:"Ya Allah, kalau Engkau tidak mengirimkan jodoh perjaka pada hamba, Duda juga nggak apa-apa ya, Allah. Asalkan dia ganteng, kaya, anak tunggal ...."
"Ngelunjak!"
Monica Pratiwi, gadis di ujung usia dua puluh tahunan merasa frustasi karena belum juga menikah. Dituntut menikah karena usianya yang menjelang expired, dan adiknya ngebet mau nikah dengan pacarnya. Keluarga yang masih percaya dengan mitos kalau kakak perempuan dilangkahi adik perempuannya, bisa jadi jomblo seumur hidup. Gara-gara itu, Monica Pratiwi terjebak dengan Duda tanpa anak yang merupakan atasannya. Monica menjalani kehidupan saling menguntungkan dengan duren sawit, alias, Duda keren sarang duit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Monica , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
Raline duduk di ruang pribadinya yang mewah, menatap layar laptopnya dengan tatapan dingin dan penuh perhitungan. Beberapa video konfrontasi yang seharusnya tersimpan rapat-rapat mulai bocor ke publik, menyebar dengan cepat di media sosial. Citranya sebagai dermawan ulung mulai terkikis, digantikan oleh bayangan keraguan dan kecurigaan. Telepon genggamnya berdering tanpa henti, sebuah simfoni dering yang mengganggu dari berbagai pihak: pengacara yang panik, "donatur" yang resah, dan jaringan politik yang mulai merasa terancam. Namun, Raline tetap diam, wajahnya tak menunjukkan sedikit pun kekhawatiran. Ia seakan-akan sedang menyaksikan sebuah drama yang telah lama ia rencanakan, sebuah drama yang kini mulai meleset dari kendalinya.
Di layar laptop lainnya, sebuah video streaming menampilkan 'tangan kanan' Raline sedang berbicara dengan seorang tokoh militer bayangan—seseorang yang bahkan bukan bagian dari rencana besarnya. Sebuah pertemuan rahasia yang tak terduga, sebuah perkembangan yang mengancam untuk menghancurkan segalanya.
"Dia bergerak tanpa perintahku," gumam Raline, wajahnya mengeras, rahangnya mengencang. "Kalau dia bertindak di luar skenario, kita semua bisa jatuh bersamanya. Semua usahaku selama ini akan sia-sia." Kecemasannya mulai muncul, namun ia berusaha untuk tetap tenang, tetap mempertahankan topeng ketenangannya.
Di balik meja kerjanya yang terbuat dari kayu jati pilihan, Raline mengambil selembar foto lama yang sudah usang dan pudar—potret dirinya bersama Livia dan beberapa pasien lain yang menjadi korban eksperimen. Dulu, ia percaya bahwa tujuannya murni, bahwa ia sedang melakukan sesuatu yang mulia. Ia percaya bahwa ia sedang membangun sebuah dunia yang lebih baik. Namun, kini, semua idealisme itu telah sirna, tergantikan oleh satu tujuan tunggal: bertahan hidup, mempertahankan kekuasaannya, meskipun harus dengan cara yang kejam dan tidak berperikemanusiaan.
Di ruang aman yang terletak di sebuah lokasi rahasia, Monica, Teddy, Adrian, dan Livia duduk mengelilingi meja, membahas langkah akhir mereka. Hard disk yang dibawa Livia tak hanya berisi rekaman penyiksaan dan eksperimen yang mengerikan, tetapi juga data keuangan yang mencengangkan, nama-nama tokoh penting yang terlibat dalam kejahatan tersebut, hingga dokumen internal yayasan yang penuh dengan kebohongan dan manipulasi. Bukti-bukti yang cukup kuat untuk menghancurkan jaringan Raline.
"Kalau ini dipublikasi sekaligus, kita akan mendapat perhatian global," ujar Adrian, "Tapi… juga target global. Raline tidak akan tinggal diam." Ia mengingatkan akan resiko yang harus mereka hadapi.
Teddy berdiri, matanya memancarkan tekad yang kuat, "Berarti kita harus menyiapkan backup di berbagai lokasi. Kalau satu jatuh, yang lain tetap menyala. Kita harus memastikan kebenaran ini sampai ke seluruh dunia."
Namun, sebelum mereka sempat bertindak, sebelum mereka bisa menyebarkan bukti-bukti tersebut, sinyal jaringan mendadak hilang. Ruangan gelap gulita, lampu padam. Generator cadangan yang seharusnya berfungsi dengan baik ternyata juga mati. Suasana menjadi mencekam.
"Dia datang," bisik Livia, suaranya gemetar karena ketakutan. Ia merasakan kehadiran musuh di luar sana.
Dari luar, terdengar suara langkah kaki berat, langkah kaki yang mendekat dengan cepat. Tembok kontrakan mereka digedor dengan keras, suara-suara gaduh terdengar. Jeritan para relawan yang menjaga mereka terdengar samar-samar.
Monica mengangkat ponsel satelit cadangan, "Kita kirim data sekarang juga. Kalau mereka masuk, pastikan semua ini sudah sampai ke luar." Ia memerintahkan dengan suara yang tegas, penuh dengan keputusasaan.
Adrian segera mulai mengunggah data ke server internasional, berusaha sekuat tenaga untuk mengirimkan semua bukti-bukti tersebut ke seluruh dunia. Namun, Teddy bergerak cepat menuju pintu, menahan dari dalam. "Kalian lanjutkan. Aku akan menahan mereka." Ia memutuskan untuk mengorbankan dirinya.
"Jangan bodoh, Teddy!" seru Monica, "Kita bisa melawan ini bersama!" Ia berusaha untuk mencegah Teddy, namun Teddy tetap bersikeras.
Teddy menatap Monica dengan mata yang lembut, penuh dengan kasih sayang, namun tekadnya sudah bulat. "Kamu harus hidup, Mon. Bukan cuma untukku. Tapi untuk semua korban… yang belum bisa bicara. Aku akan melindungi kalian."
Ledakan kecil di pintu membuat Livia menjerit ketakutan. Dari balik asap dan debu, muncullah 'tangan kanan' Raline, sosok yang menyeramkan.
Sosok itu tak seperti manusia biasa. Gerakannya cepat, brutal, dingin dan tanpa ampun. Namun, ada sesuatu di matanya yang kosong, seolah-olah ia sendiri tak sepenuhnya sadar atas tindakan brutal yang dilakukannya. Ia seperti sebuah boneka yang dikendalikan oleh kekuatan yang lebih besar.
Teddy dan Adrian mencoba melawan, namun pria itu terlalu terlatih, terlalu kuat. Dalam kekacauan yang terjadi, Monica berhasil membawa Livia kabur lewat jalur darurat. Ia menggenggam erat hard disk berisi bukti-bukti tersebut di dadanya, melindungi bukti-bukti yang akan menjatuhkan Raline.
Saat mereka keluar dari lorong belakang, terdengar suara tembakan—diikuti oleh kesunyian yang mencekam. Monica menoleh ke belakang… tapi ia tahu, ia tidak bisa kembali. Air matanya jatuh tanpa suara, "Maaf, Teddy…"
Beberapa jam kemudian, rekaman dan dokumen mereka muncul serentak di jaringan internasional. Situs-situs berita ternama, forum aktivis, hingga whistleblower platform menayangkan semua bukti tersebut. Nama-nama disebut. Wajah-wajah ditampilkan. Tidak hanya Raline… tetapi juga para pejabat, dokter, dan investor besar yang terlibat dalam kejahatan tersebut.
Tagar baru mengguncang jagat maya: #KebenaranDibayarDarah
#TeddyTidakDiam
#LiviaBersuara
Di layar televisi kantor yayasan yang mewah, Raline menyaksikan kehancurannya sendiri. Para investor mencabut dana. Kepolisian mulai bergerak. Ia kehilangan segalanya.
Ia hanya berkata pelan, pada dirinya sendiri, "Akhirnya… tembok itu runtuh." Ia menyadari bahwa kekuasaannya telah berakhir, bahwa kejahatannya telah terungkap. Ia telah kalah.