidak sadar bahwa Zergan sudah terbangun dan sedang memperhatikannya dari ranjang.
"Apa ya obatnya?" gumam Juwita sambil fokus pada ponsel.
Zergan menatap gadis itu. Dress biru muda yang ia kenakan membuat sosoknya semakin mencolok di ruangan yang remang. Ia terus mengamati, seakan lupa dengan rasa pusing di kepalanya.
Juwita berhenti di sebuah artikel dan membacanya serius. Di sana tertulis: ‘Penyakit itu berasal dari pikiran. Dan yang mampu menyembuhkannya adalah cinta.’
Matanya berbinar. Ia tersenyum kecil, merasa menemukan kunci. "Aku tahu sekarang… tugas aku adalah itu," gumamnya penuh semangat.
"Tenang saja, Tuan. Kau akan ..." ucapnya sambil menoleh. Namun kalimat itu terhenti ketika ia mendapati Zergan sudah duduk tegak di ranjang.
"Astaga, Tuan! Hampir copot jantungku," seru Juwita, terlonjak kaget.
Zergan hanya diam. Rasa sakit di kepalanya masih ada, tapi ia memilih menahannya. Saat ini, ia lebih tertarik memperhatikan Juwita yang begitu hidup.
"Tuan, saya minta maaf ya," ucap Juwita pelan, mendekat lalu duduk di tepi kasur.
Zergan menatapnya lama, seakan menimbang. "Apa aku sudah gila?"
Pertanyaan itu membuat Juwita tertegun. Ia menelan ludah, berusaha mencari jawaban. "Ehm … tidak kok."
Zergan menyeringai tipis. "Kau anggap Princess itu bayi sungguhan atau boneka?"
Pertanyaan itu membuat darah Juwita seperti berhenti mengalir. Ia bingung apakah Zergan sadar Princess hanyalah boneka, atau ia masih yakin itu anaknya?
"Jawab aku!" Zergan meninggikan suara.
Juwita tersentak, namun mencoba tetap tenang. Ia menarik napas dalam. Tenang, Wit. Ingat penyakit berawal dari pikiran.
"Tuan," ucapnya lembut, "sejak pertama kali saya melihat Princess, saya tahu dia boneka. Tapi karena Tuan meminta saya merawatnya, maka saya akan tetap merawatnya dengan baik."
Zergan terdiam, mendengarkan dengan saksama. Juwita sendiri setengah takut, setengah berani. Ia memberanikan diri naik ke atas kasur, duduk bersila menghadap Zergan, lalu menggenggam kedua tangannya. Jemarinya gemetar, tapi ia tidak melepaskan.
"Tuan," bisiknya, "kau sudah bertahan dengan luar biasa. Saya tahu kisahmu dari Mami. Kau kehilangan banyak hal tapi kau tetap berdiri. Itu hebat sekali."
Zergan menatapnya tajam. "Apa maksudmu?"
"Sederhana," Juwita tersenyum samar walau gugup. "Kalau ada yang bilang Tuan gila karena menganggap boneka itu anak, maka saya juga gila, karena saya ikut merawatnya seperti anak sungguhan. Tapi dari kegilaan itu, saya melihat, Tuan masih bisa melanjutkan hidup. Kau memilih bertahan dengan caramu sendiri. Dan sekarang… ada saya di sini."
Kata-kata itu membuat Zergan tersenyum tipis.
"Tuan," lanjut Juwita, "aku pernah berjanji untuk membuatmu bahagia. Jadi biarkan aku melakukannya."
Alis Zergan terangkat mendengar itu.
"Besok kan hari Minggu, ayo ajak saya ke makam Princess," ucap Juwita mantap.
Seketika Zergan menegang. Tangannya justru menggenggam tangan Juwita lebih erat.
"Tuan," lirih Juwita, "ayo kita hadapi bersama-sama."
"Aku … aku tidak pernah ke sana," ucap Zergan pelan. Suaranya bergetar menahan tangis.
Juwita mengangguk pelan. Ia sudah tahu dari cerita Marlina.
"Princess … malaikat kecilmu pasti merindukan ayahnya," ucap Juwita lembut.
Tahanannya runtuh. Air mata Zergan mengalir deras. Ia segera melepaskan genggaman tangan Juwita, menoleh ke arah lain, berusaha menyembunyikan wajahnya. Namun Juwita tak membiarkannya sendiri.
Ia mendekat, memeluk Zergan erat.
Hangat. Damai. Zergan menangis tersedu-sedu di pelukan itu, sementara Juwita mengelus punggungnya penuh kesabaran, tanpa berkata apa-apa lagi.
Hanya diam. Hanya ketulusan.
Dan hanya keheningan yang dipenuhi air mata.
Cukup lama Juwita menenangkan Zergan sampai akhirnya tangisan pria itu mulai mereda. Helaan napas panjang terdengar, lalu perlahan Zergan menghapus sisa air matanya dengan punggung tangan. Juwita pun ikut merasa tenang, melihat wajahnya yang sedikit lebih lapang.
“Tuan,” panggil Juwita lembut, kini ia berdiri di samping tempat tidur.
“Ya?” sahut Zergan pelan, suaranya masih serak.
“Tuan masih kuat berdiri, atau … mau saya ambilkan Princess? Eh boneka Princess maksudnya?” tanyanya hati-hati, nyaris seperti takut salah bicara.
Zergan mengernyit. “Maksudmu?”
“Ehm, tunggu sebentar ya. Jangan dikunci pintunya, kalau dikunci nanti saya dobrak loh.” Juwita berkata dengan penuh gaya, tangannya menunjuk-nunjuk dramatis sebelum ia berjalan ke arah pintu.
Zergan hanya bisa menggeleng bingung. Tapi, tanpa bisa dicegah, sudut bibirnya terangkat melihat tingkah gadis itu yang kadang serius, kadang kocak sendiri.
Tak sampai semenit, pintu terbuka kembali. Juwita masuk dengan langkah kecil yang agak terburu, memeluk boneka Princess di dadanya.
“Duh, Tuan … kamar ini gelap banget. Gimana mau lihat Princess dengan jelas. Nih, saya bawa bonekanya,” katanya sambil celingukan mencari saklar lampu.
Zergan menepuk tangannya sekali. Klik! Lampu kamar langsung menyala terang.
“Widiiih, keren ya,” seru Juwita kagum, matanya membesar. Baru setelah itu ia menoleh ke arah Zergan, melihat wajah pria itu dengan jelas wajah yang masih sembab habis menangis.
Ia mendesah kecil, lalu buru-buru berjalan ke meja di depan sofa, mengambil selembar tisu. “Nih, Tuan, lap dulu ingusnya,” katanya sambil menyodorkan tisu itu.
Zergan langsung menegang, wajahnya memerah malu. Juwita justru menutup mulutnya menahan tawa, teringat bagaimana kemarin Zergan menggoda soal ingusnya sendiri.
Dengan enggan, Zergan menurut. Ia mengambil tisu itu dan membersihkan wajahnya. Juwita tak menahan diri lagi, ia terkekeh pelan sambil naik ke kasur dan menyerahkan boneka Princess ke pelukan Zergan.
“Mulai sekarang, Tuan harus menentukan,” kata Juwita serius, matanya menatap pria itu penuh harap. “Tuan masih ingin menganggap boneka Princess ini sebagai anak Tuan, atau … Tuan berani menerima kenyataan kalau anak Tuan yang nyata sudah tiada?”
Kata-kata itu membuat kamar hening. Zergan menunduk, menatap boneka itu lama. Tangannya menyentuh pipi boneka, meraba lembut seakan takut merusaknya. Air matanya hampir jatuh lagi, tapi ia tahan.
“Besok …” ucapnya lirih, “besok kita ke makam anakku.”
Juwita spontan menahan napas. Lalu senyumnya merekah. Ada rasa lega luar biasa. Itu artinya Zergan mau melangkah maju.
“Kenapa kau senyum?” tanya Zergan, matanya menyorot heran.
“Eh, nggak Tuan … saya cuma … senang aja,” jawab Juwita malu-malu, wajahnya memerah. “Senang karena Tuan akhirnya bisa menerima kenyataan.”
Zergan menatapnya lekat, lalu menyunggingkan senyum tipis. “Ya, kau juga harus menerima kenyataan.”
“K-kenyataan apa?” Juwita mengerutkan kening, jelas bingung.
“Artinya, kau tidak perlu lagi mengasuh boneka ini.” Zergan menatap Princess sekali lagi, lalu memandang Juwita. “Artinya … kau juga tidak perlu lagi bekerja denganku.”
Juwita tercekat. Seketika jantungnya seperti ditusuk. Kata-kata itu membuatnya ingat tanpa boneka itu, berarti tugasnya selesai. Kalau sudah selesai … hutangnya? Apa ia harus pergi dari rumah ini? Tapi, ia berhutang dengan Zergan.
Ia menunduk, matanya memanas, bingung harus bereaksi seperti apa.
Bersambung