Siang hari, dia adalah dosen yang berkarisma. Malam hari, dia menjelma sebagai bos bar tersembunyi dengan dunia yang jauh dari kata bersih.
Selina, mahasiswinya yang keras kepala, tak sengaja masuk terlalu dalam ke sisi gelap sang dosen. Langkahnya harus hati-hati, karena bisa menjadi boomerang bagi mereka.
Keduanya terjebak dalam permainan yang mereka buat sendiri—antara rahasia, larangan, dan perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.
Bab 26: Bibir yang tak terlupakan.
Selina duduk di sudut Campus Corner, menatap kosong ke arah jalan raya yang dipenuhi kendaraan lalu lalang. Es dalam gelas es jeruknya sudah beberapa mencair, tapi belum disentuhnya sejak minuman itu datang. Suara obrolan mahasiswa lain terdengar samar di telinganya. Dia hanya mendengar gema detang jantungnya sendiri dan bayangan wajah Leonhard yang sangat dekat dengan matanya. Selina beberapa kali menggigit bibir bawahnya mengingat bibir Leonhard malam itu menuentuhnya—lembab, halus, dan terlalu nyata untuk diabaikan.
“Kesurupan tau rasa lo!” ujar Megan yang dari tadi melambaikan tangannya di depan wajah Selina yang masih mematung.
“Sel, lo semakin hari semakin aneh aja,” tambah Tessa bertopang dagu memperhatikan Selina.
Selina tersenyak kecil kekita Tessa memetik jarinya tepat di depan mata, sadar kalau dari tadi dia tidak merespon.
“Hah? Apa ngga kok…”
“Nggak apanya? Lo ngapain bengong siang bolong begini?” tanya Megan disertai anggukan dari Tessa. “Lo mikirin apa sih? Mikirin cowok?”
“Apa sih anjir jangan asal nembak! Cowok apaan…” jawab Selina cepat karena terlalu sensitif mendengar kata cowok.
“Lah… gak usah defensif gitu juga. Defensif artinya benar,” goda Tessa mencolek dagunya. Selina langsung menepis tangan itu dengan ekspresi pura-pura jijik.
Megan, yang duduk disebelahnya langsung mendekat sambil menyenggol bahu Selina dengan bahunya. “Ke-trigger nih?” goda Megan, alisnya naik-turun. “Spill, Sel. Siapa?”
“Gak ada siapa-siapa!” Selina buru-buru menegakkan badannya, matanya berlarian tidak tahu mau menatap siapa.
“Ah yang bener… lo sus banget, Sel.” Tessa mencondongkan badannya.
“You guys are so annoying,” keluh Selina, matanya melirik ke jalan raya untuk menghibdari tatapan dua temannya. Tapi Megan dan Tessa sudah seperti anjing pelacak begitu ada bau gossip baru.
“Sel, gua kenal lo lebih dari gua kenal password wifi kampus. Lo pasti lagi mikirin sesuatu,” ujar Megan sambil memakan es telernya.
Selina menggigit bibir bawahnya. Dalam hatinya, adegan ciuman itu terus muter kayak kaset rusak—tatapan Leonhard, tekanan bibirnya, napas hangatnya. Semuanya terlalu jelas. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat.
“Anak jurusan kita?” Tessa langsung mengajukan pertanyaan.
Selina menggeleng.
“Temen SMA lo?” tanya Megan.
Selina menggeleng lagi.
“Vikram?” tanya Tessa. Mendengar nama itu, Selina langsung bergidik geli.
“Orang gila! Bukan lah anjir. Sejak kapan gua deket sama dia?!” protes Selina tidak setuju.
Tessa tertawa kecil. “Gua kira modusnya Vikram berhasil.”
“No. Gua lebih suka pria matang yang bisa mengayomi,” ujar Selina, seketika matanya berbinar membayangkan Leonhard.
Megan memicingkan matanya. “Pria matang…? Pak Baskata?!”
Selina membulat, bukan karena tersinggung tapi justru teringat… pria yang dimaksud adalah saudara kambarnya Baskara.
“Hah?!” Tessa setengah berjerit. “Kenapa tiba-tiba Pak Baskara?!”
“Sshhttt… banyak orang!” Megan melempar kertas bekas bungkus sedotan ke arah Tessa.
“Am I missing a chapter, guys?” tanya Tessa, dia mengernyit pensaran.
Selina menyenggol kaki Megan di bawah meja—memberi sinyal untuk tidak memberitahu tentang Baskara. Enak kenapa, Selina lebih nyaman menceritakan tentang Baskara hanya kepada Megan. Megan pun mengerti langsung mengalihkan pembicaraan.
“Ya nggak… gua asbun aja. Pria matang yang gua kenal cuma Pas Baskara… hehe.” Megan membual, berharap Tessa tidak bertanya lebih lanjut.
“Kirain… bisa heboh satu kampus kalo lo sama dosen, Sel,” ujar Tessa.
Selina memutar bola matanya sambil bercanda. “Ya kali, Tes… reputasi gua sebagai mahasiswa juga bakal jadi jelek gak sih. Entar gua difitnah dapet nilai bagus karena simpenan dosen.”
Megan dan Tessa tertawa mendengar balasan Selina yang terdengar masuk akal. Padahal jantung Selina mau copot, karena Baskara masih berhubungan dengan pria yang dia maksud.
“So… who’s the lucky guy?” tanya Tessa. Untungnya dia tida menggubris urusan Baskara itu.
Megan menoleh ke arahnya, tatapannya siap menerima informasi baru darinya. Selina mengambil nafas dalam-dalam kemudian dia buang dari mulutnya.
“Janji dulu… jangan teriak,” kata Selina sambil menunjukkan kelingking. Megan dan Tessa secara bergantian mengaitkan kelingking mereka.
“Janji.”
Mungkin kalau Selina beritahu Megan dan Tessa tentang Leonhard tidak terlalu masalah. Lagipula, dia bukan membocorkan rashasia gelapnya juga—hanya sekedar hubungan emosional mereka. Selina juga sebenarnya sudah gatal ingin cerita, dia tidak tahan lagi kalau harus menyimpan sendiri. Dia butuh teman untuk teriak.
“You know… bos gu—” ucapannya terpotong dengan pertanyaan yang langsung terdengar dari Megan dan Tessa yang tumpang tindih.
“BOS LO?”
“HAH?! BOS?!”
Selina langsung melotot, buru-buru mencondongkan badan ke arah mereka sambil menutup mulut Megan dan Tessa dengan kedua tangannya.
“SSSTTT! Bisa jangan teriak nggak sih kalian berdua?! Udah janji juga!” bisiknya dengan nada setengah panik. “Gila, ini campus corner, lagi rame!”
Megan mendorong pelan tangan Selina sambil berbisik cepat, “Lo bilang bos barusan, kan? BOS?!”
Tessa juga ikut membungkuk ke arah meja, matanya membesar kayak mau meledak. “Lo seriusan? Bos lo yang itu? Yang… kata lo sexy itu?! Dia?!”
Selina mengusap wajahnya dengan kedua tangan, nyaris frustasi. “Tolong… satu-satu ngomongnya. Kalian kayak orang rebutan diskon baju,” desisnya.
Megan dan Tessa langsung kompak duduk tegak, tapi ekspresi mereka nggak berubah—penuh antisipasi, mata berbinar, siap menyerap drama.
“Okay,” kata Megan pelan tapi intens. “Lanjut. You said… bos lo?”
Selina menghela napas panjang, merasa seperti membuka kotak Pandora.
“Yes… I said, bos gua… uh—gimana ya jelasinnya. Gini deh… we had an argument last night setelah shift gua. Agak heated argument, I couldn’t control myself dan terus-terusan ngebantah dia, and then…” Selina memotong ucapannya lagi, kini bukan karena terpotong karena teriakan Megan dan Tessa, tapi karena kalimat ‘dia cium gua’ susah sekali untuk keluar dari mulutnya.
“And then…?” ulang Megan.
“Jangan gantung, please,” tanbah Tessa yang semakin mencondongkan badannya ke depan.
Selina menatap ke kanan dan kiri dulu, memastikan nggak ada mahasiswa lain yang duduk terlalu dekat. Lalu dia mendekat ke meja, menunduk, dan berbisik cepat seperti sedang membocorkan rahasia negara.
“…dia cium gua,” ucapnya lirih tapi jelas.
Megan langsung terbelalak, mulutnya terbuka lebar tanpa suara—kayak ikan kehabisan air. Sementara Tessa refleks menutup mulutnya sendiri, menahan jeritan yang hampir lepas.
“NO. WAY.” Tessa akhirnya bersuara pelan tapi heboh. “He kissed you?!”
Megan langsung menepuk meja kecil itu pelan tapi tetap bikin Selina kaget. “Lo… CIUMAN sama BOS LO?! Boss Leonhard yang itu?!”
Selina langsung panik dan menutup mulut Megan lagi. “Bisa nggak suaranya dikontrol?! Gua gak mau berita ini muter satu kampus!” desisnya.
Megan dan Tessa saling pandang, lalu kompak mencondongkan badan lagi, mata mereka berbinar penuh rasa ingin tahu yang nyaris jahat.
“Gimana rasanya?” bisik Megan.
“Dia yang mulai atau lo?” Tessa menimpali cepat.
Selina menunduk sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Gua nyesel cerita ke kalian…” gumamnya putus asa.
“Terus? Terus?” Megan mengguncangkan bahunya Selina yang masih menutup wajahnya.
“Udah anjir gak pake terus,” jawab Selina langsung menoleh ke arah Megan.
“Maksudnya, setelah…” Tessa menguncupkan kedua jarinya kemudian saling dipatukan seolah memperagakan adegan ciuman. “… lo gimana?”
“Ya… gak gimana-gimana,” jawab Selina simpel, justru mendapat toyoran dari Megan.
“Anak setan! Lo gak ada perasaan apa gitu?”
Selina merasa frustasi, karena dia juga masih bingung dengan perasaannya. Tapi yang jelas… sentuhan bibinya nagih.
Selina mengerang kecil. “Honesly… I wished it was it was longer…”
Megan dan Tessa tersenyum miring mendengar pengakuan Selina.
“Akhirnya keluar juga kalimat jujur dari mulut lo,” kata Megan dengan nada sok bijak.
Tessa menepuk-nepuk bahu Selina. “Gila, Sel… lo jatuhnya bukan cuma kejebak momen, tapi udah officially masuk territory orang. Lo sadar kan, ini BOS lo.”
Selina menatap kosong ke arah gelas es jeruk yang esnya sudah mencair. “Gua tahu… makanya gua pusing. Itu yang bikin semuanya makin ribet. Kalau dia cuma orang random, gua gak bakal segalau ini.”
“Ribet tapi deg-degan kan?” goda Megan sambil mengedip nakal.
Selina mendesah panjang, menutup wajah dengan kedua tangan. “Deg-degan banget, Meg… Gua gak bisa bohong. Tiap gua inget, jantung gua langsung… dug dug dug,” katanya sambil menirukan detak jantung cepat.
Tessa mengangkat alis tinggi. “Sel. Lo pengin itu kejadian berhenti di situ… atau lo pengin ada ‘chapter berikutnya’?”
Selina terdiam. Bibirnya membuka sedikit, tapi tak ada jawaban keluar. Pertanyaan itu tepat sasaran—dan itulah yang bikin dadanya terasa sesak sekarang.
Matanya melirik ke sekitar sambil mencari jawaban dari pertanyaan skakmat dari Tessa itu. Tapi, matanya menangkap sesuatu—dua orang berpakaian hitam sedang memperhatikan mereka di halte bus seberang Campus Corner. Selina memicingkan matanya, untuk melihat jelas ke arah mereka.
“No way… itu… bodyguard yang dibilang Leonhard?” kata Selina dalam hati.
Jantung Selina langsung melonjak. Dua pria itu berdiri tegak, bersandar ringan ke tiang halte tapi pandangan mereka fokus ke arahnya—terlalu fokus. Postur mereka kaku, bukan tipe mahasiswa nongkrong nunggu bus. Satu pakai kacamata hitam walau matahari lagi nggak terlalu terik, satunya lagi sibuk ngobrol lewat earpiece kecil di telinganya.
“Sel? Lo ngeliat apaan?” Megan melambaikan tangan di depan wajah Selina, mengikuti arah tatapannya.
“Lo liat nggak… dua cowok berpakaian item di halte itu?” bisik Selina cepat, matanya masih terpaku.
Tessa langsung menoleh tanpa basa-basi. “Yang kayak agen rahasia itu? Ih… merinding gue.”
“Anjir Sel, jangan bilang itu—” Megan menatap Selina dengan ekspresi ‘jangan bilang yang gua pikirin bener’.
Selina mendesah berat, tangannya menutupi separuh wajah. “Leonhard,” gumamnya lirih. “Dia ngirimin bodyguard buat ngawasin gua…”
Persetanan dengan rahasia penguntit itu. Selina harus memberitahu Megan dan Tessa, mereka berdua yang selalu bersama Selina. Dia tidak mau Megan dan Tessa ikut menjadi korban penguntitnya, jadi dia memutuskan untuk menceritakan semua—tanpa menyebut rahasia Leonhard yang tidak perlu diketahui siapapun.
“Hah? What do you mean dia ngirim bodyguard buat ngawasin lo?” tanya Megan bingung dengan pengakuannya.
Selina menghela nafas panjang. “Jadi… yang gua bilang heated argument itu… ya masalah ini. I have another confession—stalker. I have stalker. Leonhard yang ngasih tau itu karena dia yakin gara-gara gua kerja di barnya yang… well emang agak banyak orang kotor, you know what I mean…” Megan dan Tessa mengangguk, mendengarkan penjelasannya. “That’s why… dua orang itu di sana… ngawasin gua.”
“Bentar. Sel… stalker? Selina. Ini bahaya banget! Kenapa gak langsung lapor polisi?” tanga Megan terlihat khawatir.
“Astaga, Sel. Kenapa gak cerita… ini mengangkut keselamatan lo,” tambah Tessa.
“I know I’m sorry. Gua juga baru tau… tadinya gua udah rencana mau lapor tapi… si bos gua bilang itu semua urusan dia…”
Megan dan Tessa saling pandang—antara shock, geli, dan sedikit excited. Tessa mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya menurun. “Lo tuh pacaran sama bos mafia atau gimana sih, Sel? Lo dilindungin sama bodyguard segala…”
“Gue gak pacaran!” potong Selina cepat, tapi pipinya mulai memanas sendiri. Sial. Semua makin rumit.
Beberapa meter di belakang bangku mereka, di bawah rindangnya pohon flamboyan, Leonhard, yang berdandan sebagai Baskara, bersandar pada pagar besi sambil memainkan kunci motornya di tangan. Helmnya masih tergantung di setang motor, tapi fokusnya sepenuhnya tertuju pada tiga gadis yang duduk di Campus Corner itu.
Dari jarak itu, suaranya tidak terdengar jelas seperti di ruangan rapat—tapi cukup untuk menangkap potongan kalimat penting: “bos gua,” “heated argument,” dan… “I wished it was longer.”
Jantung Baskara mencelos. Damn, Selina…
Dia tidak pernah nyangka Selina akan cerita ke siapa pun secepat ini. Sisi rasionalnya langsung waspada—semakin banyak yang tahu, semakin besar risiko identitas gandanya terbongkar. Tapi sisi lainnya… sialan, ada rasa bangga aneh yang muncul di dadanya. Ada bagian dalam dirinya yang puas, mendengar Selina ngomong tentang ciuman itu dengan ekspresi begitu terbuka ke sahabat-sahabatnya.
Baskara menghembuskan napas panjang, setengah gugup setengah senyum tipis. Lo bikin gue gila, Selina, batinnya.
Begitu pandangannya bergeser ke halte bus dan melihat dua bodyguard yang ia kirim berdiri di sana, perasaan bangga memuncak.