Najla anerka ariyani arutama
Nama dia memang bukan nama terpanjang di dunia tapi nama dia terpanjang di keluarga dia
Memiliki 4 saudara laki laki kandung dan 3 saudara sepupu dan kalian tau mereka semua laki laki dan ya mereka sangat overprotektif akhh ingin sekali menukar merek semua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biancacaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PART 6
---
## **BABAK BARU DIMULAI**
### **03.17 — Garasi belakang rumah**
Mesin motor menderu halus, berat, rendah, bukan motor buat pamer — motor buat *lari, atau ngejar*.
Najla mengencangkan ritsleting hoodie-nya. Rambutnya dia ikat asal, tapi tatapannya tajam.
Dia naik tanpa ragu.
Bahkan caranya memutar kunci starter… mirip Arlen.
*“Kalau mereka mau gue juga…”*
Dia gas sedikit.
*“…gue yang milih waktunya.”*
Motor itu melesat ke belakang rumah, memotong gelap.
---
### **Sementara itu — di markas sementara Arlen**
Peta besar terbentang di meja. Titik-titik merah, rute, kemungkinan jebakan, pintu masuk, pintu keluar.
Regar berdiri dengan spidol, Darren duduk di meja sambil makan kacang, Kai tidak berhenti mengetik.
Arlen?
Duduk di tengah, tenang seperti badai yang lagi rehat sebelum mutar.
Kai memecah keheningan.
“Kita gak bisa masuk lewat pintu depan.”
Darren ngangkat alis.
“Kenapa? Biar dramatis?”
“Karena udah pasti ranjau politik, fisik, dan literal.”
Regar menyambar, “Belakang lewat kubah air.”
Kai menggeleng.
“Sistem di-upgrade. 6 tetua, 12 penjaga elite, 120 pasukan bayangan.”
Darren berhenti ngunyah.
“…anjir, itu turnamen atau penyambutan?”
Arlen tidak berkomentar.
Sampai akhirnya dia bicara, pelan:
“Gue gak mau strategi yang aman.”
Semua menoleh.
“Gue mau strategi yang ngasih pesan.”
Kai sudah bisa nebak.
“Pesan apalagi?”
Arlen berdiri, menunjuk titik tengah markas Council.
“Gue masuk lewat tengah.”
Ruangan hening 2 detik.
Darren menunjuk kepalanya.
“Pukulan terakhir waktu itu masih nyisa ya?”
Regar malah tertawa pendek.
“Gue suka. Intimidasi 100%.”
Kai menghela napas, pasrah.
“Lo mau tampil kayak pahlawan oder monster?”
Arlen memakai sarung tangannya, lalu menatap mereka semua:
“Gue mau mereka bingung bedanya.”
---
### **Di sisi lain — Kota bagian bawah**
Najla berhenti di depan sebuah bengkel tua dengan lampu neon berkedip.
Pintu besinya terbuka.
Seorang pria tinggi dengan rambut gemuk disanggul dan lengan penuh tato mendongak dari mesin yang sedang dia bongkar.
“Lama gak lihat,” katanya.
Najla melepas helm, tersenyum miring.
“Bang Kira. Masih nerima kerjaan gelap?”
Pria bernama Kira itu mendengus, menyeringai.
“Dari kecil lo nanya hal yang sama. Gue kolektor mesin, bukan malaikat penitipan.”
Najla mengeluarkan pecahan pin Arselion dan menaruhnya di meja.
Kira langsung berhenti bercanda.
“…lo nyimpen ini dari mana?”
Najla mencondong, suaranya rendah.
“Musuh keluarga gue yang jatuhin, malam mereka serang rumah.”
Kira menatap anak perempuan di depannya, lalu ke pecahan pin itu lagi.
“Lo mau balas dendam?”
Najla menutup mata, lalu membukanya perlahan.
“Gue mau *mulai*.”
Kira tersenyum perlahan.
Senyum seorang mekanik… yang pernah ikut perang dan menikmatinya.
“Oke, nona Arselion. Lo butuh apa?”
Najla menyeringai kecil, lebih tajam dari abangnya tapi lebih gelap.
“Senjata yang gak kelihatan kayak senjata…”
“…tapi kalau dipakai, semua orang langsung sadar…”
Dia mencondong makin dekat.
“…gue sama abang gue sebapak darah.”
Kira tertawa rendah.
“Gue punya beberapa mainan yang nyari tuan baru.”
---
### **Di waktu yang sama — Arlen merasakan sesuatu**
Dia berdiri di atap markas, angin malam meniup jaketnya.
Tanpa menoleh, dia bicara.
“Adek gue bangun.”
Kai yang lagi nyalain rokok hampir tersedak.
“Hah? Dia nelepon?”
“Enggak.”
“Chat?”
“Enggak.”
“Terus—?”
Arlen menatap langit yang mulai berubah warna.
“Gue kenal langkah badai keluarga gue sendiri.”
Dan jauh di bawah langit yang sama…
Najla sedang mengencangkan sarung tangan mekaniknya sambil tersenyum.
Bukan lagi adik yang menunggu diselamatkan.
Tapi pewaris lain…
…yang baru saja masuk ke papan permainan.
---
**Markas Council — Ruang Arsip Darah**
Ruang ini sunyi, dingin, dan usianya lebih tua dari sejarah negara manapun.
Tidak ada lampu modern — hanya lilin besar dan ukiran garis keturunan di setiap dinding.
Di tengah ruangan, sebuah kolam kecil berisi air hitam, permukaannya selalu bergerak meski tak ada angin.
Seorang tetua berjubah abu-abu menyentuh air itu.
Riaknya menyebar…
Lalu membentuk wajah yang buram.
Bukan Arlen.
Tetua itu menyipit.
“Deviasi garis… bukan satu.”
Yang lain menoleh cepat.
“Apa maksudmu?”
Air kembali bergerak.
Siluet kedua muncul… lebih kecil, tapi jelas *garis darah yang sama*.
Salah satu tetua berdiri tiba-tiba.
“Mustahil. Pewaris aktif hanya Arlen.”
Tetua pertama menarik tangannya dari air, suaranya rendah:
“Council menyalakannya sebagai satu lilin.”
“Tapi seseorang… baru saja menyalakan lilin kedua.”
Ruangan seketika membeku.
---
### **Kota bawah — Bengkel Kira**
Najla memutar senjata barunya.
Bentuknya seperti *pen logam*, tipis dan elegan.
Tidak ada orang waras yang akan curiga benda itu bisa—
**KLIK**
Ujungnya membuka.
Bilah hitam memanjang tanpa suara, tipis seperti potongan bayangan.
Kira bersiul pelan.
“Itu monofilamen. Hampir gak bisa dilihat, lebih tajam dari sumpah mantan.”
Najla tersenyum puas.
“Gak meledak? Gak bersuara? Gak dramatis?”
Kira mendengus.
“Lo mau dramatis? Cari pacar toxic. Ini alat untuk menang.”
Najla menyimpan senjata itu di balik lengan hoodie-nya. Nyaris tak terlihat.
“Sekarang giliran gue kasih message ke Council.”
Kira menyipit.
“Lo yakin mau mulai perang selagi abang lo pikir lo tidur di rumah?”
Najla melangkah ke pintu bengkel.
“Justru karena dia pikir begitu.”
Motor kembali menyala.
“Gue operasi bayangan. Dia operasi badai.”
Helm terpasang.
“Dan Council gak akan siap nangkep keduanya sekaligus.”
---
### **Satu jam kemudian — Gudang logistik Council, sektor 7**
Tempat ini bukan markas utama.
Hanya lumbung senjata, dokumen, dan rute rahasia.
Tapi justru itu target Najla.
Dua penjaga berdiri bosan di depan pintu besi.
Sampai salah satu dari mereka mengernyit.
“Angin tadi kenceng banget ya?”
Yang lain mendengus.
“Kagak ada angin gob—”
**Srekk.**
Kalimatnya berhenti.
Bukan karena mati.
Tapi karena jaketnya… terbelah rapi, dari bahu sampai pinggang.
Tanpa menyentuh kulitnya.
Mata penjaga itu membesar, keringat dingin turun.
Tepat di belakang mereka, Najla berdiri, hoodie-nya gelap menyatu dengan malam.
Dia tidak tersenyum.
Dia *tenang.*
“Masuk dan tidur,” katanya.
Suaranya halus.
Tapi punya nada Arlen ketika ia sedang tidak main-main.
Kedua penjaga itu menurut.
Karena mereka sadar…
**yang barusan lewat, bukan ancaman.**
**Itu peringatan.**
---
### **Di dalam gudang**
Najla tidak meledakkan apa pun.
Dia tidak membakar apa pun.
Yang dia lakukan jauh lebih mengganggu.
Dia menggambar simbol kecil di setiap peti senjata, dinding, dan kamera:
**Arselion, tapi terbelah dua.**
Bukan simbol keluarga.
**Simbol perpecahan kekuatan. Simbol pewaris ganda.**
Lalu di tengah lantai ia menulis satu kalimat dengan cat hitam:
> **“Kalian menyalakan api untuk satu. Kalian lupa bara yang lain.”**
Dia melangkah pergi tanpa menoleh.
Gudang tetap utuh.
Tapi pesannya… meledak lebih keras dari bom.
---
### **Keesokan paginya — Markas Arlen**
Darren masuk sambil membawa tablet.
“Len… lo liat berita bawah tanah?”
Arlen masih minum kopi.
“Apa?”
Darren memutar layar.
Foto gudang Council, simbol Arselion terbelah, tulisan di lantai, semua beredar di jaringan gelap.
Ruangan hening.
Regar berdiri pelan.
“Lo melakukan kunjungan awal?”
Arlen menggeleng.
“Bukan gue.”
Kai langsung waspada.
“Musuh?”
Arlen bangkit, meraih jaketnya… dan untuk pertama kali sejak bab dimulai:
Dia tersenyum kecil.
Bukan senyum menantang.
Bukan senyum dingin.
Tapi senyum yang cuma muncul kalau dia *mengenali darahnya sendiri.*
“Bukan musuh.”
Dia berjalan menuju pintu.
“Itu adik gue.”
Darren tercekat.
Regar menyeringai miring.
Kai memijat kening.
“Demi segala bencana…”
Arlen menarik ritsleting jaketnya.
“Kalian pikir cuma gue monster keluarga ini?”
Kai bergumam pasrah:
“Council nyenggol singa…”
Arlen membuka pintu.
“…ternyata sarangnya ada dua.”
**BRAK.**
Pintu tertutup bersamaan dengan awal perang keluarga Arselion.
---