NovelToon NovelToon
Drama Cinta Kaki Lima (Rujak Seblak Mesra)

Drama Cinta Kaki Lima (Rujak Seblak Mesra)

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Perjodohan / Romantis / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Konflik etika
Popularitas:303
Nilai: 5
Nama Author: Laila ANT

Gunawan, penjual rujak bumbu yang pendiam, dan Dewi, pemilik seblak pedas yang independen, terjebak dalam perjodohan paksa setelah gerobak mereka bertabrakan, menciptakan kekacauan di lapak. Warga, di bawah arahan Pak RT, menghukum mereka dengan pernikahan untuk menjaga reputasi lapak. Awalnya, mereka sepakat untuk menjalani 'kontrak pacaran palsu', penuh kecanggungan dan konflik komedi. Namun, seiring waktu, serangkaian tantangan publik—mulai dari "Love Brigade" yang selalu mengawasi, drama keluarga, hingga sabotase pesaing—memaksa mereka bekerja sama. Tanpa disadari, sandiwara tersebut mulai menumbuhkan perasaan nyata, hingga akhirnya mereka harus memutuskan apakah akan tetap berpegang pada janji palsu atau jujur pada hati mereka, yang berarti menghadapi konsekuensi dari komunitas yang pernah memaksa mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tamu dari Kampung halaman

…bergerak mendekat.

Deru mesinnya yang halus namun bertenaga memecah keheningan lapak yang baru saja diselimuti kegelapan malam, mengirimkan getaran aneh yang merayapi punggung Gunawan. Lampu depannya menyala, menyorot wajah Gunawan dan Dewi yang kini memucat pasi, seolah mereka adalah dua buronan yang baru saja tertangkap basah di tengah pelarian.

Mobil hitam itu berhenti tepat di depan gerobak rujak, mesinnya mati, dan sepasang mata terbelalak menatap pintu belakang yang perlahan terbuka, menampilkan bayangan dua sosok yang asing namun terasa begitu mengancam.

Yang pertama keluar adalah seorang wanita paruh baya dengan dandanan rapi dan rambut disanggul tinggi, mengenakan kebaya sutra mahal yang berkilauan di bawah cahaya lampu jalan. Wajahnya keras, matanya tajam, dan bibirnya tertarik ke bawah, membentuk garis jijik.

Di belakangnya, seorang pria yang lebih tua, dengan setelan batik mewah dan kacamata berbingkai emas, melangkah keluar, wajahnya lebih lunak namun tetap menyimpan aura otoritas yang tak terbantahkan.

“Gunawan!” Suara wanita itu, Bibi Jannah, menusuk telinga, tajam dan dingin seperti bilah pisau.

Ia melangkah maju, tanpa ragu mengabaikan Dewi yang berdiri terpaku di samping Gunawan. Tatapannya menyapu lapak yang kotor dan berbau masakan, lalu berhenti pada gerobak rujak Gunawan dengan ekspresi jijik yang tak disembunyikan.

“Apa-apaan ini? Kami dengar kamu menang lomba, masuk TV. Tapi kami tidak menyangka… kamu masih berkubang di tempat kumuh seperti ini!”

Gunawan merasakan darahnya berdesir. Ini dia. Keluarga yang tidak pernah ia ingat, yang kini datang dengan segala tuntutan dan penghinaan. Paman dan Bibinya. Bibi Jannah adalah kakak ibunya, sosok yang selalu didengarnya sebagai pengatur yang tak terbantahkan, meski Gunawan sendiri tak memiliki memori akan hal itu.

“Bibi Jannah… Paman,” Gunawan mencoba menyapa, suaranya tercekat di tenggorokan.

 Ia mencoba menenangkan diri, tapi kehadiran mereka, ditambah dengan aura kemarahan yang terpancar, membuatnya merasa seperti kembali ke masa lalu yang terlupakan, ke tekanan yang ia rasakan sepanjang hidupnya.

Paman Gunawan, yang lebih kalem, menepuk bahu Gunawan.

“Gunawan, Nak. Bibi Jannah benar. Kami datang jauh-jauh dari kota, mendengar berita yang… mencengangkan ini. Menang lomba? Masuk TV? Kami pikir kamu sudah sadar, sudah kembali ke jalan yang benar. Ternyata… kamu malah semakin terjerumus.”

Dewi, yang sedari tadi diam, merasakan gelombang kemarahan naik. Kata-kata ‘kumuh’, ‘terjerumus’, dan tatapan merendahkan itu terasa seperti tamparan keras. Ia tahu mereka adalah keluarga Gunawan, tapi ini sudah keterlaluan.

“Maaf, Pak, Bu,” Dewi memberanikan diri.

“Lapak ini memang sederhana, tapi ini tempat kami mencari rezeki halal. Dan kami bangga dengan apa yang kami lakukan.”

Bibi Jannah menoleh ke arah Dewi, tatapannya menyala. Ia meneliti Dewi dari ujung rambut hingga ujung kaki, dari pakaian sederhana hingga celemek yang sedikit bernoda seblak, seolah ia adalah serangga kotor yang baru saja ia temukan.

“Oh, jadi ini wanita yang kamu pilih, Gunawan? Penjual seblak di kaki lima? Yang katanya… menjadi pasanganmu di televisi itu?” Suaranya dipenuhi nada meremehkan yang menusuk.

“Apa ini? Strategi pemasaran murahan? Atau kamu sudah gila?”

Dewi mengepalkan tangannya. Ia ingin membalas, ingin meledak, tapi Gunawan memegang lengannya, isyarat agar ia menahan diri. Namun, amarah di mata Dewi tak bisa disembunyikan.

“Bibi, tolong,” Gunawan mencoba menengahi,

“Jangan bicara seperti itu pada Dewi. Dia… dia teman saya. Dan dia tidak ada hubungannya dengan masalah ini.”

“Tidak ada hubungannya?” Bibi Jannah tertawa sinis.

“Gunawan, kamu itu pewaris nama besar keluarga kita! Keluarga kita terpandang! Kamu pantas mendapatkan wanita yang lebih bermartabat, yang berpendidikan, yang bisa membawa nama baik keluarga! Bukan… penjual makanan pedas di pinggir jalan seperti ini!”

Kata-kata itu menghantam Dewi seperti batu. Ia merasakan matanya memanas, harga dirinya tercabik-cabik. Ini bukan lagi soal sandiwara atau kontrak. Ini adalah serangan langsung terhadap dirinya, terhadap profesinya, terhadap seluruh hidupnya.

“Bibi, cukup!” Gunawan akhirnya meninggikan suaranya, sesuatu yang jarang sekali ia lakukan. Terkejut, Bibi Jannah terdiam sejenak.

“Dewi adalah orang baik. Pekerjaannya halal. Tidak ada yang salah dengan berjualan di kaki lima! Justru ini yang membuat saya… merasa hidup!”

Paman Gunawan menghela napas. “Gunawan, Nak. Kami mengerti kamu ingin mandiri. Tapi ini sudah di luar batas. Kamu tahu kan, kakekmu selalu berharap kamu meneruskan bisnis keluarga di kota. Kamu ini kan calon direktur, bukan… tukang rujak.”

“Direktur? Saya?” Gunawan tertawa hambar, sebuah tawa yang dipenuhi kepahitan.

“Saya bahkan tidak ingat pernah punya keluarga seprospektif itu, Paman. Saya hanya ingat hidup di lapak ini, berjualan rujak. Ini hidup saya sekarang!”

Bibi Jannah melangkah lebih dekat, tatapannya membakar.

“Jangan coba-coba membohongi kami, Gunawan! Kami tahu kamu punya amnesia sebagian karena kecelakaan itu, tapi itu tidak berarti kamu bisa melupakan siapa dirimu sebenarnya! Kamu sudah diatur untuk menikahi putri Tuan Haris, pengusaha properti itu! Seorang wanita yang sopan, terpelajar, dan paling penting… setara denganmu!”

Mendengar itu, Dewi merasakan sakit yang menusuk. Putri Tuan Haris. Pengusaha properti. Ia tahu Gunawan menyembunyikan sesuatu, tapi ia tidak menyangka sebesar ini. Dan ia, Dewi, hanyalah ‘penjual makanan pedas’, tidak setara.

“Maaf, Bu,” kata Dewi, suaranya kini kembali tajam, penuh dengan kemarahan yang tertahan.

“Tapi Gunawan di sini tidak sedang main-main. Dia sudah berkomitmen dengan saya. Kami akan menikah.”

Bibi Jannah mendengus.

“Menikah? Omong kosong! Itu hanya sandiwara murahan untuk memenangkan lomba, bukan? Kami tahu semuanya! Kami tahu kontrak palsu kalian! Kami punya mata-mata di sini!” Ia menunjuk ke arah warga lapak yang kini mulai berkerumun, penasaran dengan keributan itu. Beberapa di antaranya, terutama Love Brigade, tampak syok.

Gunawan dan Dewi saling pandang. Mata-mata? Siapa? Ini berarti ancaman di surat itu bukan hanya gertakan. Mereka benar-benar tahu semuanya.

“Siapa yang memberitahu kalian?” tanya Gunawan, suaranya rendah, penuh amarah.

Bibi Jannah tersenyum puas.

“Itu tidak penting. Yang penting adalah,,,,,,

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!