Membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk pengobatan orang yang sangat ia sayangi, membuat seorang Fiorella harus merelakan sebagian kebebasan dalam kehidupannya.
"Pekerjaannya hanya menjadi pengasuh serta menyiapkan semua kebutuhan dari anaknya nyonya ditempat itu, kamu tenang saja. Gajinya sangat cukup untuk kehidupan kamu."
"Pengasuh? Apakah bisa, dengan pendidikan yang aku miliki ini dapat bekerja disana bi?."
"Mereka tidak mempermasalahkan latar belakang pendidikan Dio, yang mereka lihat adalah kenerja nyata kita."
Akhirnya, Fio menyetujui ajakan dari bibi nya bekerja. Awalnya, Dio mengira jika yang akan ia asuh adalah anak-anak usia balita ataupun pra sekolah. Namun ternyata, kenyataan pahit yang harus Fio terima.
Seorang pria dewasa, dalam keadaan lumpuh sebagian dari tubuhnya dan memiliki sikap yang begitu tempramental bahkan terkesan arogan. Membuat Fio harus mendapatkan berbagai hinaan serta serangan fisik dari orang yang ia asuh.
Akankah Fio bertahan dengan pekerjaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Era Pratiwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCC. 27.
"Mulai besok, kamu menginap disini." Ujar Elio yang sudah rapi dengan pakaiannya.
"Apa? Kan, dalam perjanjian tidak ada seperti itu tuan." Fio tidak terima dengan aturan baru yang Elio berikan.
"Apa aku menerima penolakan? Sudah cepat, perutku sudah keroncongan." Elio menyudahi pembicaraannya.
"Tapi tuan, anda tidak bisa seperti itu." Fio menyusul Elio yang sudah menuju pintu.
Dengan beberapa barang bawaan yang diperintahkan padanya, Fio sedikit merasa kesusahan membawanya dan mengejar Elio.
"Diamlah, kamu mengomel sejak datang. Cepatlah, sarapan dan berangkat. Jangan dibiasakan jika mahasiswa penelitian terlambat, aku tidak akan memberikan keringan pada orang yang tidak disiplin." Elio memilih menjalankan sendiri kursi rodanya.
Bibir Fio mengerucut, ia membiarkan Elio pergi. Namun tatapan dari kedua matanya, masih tidak menyangka jika pria itu bisa membuat peraturan baru dalam hidupnya. Apalagi jika dirinya tidak bisa menolak hal tersebut, dan kali ini. Entah apa yang sedang direncakan oleh pria itu, Fio hanya bisa berjalan pelan menyusul tuannya.
"Sayang, kamu mau kemana pagi-pagi sudah rapi begini?" Angelina merasa kaget, ketika putranya berpenampilan rapi.
"Kantor." Jawab Elio singkat.
"Kantor? Kamu beneran mau kekantor, nak? Apa mama tidak salah lihat dan mendengarnya?" Angelina menghampiri Elio dengan perasaan yang bahagia.
"Hmm." Hanya gumaman yang terdengar.
Disusul dengan kehadiran Fio disana, lalu Angelina beralih pada Fio.
"Di, ini beneran? Elio mau ke kantor?" Pertanyaan begitu antusias.
"Iya, nyonya. Tuan tiba-tiba memutuskannya untuk kembali ke kantor." Fio juga hanya bisa menjawab atas apa yang ia tahu.
"Beneran Fi? Anakku tidak sedang mengigau kan?" Angelina berbisik.
Akan tetapi, hal tersebut diketahui bahkan didengar oleh telinga Elio.
"Mama, ayolah. Aku bukan anak kecil yang selalu melaporkan semua kegiatanku pada mama, dan kamu. Cepat sarapan, Max sudah menunggu di luar." Elio langsung menikmati sarapannya daripada menjelaskan pada mamanya.
"Iya, baik tuan." Fio menunduk dan permisi pada Angelina untuk segera melakukan perintah Elio.
Keduanya menikmati sarapannya, Fio juga dengan cepat dan sedikit malu menikmati sarapannya dihadapan Elio. Karena pria itu, begitu tiba-tiba berubah menjadi ketus dan sedikit aneh hari ini.
Saat Malik yang baru saja ikut bergabung di tempat sarapan, ia juga sempat kaget melihat putranya. Hanya ada tarikan sedikit ke atas pada ujung bibirnya, namun ia tidak ingin merusak suasana yang ada.
"Selamat pagi, tuan besar." Fio menyudahi sarapannya dan berdiri untuk menyapa.
"Pagi nak, lanjut saja sarapannya." Malik ikut duduk bergabung.
"Terima kasih tuan, saya sudah selesai." Ucap Fio dan mempersilahkan Malik bersama Angelina untuk sarapan bersama putranya.
Tidak ada tanggapan apapun dari Malik, ia lebih memilih menikmati sarapannya dengan suasana hening. Akan tetapi, Angelina merubah suasana itu menjadi ramai.
"Elio, mama sangat senang kamu mau kembali ke perusahaan. Move on dengan masa lalu, tatap masa depan dengan baik. Masih banyak wanita yang lebih baik untuk kamu, iya kan pa?" Angelina melempar ucapannya pada suaminya.
"Uhuk uhuk." Malik tersedak mendengarnya.
"Kenapa mama nanya sama papa? Itu kan pikiran mama sendiri, papa lagi asik sarapan malah ditanyain." Malik mengambil langkah aman dari amukan putranya.
"Ish papa, masa cuma mama yang ingin Elio move on dari wanita itu. Seharusnya, papa juga mendukung dong usaha mama."
"Diam!!"
Bentakan itu membuat suasana menjadi hening dalam hitungan detik, kedua orang tua itu terdiam seperti patung yang melirik satu sama lain.
"Ayo pergi." Elio menjalankan kursi rodanya dan di ikuti oleh Fio.
Melihat putranya itu sudah pergi, Malik lalu mengusap dadanya perlahan. Hampir saja ia terkena serangan jantung akibat ulah dari istrinya, padahal mereka sudah mengetahui karakter dari putranya. Apalagi setelah peristiwa kecelakaan itu, membuat karakter yang semula baik-baik saja berubah menjadi tidak baik-baik.
"Mama sih, sudah tahu anaknya sangat sensitif jika wanita itu dibahas. Eh, mama malah mencari penyakit." Malik menyandarkan punggungnya.
"Ya kan mama hanya ingin memberikan nasihat, supaya Elio itu menatap masa depannya pa." Angelina membela dirinya.
"Terserah mama saja, papa tidak ikut-ikutan. Papa hanya bahagia, Elio sudah mau kembali ke kantor. Kasihan Max, jika harus mengurus perusahaan sendiri." Malik menyeruput kopi hangatnya dan berdiri.
"Papa mau kemana?" Melihat suaminya yang beranjak dari tempatnya, membuat kening Angelina berkerut.
"Kerja, mamaku sayang. Mulai beranjak pikun, gara-gara fokus pada anaknya. Suami sendiri sampai dilupakan, sungguh terlalu." Malik tersenyum kecut.
"Huh, ingat umur kali pa. Tapi pa, mama masih kepikiran sama Elio, apa nanti dia mau balik lagi sama wanita itu ya?" Angelina masih meneruskan isi pikirannya.
Malik hanya berdengus kesal, ia menepuk keningnya atas apa yang ia alami pagi hari ini. Berjalan menuju mobilnya, meninggalkan istrinya yang masih asik dengan asumsi yang ia ciptakan sendiri.
Tanpa Angelina sadari, jika suaminya sudah tidak ada disana. Ia terus berbicara tanpa ada yang mendengarnya sama sekali, hingga datangnya Rosi menyadarkan dirinya.
"Nyonya, nyonya besar." Rosi memanggil dengan lembut.
Namun Angelina masih terus berbicara, ia tidak sadar jika Rosi sudah memanggilnya. Berbagai cerita ia ucapkan, karena ia pikir ada yang mendengarnya.
"Nyonya, nyonya sadar." Rosi menyentuh pundaknya dari Angelina.
"Apa sih, pa. Mama masih mau bilang, kalau Elio itu harus bisa move on dari wanita itu. Apa sih, papa." Angelina menepis tangan yang menyentuh pundaknya.
"Nyonya!" Rosi meninggikan nada suaranya.
"Apa!" Angelina membalasnya dengan teriakan juga.
Perlahan, Angelina tersadarkan atas apa yang terjadi. Kedua matanya melirik mencari keberadaan dari suaminya, bahkan ia sampai berputar pada tubuh Rosi.
"Loh loh, aduh nyonya." Kepala Rosi berputar, mengikuti kemana Angelina mengelilingi tubuhnya.
"Suamiku, suamiku kemana bi?" Angelina masih mencari keberadaan dari suaminya.
"Tu tuan besar, sudah berangkat ke kantor nyonya." Rosi masih merasakan pusing di kepalanya.
"Apa? Sudah pergi?" Kaget yang Angelina rasakan.
Rosi hanya bisa menganggukkan kepalanya, karena ia sudah tidak sanggup untuk berbicara. Mendapati suaminya yang pergi begitu saja, membuat Angelina kesal. Ia berjalan menuju kamarnya, mengambil benda pipih yang berlambangkan buah apel tergigit. Mencari sebuah nama yang berada dalam barisan kontak pada benda tersebut, dan menekan tanda hijau pada layarnya.
Tak membutuhkan waktu yang lama, sebuah suara terdengar dari tempat yang berbeda.
"Iya ma, ada apa?"
"Papa!! Kenapa main pergi-pergi saja, hah! Mama kan lagi bicara, masa main pergi begitu saja sih." Gerutu yang Angelina keluarkan.
Dari tempatnya, Malik menjauhkan telinganya dari ponsel yang kini berada di daun telinganya. Suara sang istri begitu merdu dan nyaring sekali, hampir saja telinganya menjadi sakit kalau tidak ia jauhkan benda itu.
"Ya ampun, sakit telingaku. Mana suaranya kayak pakai toa (pengeras suara), cempreng pula." Tangan Malik mengusap-usap telinganya.
"Papa!!"
..."Mampus aku." Malik ...