NovelToon NovelToon
Gara-Gara COD Cek Dulu

Gara-Gara COD Cek Dulu

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta pada Pandangan Pertama / Wanita Karir / Romansa / Trauma masa lalu
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Basarili Kadin

Berawal dari pembelian paket COD cek dulu, Imel seorang guru honorer bertemu dengan kurir yang bernama Alva.
Setiap kali pesan, kurir yang mengantar paketnya selalu Alva bukan yang lain, hari demi hari berlalu Imel selalu kebingungan dalam mengambil langkah ditambah tetangga mulai berisik di telinga Imel karena seringnya pesan paket dan sang kurir yang selalu disuruh masuk dulu ke kosan karena permintaan Imel. Namun, tetangga menyangka lain.

Lalu bagaimana perjalanan kisah Imel dan Alva?
Berlanjut sampai dekat dan menikah atau hanya sebatas pelanggan dan pengantar?

Hi hi, ikuti aja kisahnya biar ga penasaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Basarili Kadin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kedatangan Alva

Pagi hari, seperti biasa Gian selalu mengantarkan lauk untukku, aku biasa sebut itu rencang. Gian selalu membawakan lauk yang menurut dia sehat dan baik untukku. Menu hari ini pepes ayam kemangi lagi dan juga sayur sop, sedikit melenceng karena menurutku tidak nyambung, tetapi tetap aku makan.

"Teteh, maaf ya belum bisa kasih makanan yang lebih dari ini," ujar Gian teduh.

"Lah, gapapa. Suka aja kok, cuma teteh kurang suka sama pepes, tapi diusahain suka, kan tetap dimakan."

"Padahal pepes lebih sehat dan bagus daripada ayam gorengnya."

"Iya, kan ini sengaja teteh makan juga kan biar suka."

"Iya-iya. Emang harus sehat juga kan, maaf ya kalau harus makan ini terus, iya deh seminggu sekali atau dua minggu sekali aku kasih frozen food."

Mendengar itu aku langsung sumringah, ya walaupun kalau malam aku pun makan sembarang, tapi bersyukur ada yang perhatian.

"Beneran? Kerupuk boleh juga dong? Atau yang digoreng-goreng atau apa gitu, bolehlah," ucapku antusias. Gian malah tertawa keras.

"Ha ha, iya-iya deh. Gak kuat aku lihat wajah teteh kalau dah gitu, iya iya iya nanti aku beliin."

"Seminggu sekali ya atau dua hari sekali," pintaku.

"Engga, seminggu sekali aja. Gak baik itu buat kesehatan."

"Dih, kamu mah gitu. Tapi gapapa sih, malam atau siang teteh makan seenaknya."

"Kok gitu sih, Teh. Gak ngehargain aku banget," kata Gian menampakkan raut wajah kecewa.

"He ... ya engga juga sih, terus teteh makan apa? Yang di warteg adanya itu. Kalau masak ya yang simpel aja nugget sosis masih banyak itu, mie aja masih banyak se-dus, paling telur. Masa telur tiap hari," kataku menjelaskan.

"Hemhh, teteh emang ga bisa ke pasar gitu belanja, masak-masak sayur kek atau apa kek, jangan banyak alasanlah, bakso-bakso kek disayur kadang-kadang."

"Mana ada waktu lah, teteh juga gak bisa bawa motor."

"Ya sudah. Nanti tiap minggu aku antar ke pasar, ya."

"Oke."

Tin ... tin!

Seseorang membunyikan klakson motornya di halaman kost-ku.

"Siapa dia, Teh?" tanya Gian menatapku.

"Orangnya aja belum kelihatan, gak tau atuh. Teteh mau makan aja," jawabku tidak peduli.

"Teh ih, dia ke sini," ujar Gian yang posisinya berada di lawang/depan pintu.

"Ooh, jadi gini yang dibilang setiap hari setiap pagi."

Suara itu membuatku mendongak ke arahnya.

"Eh, A Alva. Iya, ini Gian yang semalam aku bilang," ucapku menatap Alva kikuk. Aku pun mengalihkan pandangan ke arah Gian, dia menatapku dengan heran.

"Siapa?" tanya Gian.

"Anu ... emhh ... Teman," kataku beralasan dengan mata yang menatap ka mana-mana.

Aku benar-benar kebingungan, rasanya seperti malu.

"Teman-teman, calon suami gitu bilang!" Kata Alva tegas kemudian ikut duduk bersamaku.

Wajarlah langsung masuk karena pintu selalu terbuka jika ada tamu laki-laki meskipun hanya sebatas murid.

"Calon suami teteh?" tanya Gian pelan.

"Iya!" Timpal Alva singkat.

"Ooh." Gian menyahut.

"Kalau gitu aku duluan berangkat aja teh," ujar Gian seperti kecewa.

"Engga boleh. Harus bareng pokoknya," ucapku mencekal tangan Gian yang sudah berdiri.

"Kan sudah ada calonnya."

"Enggak ih gak mau, bareng aja sama kamu lah," kataku karena tidak ingin bareng dengan Alva.

"Kenapa gak mau sama saya?" kata Alva dengan formal, ini pertanyaan yang tidak biasa.

"Kan beda arah he he," ucapku sambil nyengir tapi tidak tertawa, melainkan bingung, kikuk.

"Sama aja, bisa diatur. Ya sudah biarkan dia berangkat lebih dulu. Nanti kamu saya yang antar," ucapnya tegas.

Aku pun melepaskan tangan Gian. Dia pun pamit dan berangkat.

Rasanya aku merasa bersalah padanya dan sekarang aku merasa ada hawa yang tidak enak karena sedari tadi Alva ketus.

"Itu ya muridnya?" tanya Alva berbeda dengan sebelumnya, ini lembut.

"Iya, dia selalu bawain rencang tiap pagi, katanya biar sehat. Di sini ga ada sayur apalagi pepes ayam."

"Perhatian banget," ucapnya.

"Iya."

"Emang sebelumnya kalau makan gimana?"

"Imel kan suka masak sendiri entah sosis atau naget atau telur, mie juga masih banyak tuh, tapi waktu itu kepergok sama dia pas mau jemput. Jadinya gini deh," ujarku menjelaskan.

"Neng aja sebutnya, kan udah dibilang," kata dia mengomentari penyebutan namaku, padahal sebenarnya aku tidak terbiasa dengan sebutan saya atau aku, karena selalu menyebut nama aja kecuali di sekolah atau teman yang tidak terlalu dekat. Harusnya dia senang dong kalau aku sebut nama sendiri di hadapannya, tandanya aku sudah dekat dengannya.

"Kenapa bisa jemput ke sini?" Lanjutnya.

"Gak tau juga tiba-tiba jemput."

"Pasti ada alasannya, alasannya apa?"

"Panjang ceritanya."

"Ya sudah ceritain."

"Kan, Neng lagi makan A," kataku.

"Oh iya, ya sudah makan dulu, nanti cerita. Ke sekolah masih lama kok, nanti Aa yang anter."

"Gini kan enak ngomongnya gak kaya tadi ketus amat."

"He he." Dia tertawa kecil dan aku melanjutkan makan, untuk kedua kalinya aktivitas makanku diperhatikan lagi. Yang tadinya cepat kadang gragas, sekarang menjadi lebih pelan. Sama saja seperti di resto malam, jaga image agar tidak ilfeel.

Setelah aku selesai makan tanpa menghabiskan makananku, karena rasanya seperti lama sekali untuk habis, jadi aku selesaikan saja makannya. Apalagi harus makan daging ayam yang digigit-gigit di hadapannya, oh tentu tidak. Lebih baik aku simpan aja buat nanti, kalau basi ya mau gimana lagi selain dibuang. Tapi semoga aja tidak basi, kasihan Gian.

"Sudah makannya?" tanya Alva.

Aku mengangguk.

"Ya sudah, ceritakan."

Dia memintaku bercerita tanpa memberi aku ruang untuk minum, duduk bersantai, senderan sambil makan permen.

Setelah aku meneguk air putih, aku pun bercerita sedetail mungkin tentang pertemuanku dengan Gian agar tidak banyak tanya.

"Ooh gitu, kasihan juga ya."

"Iya, Aa percaya kan?" tanyaku agar yakin.

"Percaya, tapi dia dapat uang dari mana?"

"Neng juga gak tahu kalau soal itu."

Alva mengangguk-anggukkan kepala.

"Neng?"

"Iya?"

"Benar kan gak sedang dekat dengan orang lain kecuali Aa nya?" tanya Alva menunjuk dirinya sendiri.

"Gak ada, orang Neng aja dipaksa mau, gimana sih," kataku memutarkan bola mata.

"He he, kalau gak gitu gak bakalan dapat."

"Aneh!"

"Lebih aneh lagi kalau mundur tanpa perjuangan."

"A Alva sudah berjuang apa emang? Ngasih kalung?"

"He he, emang belum sih, itu baru permulaan aja."

"Hemmh!" Aku mengendikkan bahu.

"Neng?"

Kalau dipanggil "Neng" tanpa terbiasa itu seperti ada geli-geli gimana gitu, seperti memanggil anak kecil rasanya. Tapi, entah akan semanja apa jika aku sudah terbiasa.

"Iya, kenapa?"

"Kalau dilamar minggu depan boleh nggak?"

1
Bonsai Boy
Jangan menunda-nunda lagi, ayo update next chapter sebelum aku mati penasaran! 😭
Hiro Takachiho
Gak sabar nih baca kelanjutannya, jangan lama-lama ya thor!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!