Cewek naif itu sudah mati!
Pernah mencintai orang yang salah? Nainara tahu betul rasanya.
Kematian membuka matanya, cinta bisa berwajah iblis.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua, kembali ke sepuluh tahun lalu.
Kali ini, ia tak akan menjadi gadis polos lagi. Ia akan menjadi Naina yang kuat, cerdas, dan mampu menulis ulang akhir hidupnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaluBerkarya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29.
“Julian" Naina berjalan ke depan. Langkahnya sedikit tergesa melewati kerumunan tamu undangan yang asyik party. Pandangan matanya masih tak teralih dari sosok cowok yang berdiri di sana tanpa berniat mendekatinya juga, seolah dia betah menunggu.
“Naina, mau kemana?” tanya Zora bingung menatap sang sahabat.
“Ke sana, Zora,” tunjuk Naina cepat, kemudian kembali melangkah. Hingga pijakan kakinya terhenti tepat di depan Julian. Cowok itu berdiri tenang, tak bergeming. Hanya senyum tipis yang terukir dari bibirnya serta tatapan sendu menyiratkan rasa rindu.
“Julian, kamu datang?” pertanyaan basi itu Naina lontarkan seolah ingin memastikan kembali bahwa yang di lihatnya benar-benar nyata bukan hanya ilusi semata lantaran mungkin karena dia terlalu rindu.
Lupakan soal rasa takutnya mengenai jati diri Julian yang sempat pria itu beritahu satu minggu lalu. Naina bahkan tidak peduli, yang dia rasakan hanya sesuatu hal lain yang mendominasi.
“Selamat ulang tahun, Nainara...” Julian berujar dengan suara yang tenang, seperti biasanya. Tapi satu hal yang berbeda dari yang Naina tangkap, pria itu tidak berani mendekat seolah menjaga jaraknya.
“Kamu kemana saja?” ujar Nainara dengan suara yang bergetar, tubuhnya menubruk tubuh tegap Julian, memeluk cowok itu.
Julian terpaku tak percaya. Wajahnya membulat sempurna.
Tidak peduli entah apa yang cowok itu rasakan, tapi Naina semakin mengeratkan pelukannya.
Lama Julian hanya berdiri tanpa membalas, tapi perlahan tangannya bergerak pelan, mengusap rambut ikal yang berderai indah milik Naina dengan gerakan lembut, kemudian membalas pelukan gadis itu meski awalnya ragu.
“Kamu... Tidak takut? Kamu tidak kesal lagi?” tanya Julian pelan.
Naina mendongak, tatapannya melunak tapi pelukannya tak juga kunjung mengendur.
“Takut apa?” tanyanya.
“Aku... Aku yang seekor rubah.” Jawab Julian menunjuk dirinya.
Naina sontak melepaskan pelukannya cepat, membuat rasa percaya diri yang nyaris kembali dari dalam diri Julian kembali menghilang.
Cowok itu tersenyum kecut. Rupanya Naina masih belum menerima jati dirinya yang sesungguhnya.
“Em, soal itu...” ujar Naina dengan suara yang pelan. “Aku tidak kesal, juga tidak takut,” jawabnya terlampau santai, kemudian memberikan senyum terbaiknya pada Julian. Membuat pria itu menghela nafas lega.
“Tapi, Julian... Aku hanya penasaran kenapa satu minggu terakhir kamu tidak pernah lagi datang ke sekolah, apa ada masalah?” tanya Naina mengulik informasi.
Julian bergeming. Entah mulai dari mana dia cerita, dan sepertinya banyak hal yang harus dia sampaikan, tapi apa Naina mau mendengarkan ceritanya sekali lagi?
“Kamu ada waktu nggak? Aku mau cerita sedikit,” pinta Julian melirik sekitar seolah melihat suasana yang nyaman bagi dia untuk bercerita.
“Boleh, kita keluar,” jawab Naina sembari membawa langkahnya, berjalan lebih dulu.
Julian mengekorinya dari belakang. Jalannya terlampau santai dan tenang, menutupi wajahnya yang tentu saja bahagia.
...----------------...
Sebuah kursi yang berada di lobi, menjadi tempat yang mereka berdua pilih untuk sekedar bicara empat mata tanpa ada kebisingan musik.
"Jadi kamu mau cerita apa saja?" tanya Nainara antusias. Wajahnya sejak tadi tak berhenti menyungging senyum bahagia.
Berbeda dengan Julian yang lebih di dominasi oleh rasa gelisah, takut, bahagia dan tak tenang. Cowok itu menghela nafas kasar berulang kali, berusaha menetralkan rasa yang membludak.
"Harus di mulai dari mana ya?" tanyanya juga bingung sendiri hendak menjelaskan yang mana dulu.
"Mulai saja dari pertanyaan aku tadi. Kenapa kamu menghilang selama satu minggu, apa yang terjadi sebenarnya, dan apa kamu baik-baik saja, juga—"
"Oke-oke!" Julian memotong pembicaraan Naina yang terlihat tidak mau berakhir.
"Aku satu minggu ini ya, Kamu ingat Jaevan?" tanya Julian seolah memastikan apakah Naina masih mengingat sistem itu.
"Hmm. oh iya, anak baru itu juga kemana ya? kok gak pernah kelihatan? terakhir dia meneror aku mungkin sebelum keesokan harinya kamu kasih tau aku tentang jati diri kamu," ujar Naina yang masih bingung dengan misteri anak baru itu.
"Dia sistem," jelas Julian masih menatap Naina, hendak melihat bagaimana reaksi gadis itu.
"Sistem? apasih gak masuk akal, kamu gak salah makan kan Julian? kenapa bicaranya ngelantur?" tanya Naina tidak percaya hal konyol seperti itu.
"Bukan ngelantur. seperti halnya aku yang seekor siluman rubah yang bisa merubah wujud, dia juga sama. bedanya saja adalah dia sistem yang berkuasa, atas diriku termasuk," penjelasan Julian pelan dan terdengar hati-hati agar sampai kepada kepala Naina.
"Hais, seperti cerita fiktif belaka." Gumam Naina yang masih bisa di dengar oleh telinga Julian.
"Tapi itu faktanya, Naina. Dia sebuah sistem."
"Oke-oke, lupakan tentang itu. lantas, apa hubungannya sama kamu?" seperti seorang wartawan, Naina sudah serius dengan berbagai pertanyaan yang tertata rapi dan siap dia utarakan saat ini. Sejujurnya banyak hal janggal yang dia rasakan dan mungkin harus segera dia dapati jawabannya saat ini juga.
Meninggalkan party birthday dirinya sendiri, gadis itu lebih memilih berada dan mendengar cerita Julian dari pada di dalam ballroom yang mungkin saja membuatnya tak tenang karena ada anomali seperti Aaron yang datang tanpa di undang.
"Hubungannya sama aku? bakal panjang kalau di jelasin, dan waktuku tidak banyak, Naina." ujar Julian masih terlihat gelisah, yang langsung di tangkap oleh ekor mata Naina.
Gadis itu mengerutkan keningnya. Ada ketakutan yang tergambar jelas di wajah Julian, yang memang baru Naina sadari sekarang.
"Dia tidak ngapa-ngapain kamu kan?" tanya gadis itu memastikan. Diam, tidak ada jawaban. Hal itu membuat Naina berani mengumpulkan bahwa Julian memang tidak baik-baik saja selama satu minggu ini.
"Cerita, Julian. Kamu di apain sama dia, di siksa?" desak Naina. Tampang khawatir jelas tersirat dari raut wajahnya cantiknya.
Julian hanya tersenyum, "Khawatirin aku?" tanyanya nyaris seperti bisikan.
"Em... iya khawatir sama seorang teman, tidak salah kan?" sangkal Naina berusaha untuk menetralkan rasa gugupnya.
"Kalau aku bilang aku suka sama kamu, percaya nggak?" kalimat Julian tercekat, pelan.
"Apa?" Naina memastikan.
"Tidak apa-apa," jawab Julian membuang muka.
"Suka saja kan? hal umum itu sepertinya sering aku dengar dari orang lain deh," Naina tersenyum tipis, getir.
Julian meraih tangan Naina, lalu di tempelkan di dadanya, "Kamu merasakannya kan? aku mengkhianati janjiku bersama sistem itu, Naina. Awalnya dia mengizinkan ku untuk selalu menjaga kamu, baik itu dari jarak jauh dan sekarang dari jarak dekat, asalkan aku tidak main perasaan," jelas Julian dengan suara berat.
"Tapi setelah kecelakaan tragis yang kamu alami sampai di mana kamu kembali ke kehidupan sebelumnya, aku meminta izin untuk bisa menjagamu dari jarak dekat—"
"Sebentar!" Naina menaruh telunjuknya di bibir Julian. Memandang cowok itu penuh tanya. "Jadi kamu tau kalau aku..." Mata Naina membola, dia tidak percaya ini, apalagi anggukan Julian menjadi jawaban.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...