Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.
Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.
Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.
Media menjulukinya: "Sang Hakim".
Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.
Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.
Kini, perburuan ini menjadi personal.
Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28
Sepuluh hari tersisa.
Ruang komando Satgasus “Operasi Penebusan” seharusnya menjadi pusat aktivitas yang sibuk. Sebaliknya, ruangan itu terasa hampa dan sunyi.
AKP Daniel Tirtayasa telah mengirim Iptu Hasan dan Ipda Adit dua detektif terbaiknya untuk mengejar petunjuk "jurnal Lukas". Itu adalah petunjuk yang solid. Itu adalah pekerjaan polisi yang benar.
Itu juga, Daniel kini sadari, sebuah sabotase.
Dia tidak mengirim mereka untuk menemukan kebenaran. Dia mengirim mereka untuk menjauhkan mereka dari kebenaran yang dia temukan bersama Reza di peta digital itu. Radius 1 kilometer. Rumah Sakit Bhayangkara.
Daniel duduk sendirian, menatap papan tulis "7 Dosa Mematikan" yang ia buat. Dia merasa mual. Dia telah melakukan hal yang tidak terpikirkan: dia menyembunyikan bukti dari timnya sendiri. Dia bukan lagi seorang komandan yang memimpin. Dia adalah seorang ayah yang ketakutan, yang mengorbankan kasusnya demi putrinya.
Dia terjebak. Dia tidak bisa menuduh Samuel tanpa bukti absolut. Dan dia tidak bisa mencari bukti itu tanpa memberi tahu Samuel bahwa dia sedang dicari.
Dia terisolasi. Jenderal Hartono memberinya ultimatum. Timnya mengejar bayangan. Dan dia... dia sendirian dengan rahasia yang mengerikan ini.
Tidak. Tidak sepenuhnya sendirian.
Hasan dan Adit adalah 'pelaku'. Reza adalah 'data'. Tapi ada satu orang lagi di tim ini yang intuisinya setajam pisau bedah. Seseorang yang juga berdebat dengan Samuel. Seseorang yang tidak percaya pada "logika murni".
Daniel tidak hanya membutuhkan profiler. Dia membutuhkan sekutu.
Dia menelepon Dr. Maya Sari, meminta pertemuan pribadi.
Dr. Maya Sari masuk ke ruang komando yang kosong itu dengan keheningan seorang profiler. Dia langsung merasakan perubahannya. Ruangan itu tidak lagi terasa seperti markas; rasanya seperti sarang persembunyian seorang pria yang ketakutan.
"Komandan," sapa Maya. "Tim Anda di mana?"
"Di lapangan," jawab Daniel singkat. "Mengejar petunjuk dari jurnal Lukas."
Maya memperhatikannya. "Tapi Anda tidak percaya pada petunjuk itu lagi," katanya. Itu bukan pertanyaan.
Daniel menatapnya. Dia tidak bisa mengatakannya. Dia tidak bisa bilang, 'Aku pikir Samuel pelakunya.'
"Saya... saya percaya kita salah fokus," kata Daniel, memilih kata-katanya. "Kita reaktif. Kita mengejar masa lalu. Sementara jam terus berdetak."
Dia menunjuk ke papan tulis "7 Dosa Mematikan".
"Ini," katanya, suaranya putus asa. "Hanya ini yang terasa benar. Ini adalah peta pikirannya. Saya butuh Anda. Bantu saya membaca peta ini. Bantu saya menemukan ke mana dia akan melangkah selanjutnya."
Maya mengangguk. Dia bisa merasakan keputusasaan di balik permintaan itu.
"Baik," kata Maya, menjadi profesional. Dia berdiri di depan papan tulis. "Kita punya Kemarahan (Lukas), Keserakahan (Riana), dan Kesombongan (Sahroni). Tiga dosa 'kekuatan'."
"Tersisa empat," lanjut Maya, mengambil spidol. "Nafsu (Lust), Kerakusan (Gluttony), Iri Hati (Envy), dan Kemalasan (Sloth)."
"Dia bisa memilih yang mana saja," kata Daniel.
"Belum tentu," kata Maya. "Nafsu dan Kerakusan... itu terlalu... primal. Terlalu 'daging'. Dia mungkin melihatnya sebagai dosa rendahan. Tidak elegan."
"Lalu yang mana?" desak Daniel.
"Dua yang terakhir," kata Maya. "Kemalasan dan Iri Hati."
"Kemalasan?" tanya Daniel. "Seperti politisi yang tidak bekerja?"
"Tepat!" kata Maya. "Kemalasan, dalam teologi klasik, bukan hanya soal tidak mau bekerja. Itu adalah acedia. Kelelahan spiritual. Kegagalan moral untuk bertindak saat seharusnya bertindak. Dosa yang sangat filosofis untuk dihukum."
"Dan Iri Hati?"
"Iri Hati," bisik Maya, "adalah dosa yang paling personal dan intelektual dari semuanya. Itu adalah dosa yang menggerogoti jiwa. Itu bukan 'Aku ingin apa yang kau punya', tapi 'Aku benci karena kau yang memilikinya'. Itu adalah dosa perbandingan."
Maya berhenti, tapi bukan karena buntu. Dia berhenti karena sebuah pencerahan.
"Itu dia," katanya. "Kita salah fokus, Komandan. Anda tidak iri pada dosa secara abstrak. Anda iri pada seseorang. Anda tidak membenci 'Keserakahan', Anda membenci 'si serakah'. Kita sibuk menganalisis konsepnya."
Suaranya memelan. "Kita seharusnya menganalisis orangnya."
Baru setelah itu, Maya berbalik dari papan "7 Dosa" dan berjalan ke papan lain papan tempat foto ketiga korban (Lukas, Riana, Sahroni) ditempel berdampingan.
"Komandan," kata Maya pelan. "Lihat mereka. Lihat fisiknya."
Daniel berjalan ke sampingnya. Lukas Santoso, 58 tahun. Riana Wulandari, 42 tahun. Ahmad Sahroni, 55 tahun.
"Apa yang kau lihat, Daniel?"
"Tiga orang sukses," kata Daniel. "Tiga pendosa."
"Bukan," kata Maya. "Lihat lagi. Lukas, 58. Sahroni, 55. Keduanya pria paruh baya. Figur 'ayah' yang dominan. Riana, 42. Figur 'kakak perempuan' atau 'ibu muda'."
"Aku tidak mengerti," kata Daniel.
"Mereka semua... secara demografis," kata Maya, "adalah orang-orang yang mapan. Usia 40-an dan 50-an. Dan... perhatikan... Lukas adalah Tionghoa-Indonesia. Riana Wulandari, Indo-Belanda. Ahmad Sahroni, meskipun pribumi, memiliki penampilan yang sangat 'mapan' dan berkulit terang."
"Maya, kau mengada-ada," kata Daniel, frustrasi.
"Tidak!" kata Maya, kini bersemangat. "Aku salah di analisis pertamaku. Aku bilang 'luka trauma'-nya terkait pengampunan. Aku pikir lukanya terjadi pada dia."
Dia berbalik menatap Daniel, matanya berkilat dengan pemahaman baru yang mengerikan.
"Aku salah. Lukanya bukan pada dia. Dia sedang menciptakan ulang lukanya."
Daniel membeku.
"Dia tidak hanya membunuh 'pendosa'," kata Maya, suaranya kini nyaris berbisik. "Dia membunuh 'pendosa' yang mengingatkannya pada seseorang. Seseorang dari masa lalunya. Seseorang yang dia benci. Seseorang yang 'diampuni' dan menghancurkan hidupnya."
Pikiran Daniel langsung terlempar. Buku filsafat. Logika dingin. RS Bhayangkara.
"Dia tidak hanya menghukum 'Keserakahan'," desak Maya. "Dia menghukum 'Keserakahan' yang memiliki wajah Riana. Dia tidak menghukum 'Kesombongan'. Dia menghukum 'Kesombongan' yang memiliki wajah Sahroni. Ini adalah pembunuhan proksi (pengganti). Dia sedang membersihkan dosa-dosa... orang tuanya. Atau mentornya. Seseorang yang gagal."
"Ya Tuhan," bisik Daniel. Dia melihat semuanya sekarang.
Samuel Adhinata. Berpendidikan tinggi. Logis. Dingin. Bekerja di RS Bhayangkara. Dan... dia juga Tionghoa-Indonesia.
Semuanya pas. Profil itu bukan hanya cocok. Profil itu adalah cetakan dari Samuel.
"Jadi," kata Daniel, suaranya serak, "kita tidak lagi mencari di daftar 50 nama itu."
"Bukan," kata Maya. "Kita tidak lagi mencari siapa yang akan dia bunuh. Untuk menemukannya..."
Maya menatap Daniel dengan kesedihan dan kengerian yang sama.
"Kita harus mencari tahu... siapa yang telah dikhianati dan dihancurkan di masa lalu Dr. Samuel Adhinata."