Berawal dari sebuah gulir tak sengaja di layar ponsel, takdir mempertemukan dua jiwa dari dua dunia yang berbeda. Akbar, seorang pemuda Minang berusia 24 tahun dari Padang, menemukan ketenangan dalam hidupnya yang teratur hingga sebuah senyuman tulus dari foto Erencya, seorang siswi SMA keturunan Tionghoa-Buddha berusia 18 tahun dari Jambi, menghentikan dunianya.
Terpisahkan jarak ratusan kilometer, cinta mereka bersemi di dunia maya. Melalui pesan-pesan larut malam dan panggilan video yang hangat, mereka menemukan belahan jiwa. Sebuah cinta yang murni, polos, dan tak pernah mempersoalkan perbedaan keyakinan yang membentang di antara mereka. Bagi Akbar dan Erencya, cinta adalah bahasa universal yang mereka pahami dengan hati.
Namun, saat cinta itu mulai beranjak ke dunia nyata, mereka dihadapkan pada tembok tertinggi dan terkokoh: restu keluarga. Tradisi dan keyakinan yang telah mengakar kuat menjadi jurang pemisah yang menyakitkan. Keluarga Erencya memberikan sebuah pilihan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Dapetin surat dari Akbar via Lusi itu sekarang udah jadi highlight of the day buat Erencya. Momen oper-operan surat di sekolah yang kayak adegan film mata-mata itu jadi satu-satunya hal yang bikin dia semangat. Hari itu, setelah berhasil mendapatkan 'paket' terbaru dari Lusi, Erencya harus menahan diri berjam-jam untuk nggak langsung membacanya di toilet sekolah. Sabar, Ren, sabar, batinnya berulang kali.
Sesampainya di rumah, ritual yang sama pun terulang. Lari ke kamar, kunci pintu, dan dengan jantung berdebar, membuka harta karunnya. Tapi kali ini, isi surat Akbar bikin jantungnya auto berhenti berdetak sesaat, sebelum akhirnya berdetak dua kali lebih cepat.
...Aku punya ide gila... Besok sore, sekitar jam empat, coba deh kamu lihat ke luar jendela kamarmu... Aku akan jalan kaki pelan-pelan di jalan utama depan kompleks perumahanmu. Cuma lewat, nggak akan berhenti...
Erencya membaca paragraf itu tiga kali. Gila. Sumpah, Kak Akbar ini beneran nekatnya level maksimal. Kompleks perumahannya itu area elit, dijaga satpam 24 jam. Orang asing yang jalan kaki tanpa tujuan jelas pasti bakal kelihatan mencolok banget. Risikonya gede banget. Kalau sampai Koko Bryan atau papanya kebetulan lewat, tamat sudah riwayat mereka.
Tapi di balik rasa takutnya, ada perasaan lain yang lebih dominan: sebuah getaran romantis yang begitu kuat sampai bikin perutnya melilit. Ini gila, tapi ini juga hal paling romantis yang pernah ia dengar seumur hidupnya. Bukan bunga, bukan cokelat, bukan hadiah mahal. Tapi kehadiran. Seseorang rela mengambil risiko sebesar itu hanya untuk bisa berada beberapa meter darinya, hanya untuk sebuah kemungkinan dilihat dari jendela.
Dan begitulah, keesokan harinya, Erencya hidup dalam penantian. Jam di dinding kamarnya seolah mengejeknya, jarumnya bergerak super lambat. Pukul satu siang. Pukul dua. Pukul tiga. Setiap jam terasa seperti selamanya. Ia mencoba membaca buku, tapi pikirannya melayang. Ia mencoba mendengarkan musik, tapi yang terdengar hanya detak jantungnya sendiri.
Pukul setengah empat, ia mulai bersiap. Ia nggak dandan, tapi ia menyisir rambutnya dan memakai blus berwarna biru langit—warna yang sama saat mereka pertama kali bertemu di bandara. Ia duduk di dekat jendela, di meja belajarnya, pura-pura sedang membaca buku. Jendela kamarnya di lantai dua punya pemandangan langsung ke jalan utama di depan gerbang kompleksnya. Posisi yang sempurna.
Waktu menunjukkan pukul 15.55. Tangannya mulai dingin dan berkeringat. Matanya tidak lepas dari jalanan di luar. Setiap mobil yang lewat, setiap motor yang melintas, membuatnya menahan napas. Pukul 16.00 tepat. Masih belum ada tanda-tanda. Apa Kak Akbar berubah pikiran? Apa terjadi sesuatu?
Lalu, pada pukul 16.02, ia melihatnya.
Sesosok pria berjalan sendirian di trotoar seberang jalan. Mengenakan kaus oblong hitam sederhana dan celana jeans. Menggendong tas selempang. Langkahnya pelan, tidak terburu-buru. Akbar.
Hati Erencya terasa seperti mau melompat dari dadanya. Itu dia. Nyata. Berjalan di sana, di dunianya, hanya untuknya. Akbar tidak menengadah ke atas. Ia tidak melakukan gerakan mencurigakan. Ia hanya berjalan lurus, matanya menatap ke depan, seolah ia hanya orang biasa yang kebetulan lewat. Tapi Erencya tahu. Di balik sikap tenangnya, Akbar pasti sedang merasakan debaran yang sama. Pria itu sedang menjalankan misi rahasianya.
Erencya menempelkan telapak tangannya ke kaca jendela yang dingin. Ia tidak melambai. Ia tidak bersuara. Ia hanya menatap. Mengirimkan semua perasaannya melalui tatapan yang ia tahu tak akan sampai. Momen itu mungkin hanya berlangsung tiga puluh detik—waktu yang dibutuhkan Akbar untuk berjalan melintasi jarak pandang jendelanya—tapi bagi Erencya, tiga puluh detik itu terasa abadi.
Saat sosok Akbar menghilang di tikungan jalan, Erencya masih terpaku di tempatnya. Kakinya terasa lemas. Ia merosot dari kursinya, duduk di lantai, dan membiarkan air matanya mengalir. Lagi-lagi, ini adalah tangisan bahagia.
Di tengah keheningan kamarnya, sebuah kesadaran menghantamnya. Sebuah hikmah. Pelajaran yang tidak pernah ia dapatkan dari sekolah mana pun.
Selama ini, ia hidup dikelilingi kemewahan. Kalau ia mau tas baru, ia tinggal minta. Kalau ia mau liburan ke luar negeri, keluarganya bisa mengaturnya. Cinta dan kasih sayang di keluarganya seringkali diwujudkan dalam bentuk materi dan fasilitas. Ia tidak pernah kekurangan apa pun, tapi ia juga tidak pernah benar-benar memperjuangkan apa pun.
Dan sekarang, lihatlah Akbar. Pria itu tidak bisa memberinya hadiah mahal. Ia tidak bisa mengajaknya makan di restoran mewah. Yang bisa ia berikan adalah hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang: keberaniannya, ketulusannya, dan usahanya yang tanpa pamrih. Tiga puluh detik Akbar berjalan di bawah terik matahari Jambi, dengan risiko ketahuan, terasa jauh lebih berharga daripada semua tas bermerek yang dimiliki Erencya di lemarinya.
Erencya akhirnya mengerti. Ini pelajaran pertamanya. Cinta sejati itu bukan soal 'apa yang bisa kamu berikan untukku', tapi soal 'sejauh mana kamu mau berjuang untukku'. Perjuangan Akbar yang sederhana—bekerja keras untuk membeli tiket, hidup hemat di kamar kos, berjalan kaki melintasi wilayah asing—adalah bentuk cinta termurni yang pernah ia terima.
Ia juga belajar tentang komunikasi. Dinding yang dibangun keluarganya, yang merampas ponsel dan laptopnya, justru memaksa mereka untuk kembali ke cara paling dasar: menulis. Dalam setiap surat, mereka tidak bisa bersembunyi di balik emoji atau balasan singkat. Mereka harus benar-benar berpikir, merangkai kata, dan menuangkan perasaan mereka seutuhnya. Hubungan mereka yang dipaksa menjadi lambat ini, justru membangun fondasi yang jauh lebih kokoh dan dalam.
Di tengah semua kekacauan ini, ada sebuah berkah terselubung. Krisis ini telah mengupas semua lapisan permukaan dalam hidupnya. Ia mulai melihat teman-temannya, keluarganya, dan bahkan dirinya sendiri dengan cara yang berbeda. Ia belajar membedakan mana simpati yang tulus dan mana yang hanya basa-basi. Ia belajar bahwa keberanian itu bukan berarti tidak takut, tapi tetap melangkah maju meskipun takut setengah mati.
Dengan perasaan yang baru dan pikiran yang lebih jernih, ia meraih kertas suratnya lagi. Ia harus memberitahu Akbar apa yang ia rasakan.
Kakak,
Aku melihatmu. Sumpah, aku melihatmu tadi. Dan aku nggak tahu harus bilang apa. Mungkin ini terdengar berlebihan, tapi tiga puluh detik melihatmu berjalan di jalanan itu adalah momen paling mendebarkan sekaligus paling melegakan dalam hidupku.
Aku nangis lagi setelahnya. Tapi kali ini aku nangis karena aku akhirnya paham. Aku paham banyak hal. Kakak, lewat semua hal gila yang Kakak lakuin, Kakak itu ngajarin aku. Kakak ngajarin aku kalau cinta itu bukan soal kemewahan, tapi soal usaha. Bukan soal kenyamanan, tapi soal keberanian.
Selama ini aku hidup di sangkar emasku, Kak. Aku punya segalanya, tapi ternyata aku nggak punya apa-apa. Kamu, dengan semua kesederhanaanmu, justru menunjukkan padaku apa itu kekayaan yang sesungguhnya: punya seseorang yang rela berjuang untukmu.
Terima kasih. Bukan cuma karena udah datang ke sini. Tapi karena udah datang ke hidupku dan bikin aku jadi orang yang lebih baik. Aku jadi lebih kuat sekarang. Aku siap menghadapi apa pun, selama aku tahu Kakak ada di pihakku.
Aku akan terus menunggumu di jendela ini, setiap hari jam empat sore.
Selalu,
Erencya-mu.
Ia melipat surat itu dan memasukkannya ke dalam buku rahasianya. Perasaannya campur aduk, tapi yang paling dominan adalah rasa damai. Badai di keluarganya memang belum reda. Tapi di dalam hatinya, ia telah menemukan pusat badai itu. Sebuah titik tenang yang bernama pemahaman. Dinding yang dibangun keluarganya untuk memisahkan mereka, ternyata secara tidak sengaja telah memberi mereka ruang untuk membangun sesuatu yang jauh lebih kuat dari sekadar cinta monyet. Sesuatu yang nyata. Sesuatu yang berharga.