Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENYESALAN
Malam turun perlahan di kediaman keluarga Dirgantara. Rumah besar bergaya kolonial itu berdiri megah di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, namun malam ini terasa dingin dan sunyi. Di ruang tamu yang diterangi lampu kuning temaram, Hartono Dirgantara duduk diam di kursi rotan tua, matanya menatap kosong pada bingkai foto lama di atas meja. Foto Arif dan Retno saat wisuda, dua puluh tahun lalu.
“Dia sudah tidak seperti dulu lagi, Diah,” ucap Hartono pelan, suaranya serak, seperti keluar dari tenggorokan yang telah lama menahan sesal. “Anak kita hidup… tapi tak benar-benar hidup.”
Diah Ningrum, yang duduk di seberang, menatap foto yang sama. Wajah Retno yang tersenyum manis, mengenakan kebaya putih, membuat dadanya sesak. Sudah bertahun-tahun ia mencoba menghapus bayangan itu, tapi setiap kali menatap Arif, penyesalan itu kembali menampar.
Ia menunduk, air mata mulai menetes. “Kita… kita yang membuatnya begini, Mas. Bukan Retno, bukan keadaan… tapi kita.”
Hartono menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Aku hanya ingin masa depan yang terbaik untuk Arif. Aku ingin dia menikah dengan yang sepadan. Aku… tidak pernah menyangka Retno akan begitu keras mencintainya.”
“Dan kita terlalu keras menentang,” potong Diah lirih. “Kita memisahkan mereka… dengan cara yang bahkan Tuhan pun mungkin tak bisa ampuni.”
Hening panjang menyelimuti ruangan. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar, menandai waktu yang terasa semakin lambat.
Hartono menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku masih ingat malam itu… ketika semua rencana dijalankan.”
Suara Hartono bergetar. “Kita menyuruh orang-orang membuat ‘kecelakaan’. Kita ingin Retno pergi jauh, tidak lagi mengganggu hidup Arif. Kita pikir itu hanya luka kecil, bahwa waktu akan menyembuhkannya.”
Ia berhenti, suaranya pecah. “Tapi kita menghancurkan hidup anak kita sendiri.”
Diah menatap suaminya, matanya merah. “Dan Retno… dia masih hidup. Aku dengar kabar dari yayasan di selatan Jawa itu. Ada seorang perempuan yang mirip dengannya, tapi mereka bilang dia kehilangan ingatan.”
Diah memegangi dadanya, suaranya nyaris berbisik. “Dia hidup dalam nama baru… Sari.”
Hartono menatap istrinya, wajahnya memucat. “Sari?”
“Ya. Seorang guru di sekolah kecil di lereng gunung, di daerah yang bahkan kita tak tahu namanya dua dekade lalu.”
Air mata kembali jatuh di pipi Diah. “Dan Arif… Arif seperti bayang-bayang orang yang dulu. Dia masih mencari Retno, tanpa tahu bahwa semua ini karena kita.”
Hartono bangkit perlahan. Tubuhnya sudah renta, tapi langkahnya masih berat penuh wibawa. Ia berjalan menuju jendela besar yang menghadap taman depan. Di luar, lampu taman menyala redup, menyinari patung kecil berbentuk burung garuda — simbol keluarga Dirgantara.
“Diah,” katanya pelan, “mungkin sudah waktunya kita menebus dosa itu. Aku sudah tua. Aku tak ingin mati sebelum meminta maaf.”
Diah mendekat, menggenggam tangan suaminya. “Bagaimana kalau Arif tahu, Mas? Dia akan membenci kita. Semua yang kita bangun, nama keluarga ini… akan runtuh.”
“Biar saja,” jawab Hartono tegas, meski suaranya gemetar. “Lebih baik dihancurkan oleh kebenaran, daripada terus hidup dalam kebohongan.”
Tangannya bergetar saat ia membuka laci meja kecil di ruang kerja. Di dalamnya ada amplop lusuh, berisi dokumen lama — bukti transfer, laporan palsu kecelakaan, dan foto mobil yang terbakar dua puluh tahun lalu. Semua masih tersimpan, seperti hantu masa lalu yang menunggu untuk dihidupkan kembali.
Diah menatap benda-benda itu, lalu menutup mata. “Kalau Tuhan memberi kesempatan kedua… aku hanya ingin satu hal, Mas. Agar Arif bisa memaafkan kita.”
Hartono menarik napas dalam, lalu menatap langit malam yang pekat. “Dan agar Retno… agar Sari… tahu bahwa kami menyesal. Benar-benar menyesal.”
Suasana menjadi hening.
Hanya ada detak jam, desiran angin, dan dua hati yang digerus dosa masa lalu.
Dan di tempat jauh, di sebuah desa kecil di lereng gunung, seorang perempuan bernama Sari terbangun dari mimpi buruk yang sama — bayangan cahaya mobil, suara benturan keras, dan sepasang mata yang menatapnya penuh ketakutan.
Ia memegang dada, nafasnya tersengal.
“Siapa mereka… kenapa wajah itu terus muncul…” bisiknya.
Malam itu, di dua tempat berbeda, masa lalu yang mereka kubur perlahan mulai menggali jalan untuk kembali ke permukaan.
menarik