NovelToon NovelToon
Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Selingkuh / Obsesi / Keluarga / Angst
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author:

"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."

Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."

~ Serena Azura Auliana~

:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+

Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.

Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.

Menjaga Batas

..."Aku tahu, mencintai seseorang yang hatinya sudah dimiliki orang lain adalah kebodohan. Tapi perasaan ini datang tanpa kuundang, tumbuh tanpa kusadari. Aku tak bisa memilikinya, tapi setidaknya, aku masih bisa menjaganya dari kejauhan."...

...\~ Adhan Zayn Daviandra \~...

***

Menjelang malam, Dimas dan Baim menyusul ke rumah sakit untuk menjenguk Serena. Mereka datang tanpa tangan kosong. Baim membawa sekantong buah segar sebagai buah tangan. Sementara Dimas membawa tas Serena yang ditinggalkan di kantor.

Serena yang tengah beristirahat di ranjang rumah sakit, tersenyum kecil melihat kedatangan rekan kerjanya.

"Selamat malam, Mbak Serena. Gimana kabarnya sekarang?" tanya Baim sambil meletakkan keranjang buah di meja samping tempat tidur.

"Alhamdulillah. Sekarang sudah jauh lebih baik. Terima kasih sudah datang semuanya. Kalian sampai repot-repot bawa buah tangan segala," jawab Serena dengan suara lemah.

"Tak masalah, kok. Oh ya ...," Dimas menyerahkan tas milik Serena yang sedari tadi ia bawa dari kantor. "Ini khusus untuk Mbak Serena, aku bawain tasnya yang ketinggalan."

"Terima kasih, ya, Dimas." Serena tampak sumringah bisa melihat tasnya kembali. Mau gimana lagi? Di dalam tasnya itu ada berbagai macam harta karun, seperti kunci apartemen, make up, dompet, dan tentu saja ponsel.

"Terima kasihnya cuma sama Dimas aja? Sama aku nggak? Kan aku yang minta Dimas buat bawa tas kamu," rajuk Lila sambil memasang wajah cemberut.

Serena tersenyum hangat melihat ekspresi Lila yang sudah seperti anak kecil yang minta dibelikan mainan baru. "Terima kasih sebanyak-banyaknya untuk kamu juga, Lila yang cantik."

Lila merespons dengan ekspresi wajah puas. "Sama-sama, Serena."

"Mbak Serena tahu sesuatu nggak?" Dimas tiba-tiba menyela.

Semua orang menoleh ke arah Dimas dengan tatapan penuh tanda tanya. Tidak bisa menebak apa yang akan dilakukan pria itu selanjutnya.

Dengan ekspresi jahil, Dimas hanya fokus menatap Serena . "Kayaknya ada yang aneh, deh. Apa Mbak nggak ngerasain apa-apa?"

Serena mengernyit. "Apanya yang aneh?"

Lila, Adhan, dan Baim yang ikut menyimak percakapan itu memasang ekspresi penasaran.

"Serius, Mbak Re. Kamu lagi sakit begini, tapi masih kelihatan cantik aja."

Ucapan itu diiringi lirikan cepat ke arah Adhan, seolah ingin melihat reaksi macam apa yang akan ditunjukkan oleh sahabat sekaligus atasannya itu.

Benar saja, ekspresi Adhan seketika berubah tajam. Dimas yang sudah menduga sebelumnya, malah terkikik geli. Rencananya untuk mengerjai Adhan berhasil.

"Kalau kamu cuma mau bikin keributan di sini. Mending kamu pulang aja, Dim. Mbak Re lagi proses pemulihan, kamu malah berisik sendiri," kata Adhan dengan nada dingin.

"Mbak Re aja nggak marah, loh, Bos. Kenapa malah Bos yang sewot?" balas Dimas sengaja memanas-manasi Adhan.

Tanpa aba-aba, Lila tiba-tiba menepuk punggung Dimas dengan keras. Dia tidak ingin Serena menjadi tidak nyaman hanya karena perkalian mereka berdua—Adhan dan Dimas.

Satu-satunya yang bisa Lila pukul hanya Dimas. Dia nggak mungkin memukul atasannya sendiri. Bisa-bisa jadi kasus.

"Aw! Lila!" Dimas mengaduh kesakitan, matanya menyipit, tersentak atas serangan mendadak itu.

Adhan yang sejak tadi menahan diri, akhirnya tersenyum melihat Lila membalaskan dendamnya, secara tidak langsung.

"Kenapa kamu malah mukul?!" protes Dimas, berusaha mengusap punggungnya, tapi tidak berasa sama sekali.

"Serena lagi sakit! Jangan berisik! Ini rumah sakit loh!" Lila berkata tegas, rahangnya mengeras dan matanya melotot tajam.

"Iya, iya. Mohon maaf, Mbak Serena yang cantik, sudah mengganggu ketenangannya."

"Nggak apa-apa, asal jangan diulangi aja," jawab Serena, tersenyum kecil.

"Dengerin tuh, Dimas. Jangan masuk kuping kanan, keluarnya dari kuping kanan juga karena mantul gitu aja," timpal Baim, ikut mencibir Dimas.

"Iya, iya. Noted Mbak, akan saya ingat selalu!" seru Dimas sambil membungkuk sedikit, seolah memberikan penghormatan ala bangsawan abad pertengahan.

Serena tertawa kecil melihat tingkah mereka. Kehadiran Dimas dan Baim di sini berhasil mencairkan suasana yang semula terasa canggung.

Kebersamaan mereka hanya berlangsung sampai waktu isya tiba. Baim dan Dimas pamit lebih dulu.

Tidak lupa, Serena mengucapkan terima kasih dengan tulus sebelum mereka pergi.

Tak lama kemudian, Lila juga pamit pulang pada Serena. Dia berjanji akan menghubungi sahabatnya itu selepas tiba di rumah.

Ruangan yang tadinya terasa hidup dan ramai, kini kembali sunyi. Hanya detak jarum jam yang terdengar. Serena menoleh ke arah Adhan yang masih berdiri di tempatnya. Tidak ada tanda-tanda pria itu akan pulang seperti yang lain.

"Kenapa Mas nggak pulang?" tanya Serena hati-hati, takut menyinggung.

"Saya nggak bisa pulang, karena harus meninggalkan Mbak sendirian di sini. Mbak nggak perlu khawatir, saya tahu batasan, dan saya tidak akan pernah melanggarnya. Mbak lagi salat sekarang?" jawab Adhan, diakhiri dengan pertanyaan. Cara bicaranya yang soft spoken itu, cukup membuat Serena merasa enggan.

Serena mengangguk pelan, wajahnya masih terlihat letih. "Iya, Mas. Tapi ... saya nggak bisa bangun buat salat."

Adhan menatapnya penuh empati. "Kalau memang nggak sanggup berdiri atau duduk, Mbak bisa salat sambil tiduran. Islam itu memudahkan," katanya lembut.

Serena tampak ragu. "Tapi saya nggak tahu gimana caranya?"

Adhan termenung sejenak, lalu matanya menangkap dua botol air mineral yang masih tersegel di atas meja dekat sofa tamu. Syukurlah, ia ingat membeli air dalam perjalanan kembali ke rumah sakit. Setidaknya, air itu bisa digunakan untuk membantu Serena berwudhu. Jika pun nanti habis, botolnya masih bisa diisi ulang untuk kebutuhan berikutnya.

"Saya beli tadi, sengaja buat jaga-jaga. Kita bisa pakai ini buat wudhu," ucap Adhan sambil mengangkat botol air mineral yang masih tersegel.

Serena masih belum benar-benar mengerti apa yang harus dia lakukan. Ia hanya bisa memerhatikan Adhan, mengikuti setiap perkataan dan setiap gerak-geriknya. Sedikit terkejut saat Adhan tiba-tiba melepas jaketnya.

"Mas, kenapa jaketnya dibuka?"

"Jaketnya mau saya jadiin alas untuk menampun bekas air wudhu, biar ranjang Mbak nggak basah."

Mendengar jawaban itu, Serena merasa sedikit malu dan kikuk, terutama saat Adhan membentangkan jaket miliknya di atas pangkuan Serena.

Menyadari ketidaknyamanan itu, Adhan berusaha memberi jarak di antara mereka. Secukupnya saja, cukup untuk membantu Serena mengambil air wudhu tanpa perlu melanggar batasan.

"Basuh tangan dulu, Mbak ... lalu wajah ... pelan-pelan saja," jelas Adhan dengan lembut dan berhati-hati. Dia juga memberikan praktek secara langsung supaya Serena bisa mudah memahami.

Tidak hanya membantu Serena mengambil air wudhu, Adhan juga dengan sabar menjelaskan bagaimana caranya menunaikan salat dalam posisi berbaring. Dia memperagakan setiap detail gerakan sambil membaringkan diri di atas sofa, dan menunjukkan langkah demi langkah dengan sejelas-jelasnya, hingga Serena benar-benar paham.

Tapi, masih ada satu problem lagi setelah ini. Mukenah. Di mana Serena bisa mendapatkan mukenah?

"Mas Adhan, terima kasih banyak untuk penjelasannya. Saya sudah paham sekarang. Tapi, gimana caranya saya salat? Di sini nggak ada mukenah."

"Soal itu, saya akan coba tanyakan ke perawat dulu," jawab Adhan sigap, langsung menemukan solusinya.

Adhan akhirnya keluar menuju ruang perawat. Di rumah sakit, biasanya terdapat beberapa titik khusus tempat para perawat berjaga—seperti di ujung lorong atau di dekat pintu masuk tiap blok kamar rawat inap. Di sana, mereka bersiaga untuk merespons kebutuhan pasien kapan saja.

Tak butuh waktu lama, Adhan benar-benar kembali dengan membawa sebuah mukenah yang berhasil ia pinjam dari perawat yang sedang bertugas.

"Ini, Mbak. Alhamdulillah dapat," ucapnya sambil menyerahkan mukenah itu. Serena menerimanya dengan senyum dan ucapan terima kasih yang tulus.

Sebelum pergi, Adhan merapikan jaket yang tadi ia gunakan sebagai alas untuk menampung air wudhu. Ia melipatnya dengan hati-hati, memastikan tidak ada bagian yang masih basah, lalu menyimpannya ke dalam kompartemen resleting kedua di tasnya—karena ruang utama sudah terisi oleh laptop kerja. Akan berisiko jika jaket yang basah itu bersentuhan langsung dengan laptopnya. Sekalipun perangkat yang dia gunakan tergolong mahal dan berkualitas tinggi di kelasnya.

"Kalau begitu, saya permisi dulu ke masjid, Mbak. Kalau ada apa-apa, Mbak bisa hubungi saya. Saya bermalam di masjid rumah sakit," ucap Adhan saat bersiap hendak pergi dari ruangan itu.

Serena hanya mengangguk pelan.

Tak lupa, Adhan mengucapkan salam sebelum pergi. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalaam." Serena menjawab sembari mengikuti langkah Adhan yang perlahan menjauh dan akhirnya menghilang di balik pintu.

Sepanjang perjalanan menuju masjid, Adhan tak henti-hentinya beristighfar dalam hati.

"Astaghfirullah al-'azhim ... Astaghfirullah al-'azhim ... Astaghfirullah al-'azhim ...."

Di dalam dadanya saat ini, ada gemuruh yang tak biasa—mengacaukan ketenangannya, mengguncang perasaannya, dan membuat jantungnya berdegup tak karuan.

Dia terus membayangkan wajah Serena saat jarak di antara mereka cukup dekat. Wajah yang terlihat pucat itu, sama sekali tidak mampu menutupi kecantikannya. Membuat Adhan yang selama ini tidak pernah dekat dengan wanita manapun, menjadi sedikit kelabakan. Lebih tepatnya, dia hampir lupa menundukkan pandangannya.

Jika diingat kembali, Adhan benar-benar merasa berdosa, seolah baru saja melakukan suatu perbuatan yang melanggar. Satu-satunya yang ia inginkan agar bisa secepatnya sampai di masjid. Supaya bisa langsung menunaikan salat dan menenangkan hatinya yang kacau setelah badai asmara yang datang melanda.

***

Membuka mata perlahan, Serena merasakan pandangannya buram, siluet-siluet samar menari di balik cahaya putih yang menusuk dari atas. Bau khas antiseptik menyeruak ke dalam hidungnya, bercampur dengan hawa dingin yang menyelinap menembus kulit.

Ia menarik napas perlahan, membiarkan kesadarannya kembali secara bertahap. Saat mencoba menggerakan tangan, ada sesuatu yang menahannya—selang infus menancap di pergelangan, terhubung ke kantung cairan bening yang menggantung di sisi ranjang.

Begitu kesadarannya telah kembali utuh, Serena baru teringat bahwa ia sedang berada di rumah sakit. Adhan dan Lila membawanya ke sini karena demamnya yang tinggi. Mengingat hal itu, ia refleks melirik ke segala penjuru ruangan.

Kosong. Tidak ada siapa pun di dalam ruangan selain dirinya. Dia baru ingat, kalau Adhan menginap di masjid rumah sakit, katanya supaya Serena bisa tidur dengan lebih nyaman tanpa merasa was-was karena kehadirannya.

Suasana seperti ini memang yang terbaik bagi Serena. Dia tidak bisa membayangkan, harus berduaan dengan lelaki lain, jika Adhan memutuskan untuk menginap di kamarnya. Terlebih lagi, mereka tidak punya hubungan apa pun, selain sebagai atasan dan bawahan.

Meskipun Adhan kelihatannya lelaki baik-baik, tetapi tidak ada yang bisa dipercaya dari seorang lelaki. Brian pernah bilang, kalau pikiran semua lelaki itu sama. Pikiran yang mengarah pada sesuatu yang tidak seharusnya.

Serena menghela napas. Di saat seperti ini, lagi-lagi dia malah teringat dengan Brian. Dia memegangi dadanya yang kembali nyeri. Bertanya-tanya dalam  hati, bagaimana caranya supaya bisa melepaskan diri dari perasaan yang menyakitkan ini?

Saat sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri, suara pintu dan langkah kaki seseotanv membuyarkan lamunannya. Serena refleks menoleh ke arah datangnya suara tersebut.

Seorang perempuan berseragam putih masuk dengan langkah tenang. Rambutnya tersisir rapi, sebagian diikat ke belakang. Di tangannya, ia membawa sebuah nampan kecil berisi peralatan medis.

Perawat itu tersenyum saat melihat Serena memandang ke arahnya.

"Selamat pagi, Mbak. Apa nggak bisa tidur? Jam segini kok udah bangun?" tanya perawat itu dengan nada ramah.

Serena menggeleng pelan, dan menjawab. Kemudian perawat itu mulai melakukan pemeriksaan kepada Serena sebagaimana prosedur yang berlaku di rumah sakit.

***

Beberapa jam sebelumnya, saat Adhan baru saja menyelesaikan salat 'isya, dia mulai mencari spot nyaman di sudut-sudut masjid. Rencananya, Adhan mau menyelesaikan sisa pekerjaan dari jarak jauh. Jadi, tinggal besok, dia tinggal menyerahkannya pada Dimas dan Baim untuk segera ditindaklanjuti.

Namun sebelum itu, Adhan perlu melakukan sesuatu yang tak kalah penting. Menghubungi seseorang. Dia takut akan melupakan sesuatu yang penting karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Maka dari itu, ia pun mengambil ponsel yang sejak tadi tersimpan rapi di dalam tas punggungnya.

"Aku butuh bantuan ...," ucap Adhan saat panggilan itu berhasil tersambung.

Bersambung

Minggu, 24 Agustus 2025

1
HjRosdiana Arsyam
Luar biasa
Ismi Muthmainnah: Terima kasih sudah mampir dan memberikan komentar. Saya merasa terharu🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!