Amara Olivia Santoso, seorang mahasiswa Teknik Industri yang sedang berusaha mencari pijakan di tengah tekanan keluarga dan standar hidup di masyarakat. Kehidupannya yang stabil mulai bergejolak ketika ia terjebak dalam permainan seniornya Baskara Octoga.
Situasi semakin rumit ketika berbagai konflik terjadi disekitar mereka. Novel ini menceritakan tentang kisah cinta remaja, persahabatan dan kehidupan kampus.
Tentang Amara
Langit bergemuruh, kilatnya membuat terang sekilas seperti di siang hari. Tak butuh waktu lama, angin yang berhembus membawa rintik air yang berubah menjadi hujan deras malam itu.
Baskara menarik gas motor ninjanya lebih kencang, mencoba mempercepat laju kendaraannya secepat mungkin untuk mencari tempat berteduh seperti pengendara yang lainnya.
Beberapa toko kecil dan minimarket di sepanjang jalan yang ia lewati sudah penuh dengan orang yang sama-sama terjebak. Sungguh suasana tidak kondusif yang paling ia benci.
Kali ini ia memutuskan untuk menepi di sebuah warung di pingir jalan. Sebelum tasnya benar-benar basah dan laptopnya menjadi error.
“Sial mulu perasaan dari kemarin” Gerutunya.
Setelah memarkirkan motor dan memastikan helmnya aman dari hujan, Baskara langsung memasuki warung yang menjual mi ayam dan bakso itu. Aroma kuah dan kaldunya yang hangat cukup menggodanya yang sedang kedinginan karena tersiram air hujan.
“Pak, mi ayam baksonya satu sama jeruk anget yaa” Ucap Baskara sembari berjalan ke ujung.
“Oke mas, di tunggu nggih” Ucap Bapak tukang bakso ramah.
Baskara mengibaskan jaketnya yang basah, kemudian memeriksa isi dalam tasnya. Aman, tidak ada yang basah. Kali ini dia bisa bernafas lega.
Dengan sigap kini ia meraih ponselnya. Terlihat beberapa pesan dari Amara belum sempat ia balas sejak tadi siang. Cukup membuatnya merasa bersalah telah menelantarkan pacar cantiknya beberapa hari terakhir ini.
Tanpa ragu, Baskara menelfon Amara. Namun, tidak ada jawaban. Panggilannya di reject oleh Amara begitu saja.
“Tumben, apa dia marah karena chatnya ngga di bales?” Desisnya pelan.
Baskara terhanyut dalam pikirannya, sampai Bapak tukang bakso mengantarkan pesananya di atas meja. Barulah dia meletakkan ponselnya dan mulai menambahkan saus kecap di atas mangkoknya.
“Baskara?” Suara yang tidak asing kini menyapanya.
Baskara menoleh cepat setelah meletakkan sendok garpunya. Sekali lagi, ia bertemu dengan seseorang yang paling tidak ingin ia temui.
“Alysa” Desisnya pelan.
“Gilaa, dari sekian banyak tempat dan dari sekian banyak manusia di kabupaten ini kenapa kita ketemu lagi. Tanpa sengaja pula? Keknya emang jodoh deh” Ucap Alysa antusias.
“Apaan sih, kamu ngikutin aku yaa?” Tanya Baskara sebal.
“Ehh sorry yaa, aku udah disini duluan. Makanya kalo dateng itu liat dulu sekeliling, iyaa ngga pak?” Jawab Alysa tak mau kalah.
“Iyaa mas, mbaknya udah disini dari tadi. Ini udah selesai bayar” Sahut Bapak tukang bakso.
“Tuh dengerin, jangan sok kepedean lain kali” Kata Alysa.
Baskara tak bergeming, kali ini dia kembali menyantap mi ayam bakso di depannya dengan lahap.
“Udah yaa, aku pulang dulu. Weekend jangan lupa, dapet undangan dari Angga kan? Pembukaan café barunya?” Kata Alysa sembari melangkah ke arah mobilnya.
“Iyee bawel” Jawab Baskara ketus.
“Jangan ketus-ketus to mas, nanti malah jatuh cinta loh” Sahut Bapak tukang bakso yang kini cengengesan karena gemas dengan interaksi mereka berdua.
Baskara menoleh kaget, penuh dengan kerutan di dahinya, “Dia mantan saya pak” Ucapnya dengan canggung.
Tiba-tiba hening, hanya terdengar suara hujan yang jatuh mengenai atap seng. Sangat canggung, namun Baskara tetap cuek. Pikirannya melayang jauh ke arah Amara yang mereject panggilan telfon darinya untuk pertamakali.
***
Sementara, disisi lain Amara sedang makan malam di rumah, ketika Baskara tiba-tiba menelfonnya. Dengan cekatan ia meraih ponselnya yang berada di atas meja untuk mereject panggilan itu.
“Siapa Ra?” Tanya Rudi Santoso, Papa dari Amara. Seorang pengusaha kuliner sukses yang kini mencoba untuk mendekat dengan putri semata wayangnya setelah istrinya meninggal sepuluh tahun lalu.
“Temen Pa” Jawab Amara datar.
Suasana di meja makan cukup kaku, hanya ada Rudi dan Amara yang duduk berhadapan. Makanan rumahan yang terlihat banyak namun tidak ada satupun yang mampu membuat Amara tertarik untuk mencicipi.
Tiba-tiba ketenangan diantara mereka buyar, dari lantai dua terdengar rengekan bocah berusia lima tahun yang terdengar melengking menggema di udara.
Iben, adik tiri Amara. Anak dari istri kedua Papanya yang kini meraung melawan Mamanya saat menuruni tangga.
“Iben mau main gameee, Iben ngga mau makan ihhhh” Tangis bocah itu pecah di udara.
Rudi berjalan ke arah mereka, dengan mantap kini mengendong Iben dengan begitu erat.
“Ditungguin Kak Amara loh, nanti habis ini main game di ajarin Kak Amara” Ucapnya mencoba merayu.
Amara mencoba tersenyum dengan wajah yang kaku, ada ribuan kata yang ingin ia ucapkan. Namun urung dan tercekat di tenggorokan.
Akhirnya mereka menyelesaikan makan malam itu dengan damai, tidak ada rengekan yang terdengar karena Iben selalu duduk manis jika bersebelahan dengan Amara. Kali ini dia tengah di sibukkan dengan rubik yang sudah di acak-acak oleh Amara sebelumnya.
“Kemarin Papa ketemu sama rekan bisnis Papa” Ucap Rudi membuka percakapan.
Amara hanya mengangguk, sambil sesekali melihat ke arah Iben untuk memastikan.
“Papa rencananya mau ngenalin anaknya ke kamu, gaada paksaan.. hanya Papa berharap kamu mau mencobanya” Ucap Rudi hati-hati.
Amara menatap tajam Papanya, mata sayunya membelalak kaget jadi bulat sempurna. Sekali lagi dalam hidupnya, ia harus berhadapan dengan keputusan sepihak yang di buat oleh Papanya. Dengan alasan, ini adalah jalan yang terbaik.
“Ngga mau, aku udah punya pacar” Jawab Amara, suaranya terdengar bergetar.
“Pacar?” Tanya Rudi kali ini ia ikut tersulut emosi.
“Udahlah Pa, Amara udah gede” Sahut Aisyah Ibu tiri Amara.
“Please, ini hidup aku Pa. Biarin aku yang nentuin” Amara meninggikan suaranya.
Kini Amara tengah berdiri, bersiap pergi meninggalkan mereka di meja makan sampai Iben memegangi tangannya.
“Kakakk” Lirihnya dengan wajah imut yang memelas.
“Iben disini dulu yaa, kakak lagi main perang-perangan sama Papa” Ucap Amara sembari mengelus rambut Iben.
“Amara duduk” Perintah Rudi penuh dengan penekanan.
Keheningan kembali menyelimuti suasana di meja makan. Amara kembali duduk dengan wajah yang menunduk. Air matanya menggenang di pelupuk matanya, ia benar-benar gelisah.
“Papa cuma ingin yang terbaik buat kamu. Hidup ini itu ngga gampang Ra. Pacarmu belum tentu akan menerima kamu kalo dia tau gimana sifat burukmu, apalagi keluarganya. Anak temen Papa itu Psikolog. Paling ngga sedikit banyak dia bakal tau cara ngadepin kamu dan ngajarin kamu hidup normal” Ucap Rudi panjang lebar.
“Siapa yang bikin aku tumbuh jadi seperti ini? Siapa yang harusnya bertanggung jawab? Inget Pa Amara jadi kayak gini itu bukan karena sehari dua hari didikan Papa” Kata Amara penuh dengan Amarah dan kecewa.
“Kamu itu ngga normal Amaraaaa” Bentaknya, “Berapa lama kamu bisa bertahan dengan sandiwaramu itu? Jangan bikin anak orang lain menjalani hidup dengan trauma,” Lanjutnya.
Perlahan, Amara tesenyum namun bukan senyuman ramah, bukan pula senyuman kebahagiaan. Senyuman yang begitu dingin yang membuat siapapun bergidik ngeri melihatnya. Termasuk Aisyah yang langsung buru-buru menggendong Iben untuk menjauh.
“Terus Papa mau ngenalin aku ke anak temen Papa buat apa? Papa ngga takut kalo aku bikin dia trauma juga? Atau mau ngenalin aku cuma buat jadi pasiennya aja?” Kata Amara datar, sangat tenang hingga membuat Rudi mengelus dadanya.
“Okee terserahlah, jalani dulu aja yang kamu mau. Tapi inget, jika kamu patah hati, jangan bertindak bodoh dan menghancurkan image yang Papa bentuk di diri kamu” Ucapnya dengan suara pelan.
Rudi berjalan mendekat ke arah Amara, “Papa tau kamu udah dewasa, tapi hidupmu itu bukan hidupmu sendiri. Hidupmu juga milik Papa” Tambahnya sebelum meninggalkan Amara duduk sendiri di meja makan.
Amara mengegelengkan kepalanya samar, “Emang dari dulu semua ngga pernah tentang aku” Lirihnya pelan. Senyuman itu muncul lagi, melengkung tipis di sudut bibir namun kali ini bertahan cukup lama.