“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Sekutu dari Timur
Malam turun perlahan di atas Samudra Jaya. Langit tampak temaram, dihiasi awan kelabu yang menutup cahaya bulan. Setelah peristiwa di balairung pagi tadi, suasana istana belum juga tenang. Para abdi dalem masih berbisik-bisik di sudut pelataran, membicarakan pertikaian dua pangeran yang nyaris menodai tempat suci itu. Di paviliun timur, Prabu Harjaya duduk lama di depan meja batu, di sampingnya Mahapatih Nirmala Wisesa berdiri dengan wajah tegang.
“Seumur hidupku, Mahapatih,” ucap sang Prabu lirih, “aku tak pernah menyangka kedua darah dagingku sendiri akan saling menodai di depan mata para bangsawan.” Mahapatih menunduk dalam, tangannya bertaut di depan dada. “Mereka masih muda, Gusti. Darah muda kadang tak mengenal batas nalar. Namun hamba percaya, waktu akan mendewasakan keduanya.” Prabu Harjaya menatap jauh ke arah taman, di mana lampu minyak berkelip diterpa angin malam. “Waktu tak selalu membawa kedamaian, Mahapatih. Kadang waktu hanya memperdalam luka.”
Sebelum Mahapatih sempat menjawab, langkah tergesa seorang utusan terdengar dari luar. Ia menunduk dalam, lalu mengangkat gulungan surat yang disegel dengan lilin berwarna biru.
“Gusti Prabu,” ucapnya, “utusan dari Mandalapura baru saja tiba. Membawa balasan atas surat permohonan bantuan yang Paduka kirim dua pekan lalu.” Prabu Harjaya menatap Mahapatih sekilas, lalu mengulurkan tangan menerima surat itu. “Akhirnya,” gumamnya. Ia mematahkan segel lilin biru itu, membuka gulungan dengan hati-hati. Tulisan tangan halus dengan tinta keemasan terhampar di hadapannya. Mahapatih Nirmala membaca bersama sang Prabu. Di bagian awal, tertulis salam hormat dari Sri Maharaja Suryabrata, lalu berlanjut:
‘Atas nama persaudaraan dan perjanjian lama antara Mandalapura dan Samudra Jaya, kami menyatakan kesediaan membantu dengan seribu prajurit berkuda, seratus pemanah elit, serta dua kapal pengangkut perbekalan. Pasukan kami akan berangkat tiga hari sejak surat ini dikirim, menempuh perjalanan darat melalui lembah Ratnapala diiringi oleh Putra Mahkota kamu Raden Kusumanegara,”
Prabu Harjaya menatap huruf-huruf itu lama, lalu perlahan tersenyum tipis. “Sri Maharaja Suryabrata masih memegang janji leluhurnya.”
Mahapatih mengangguk pelan. “Itu kabar baik, Gusti. Tapi hamba khawatir perjalanan mereka akan panjang dan berbahaya. Parang Giri tentu tak akan tinggal diam mengetahui bantuan itu datang.” Sang Prabu menyandarkan punggungnya, wajahnya masih penuh beban. “Benar. Maka persiapan harus segera dilakukan. Aku ingin Arya memimpin penyambutan di perbatasan Ratnapala.”
Mahapatih sempat terdiam, lalu bertanya hati-hati, “Bagaimana dengan Raden Raksa, Gusti? Apakah beliau akan turut serta?”
Prabu Harjaya menatap meja di hadapannya. “Raksa akan tetap di istana. Aku tak ingin kedua anakku kembali berhadapan di medan yang sama. Biarlah Arya berurusan dengan Mandalapura, dan Raksa... aku akan memberinya tugas menjaga istana. Setidaknya, keduanya tak saling beradu mata untuk sementara waktu.”
Mahapatih mengangguk. “Sendika dawuh, Gusti.”
Sementara itu, di paviliun barat, Raden Arya berdiri di beranda dengan jubah panjangnya. Angin malam meniupkan aroma bunga kamboja dari taman. Sejak pagi, amarahnya belum sepenuhnya surut. Ia masih bisa mendengar gema suara Raksa di telinganya — kata-kata yang menusuk harga diri seorang pangeran.
“Cemburu lebih berbahaya dari seribu pedang...” gumam Arya lirih, mengulang kata adik tirinya itu dengan getir. Langkah lembut terdengar dari arah pintu. Tumenggung Wiranegara datang membawa kabar. “Gusti, Prabu memanggil paduka ke balairung. Ada titah penting dari Mandalapura.”
Arya menoleh cepat. “Dari Mandalapura?”
“Benar, Gusti. Balasan atas surat bantuan perang.” Raden Arya tak menunggu lama. Ia bergegas menuju balairung, jubahnya berkibar di belakang. Sesampainya di sana, Prabu Harjaya telah duduk dengan Mahapatih di sisi. Raden Raksa tampak sudah hadir pula, duduk dengan wajah tenang, seperti tak ada peristiwa pagi tadi.
“Arya,” ucap Prabu Harjaya, “aku baru menerima balasan dari Mandalapura. Mereka menyetujui untuk mengirim bantuan. Seribu prajurit berkuda dan dua kapal besar akan berangkat dalam tiga hari. Aku ingin kau memimpin pasukan penjemput di perbatasan Ratnapala.”
Raden Arya menunduk hormat. “Sendika dawuh, Ayahanda. Hamba akan berangkat sebelum fajar.” Raksa yang duduk di sisi kiri singgasana menatapnya sekilas. “Mandalapura selalu dikenal cerdik dalam bersekutu. Pastikan mereka datang dengan niat yang jujur, bukan sekadar menagih hutang darah lama.” Nada suaranya terdengar datar, tapi Prabu Harjaya segera menatapnya tajam. “Raksa, jangan menabur curiga sebelum waktu. Mandalapura adalah sekutu leluhur kita.”
Raksa menunduk hormat. “Ampun, Ayahanda. Hamba hanya mengingatkan.” Hening sesaat. Prabu Harjaya memejamkan mata, menarik napas panjang. “Aku tidak ingin perbedaan pandangan di antara kalian membuat negeri ini terpecah. Saat ini, musuh kita adalah Parang Giri, bukan darah sendiri.”
Raden Arya menunduk. “Hamba mengerti.”
Raksa menjawab lirih, “Hamba pun demikian, Ayahanda.” Namun saat keduanya menatap sekilas, di mata mereka masih tersisa bara yang tak padam.
“Perintahkan Panglima Aruna untuk mengawal Raden Arya, karena Raden Kusumanegara ikut dalam rombongan.” Lalu menatap ke arah Raden Raksa.
“Raksa, aku ingin kau tetap di istana untuk penyambutan bala bantuan dari Mandalapura,” titah Prabu Harjaya.
“Sendika dawuh Ayahanda,” Raden Raksa menatap nyalang ke arah kakak tirinya sementara Raden Arya mengepalkan tangannya seakan-akan menjawab tantangan itu.
Menjelang tengah malam, di luar istana, angin berhembus dingin membawa aroma tanah basah. Di bawah sinar obor yang redup, seorang prajurit Mandalapura berhenti di depan gerbang barat Samudra Jaya. Di punggung kudanya tergantung bendera berwarna biru laut—lambang kerajaan Mandalapura. Ia menunduk hormat pada penjaga gerbang.
“Hamba dari utusan Maharaja Mandalapura,” katanya lantang. “Pasukan pertama akan tiba besok malam. Ini perintah Sri Maharaja Suryabrata untuk disampaikan langsung pada Raden Arya.” Berita itu segera menyebar ke seluruh istana. Para abdi dalem bergegas menyalakan obor tambahan di pelataran. Di paviliun utara, Raden Raksa berdiri di jendela, memandangi bendera biru itu dari kejauhan. Matanya berkilat samar.
“Sekutu dari timur datang... dan Arya akan menjadi pahlawan di mata ayahanda,” gumamnya pelan. “Tapi permainan belum berakhir.” Angin malam berhembus lembut, membawa suara seruling dari kejauhan—seperti tanda bahwa perang yang lebih besar sedang bersiap dimulai, bukan hanya di medan pertempuran... tetapi juga di hati dua pangeran yang berdarah sama, namun tak lagi seirama.
Kabar mengenai datangnya bala bantuan dari Mandalapura sudah sampai ditelingan Putri Dyah bahkan kabarnya Putra Mahkota Kusumanegara juga ikut dalam rombongan itu. Tentu berita ini membuatnya resah yang artinya perjodohan itu tidak main-main, dia berjalan keluar paviliun terlihat dayang-dayang sangat sibuk dengan tugas masing-masing untuk penyambutan sekutu dari Mandalapura.
“Laras, apakah wajar jika aku menolak semua ini. Jika ayahanda meminta bantuan perang dari Mandalapura , aku setuju karena perjanjian darah leluhur tapi jika perjodohan.....rasanya aku tidak sanggup, apakah perjodohan ini harus terjadi....kenapa...kenapa harus perjodohan, kenapa ini terjadi...” Putri Dyah menangkupkan wajahnya yang sembab karena tangisnya, baginya ini semua hanyalah kepentingan politik. Laras menatap sendu pada junjungannya dia melangkah mendekat, menundukkan kepala hormat, lalu berbicara hati-hati. “Ampun, Gusti Putri... Hamba tahu berat rasanya menjalani kehendak yang bukan dari hati sendiri. Tapi kadang takdir para bangsawan memang bukan untuk memilih, melainkan untuk dijalani demi yang lebih besar dari diri mereka.” Putri Dyah menatap Laras dengan mata yang bergetar menahan tangis. “Lebih besar dari diri sendiri? Apa yang lebih besar dari hati yang hancur, Laras? Aku hanya seorang perempuan, yang ingin mencintai dan dicintai... bukan dijadikan jembatan antara dua kerajaan.”
Laras menarik napas dalam, lalu berlutut perlahan di hadapan junjungannya. “Hamba tahu, Gusti... Hamba tahu betapa dalam cinta Paduka kepada Panglima Aruna. Semua orang yang setia di sekitar Paduka pun tahu. Tapi... dunia istana berbeda, Gusti. Di sini, cinta sering kali kalah oleh titah, kalah oleh darah dan tahta.” Suara lembut Laras menggema pelan di antara desir angin. Putri Dyah memejamkan mata, seolah ingin menahan pedih yang semakin menyesakkan dada. “Aruna...” gumamnya lirih. “Dia mungkin sedang berjaga di perbatasan, mempertaruhkan nyawanya demi negeri ini, sementara aku di sini harus menunggu keputusan tentang hidupku dari pena seorang raja.”
Laras menunduk dalam. “Panglima Aruna mungkin tak akan pernah tahu betapa besar cinta Gusti padanya. Tapi percayalah, dewata tidak tidur. Semua cinta yang tulus, meski tak sampai, tidak akan sia-sia di mata langit.”
“Namun apa gunanya, Laras?” suara Putri Dyah gemetar. “Apalah artinya cinta yang tak bisa diwujudkan? Jika semua sudah ditentukan bahkan sebelum aku lahir, untuk apa aku diberi hati yang bisa mencinta?”
Laras menatap wajah junjungannya yang pucat diterangi sinar obor. “Mungkin karena Dewata ingin Gusti tahu... bahwa bahkan seorang putri pun bisa memiliki luka seperti rakyat biasa. Bahwa cinta sejati bukan tentang memiliki, tapi tentang ketulusan untuk tetap mendoakan dari jauh.” Putri Dyah terdiam. Kata-kata itu menembus pertahanannya. Ia menatap langit malam yang berawan, mencari bintang yang tak tampak. Suaranya nyaris tak terdengar saat ia berkata, “Kalau saja aku bukan seorang putri... jika saja aku dilahirkan sebagai rakyat biasa, mungkin aku bisa memilih jalanku sendiri.”
Laras tersenyum getir. “Jika Gusti dilahirkan sebagai rakyat biasa, mungkin Gusti akan hidup sederhana... menumbuk padi di pagi hari, menimba air di sungai, menunggu Panglima Aruna yang pulang dari ladang. Tapi Gusti tidak akan menjadi cahaya bagi negeri ini.”
“Cahaya?” Dyah menatapnya dengan mata berkaca. “Apa gunanya menjadi cahaya bila sinarnya sendiri membakar dirinya?”
Laras terdiam sejenak, menunduk dalam. “Mungkin karena begitulah takdir cahaya, Gusti. Ia tidak pernah meminta untuk bersinar... tapi dunia membutuhkan cahayanya untuk tidak tenggelam dalam gelap.” Hening mengalir di antara mereka. Hanya suara angin dan nyanyian jangkrik yang menemani malam itu. Putri Dyah memegang dada kirinya, merasakan denyut jantung yang terasa berat. “Laras... hatiku seperti terkoyak. Aku ingin berjuang, tapi aku tak tahu melawan siapa. Dewata? Takdir? Atau diriku sendiri?”
“Hamba tidak tahu, Gusti,” jawab Laras pelan. “Tapi kadang, yang harus kita lawan bukanlah dunia... melainkan keinginan untuk menyerah. Mungkin, Gusti masih bisa menemukan arti cinta itu—bukan dalam memiliki, tapi dalam berkorban dengan ikhlas.” Putri Dyah menghela napas panjang, memandangi taman istana yang sunyi. Daun kamboja jatuh perlahan di dekat kakinya. “Jika begitu, Laras... semoga Dewata tahu, aku hanya ingin dicintai sebagai diriku sendiri, bukan sebagai seorang putri.” Laras menunduk hormat, suaranya lirih penuh doa. “Dewata pasti tahu, Gusti. Dan mungkin, suatu hari nanti, cinta Gusti akan menemukan jalannya... entah di dunia ini, atau di bawah langit yang lain.” Putri Dyah memejamkan mata, membiarkan air matanya jatuh perlahan. Malam semakin larut, namun dalam hatinya, satu hal kini ia sadari—bahwa beban seorang putri bukanlah mahkota di kepalanya, melainkan luka di hatinya yang harus tetap ia sembunyikan di balik senyum seorang pewaris tahta.
Dari arah utara terlihat Panglima Aruna berjalan dengan tegap terselip pedang dipinggangnya membuatnya semakin terlihat gagah beberapa dayang yang berjalan bersimpangan dengannya terpesona melihatnya terlebih panglima muda itu memiliki senyum yang sangat ramah. Putri Dyah yang melihatnya semakin tersiksa, dia menghela nafas lalu berjalan masuk ke dalam paviliun tapi sebelum melangkah masuk Panglima Aruna sudah memanggilnya memberi hormat lalu mengutarakan niatnya.
“Ampun Gusti Putri, hamba hendak melapor bahwa Gusti Prabu mengutus hamba untuk menemani Gusti Raden Arya dalam penjemputan bala bantuan dari Mandalapura, sekiranya Gusti Putri....”
“Pergilah Aruna, aku mengizinkanmu,” potong Putri Dyah tanpa menatap kearah Aruna, membuat Laras dan Panglima Aruna terkejut mendongak menatap junjungannya lalu cepat-cepat menunduk lagi.
“hamba mengaturkan terima kasih pada Gusti,” kata Putri Dyah lalu masuk tanpa memperdulikan Panglima Aruna yang masih berdiri di halaman paviliun. Begitu pintu ditutup Putri Dyah menangis dipelukan Laras, dayang itu tahu bagaimana rasa sakit saat cintanya harus dikorbankan demi negara. Laras menepuk-nepuk punggung Putri Dyah dengan lembut berharap apa yang dilakukannya memberikan sedikit ketenangan.
****
Beberapa hari kemudian dari dermaga pasukan Samudra Jaya memberi pesan kalau kapal dengan lambang Mandalapura sudah sampai. Raden Arya yang dikawal Panglima Aruna pun berangkat ke dermaga. Putri Dyah melihat keberangkatan mereka dari balik jendela paviliunnya, sementara di kejauhan, derap langkah pasukan yang menuju dermaga terdengar perlahan memudar. Dari celah jendela, ia melihat punggung Raden Arya yang menunggang kuda di depan barisan, diikuti Panglima Aruna yang membawa panji Samudra Jaya.
Mata Putri Dyah memanas. Ia ingin berteriak, ingin memohon agar waktu berhenti sejenak. Namun yang keluar dari bibirnya hanyalah desahan pelan, nyaris tak terdengar.
“Laras…” suaranya bergetar. “Apakah cinta harus selalu dikorbankan demi kekuasaan dan kehormatan?”
Laras yang berdiri di belakangnya menunduk dalam. “Ampun, Gusti Putri… titah raja adalah hukum tertinggi di bumi ini. Siapa pun takkan mampu menolaknya, bahkan seorang putri kerajaan.” Dyah menggeleng pelan, air matanya jatuh menelusuri pipi. “Jika saja aku bukan anak ayahanda, mungkin aku sudah melarikan diri sejak kabar perjodohan itu diumumkan. Apa gunanya darah biru, bila setiap keputusan tentang hidupku ditentukan oleh orang lain?”
Laras menatap junjungannya dengan iba. “Tapi Gusti, mungkin di balik titah itu tersimpan maksud baik yang belum kita pahami. Bukankah perjodohan dengan Mandalapura bisa memperkuat Samudra Jaya? Dewata mungkin tengah menulis takdir yang lebih besar.” Angin pagi berhembus lembut menembus jendela menerpa rambutnya, dia menatap kosong kearah kumpulan pasukan Raden Arya dan Panglima Aruna yang sudah mulai menjauh.
“Takdir…” gumamnya lirih. “Kata itu terlalu sering digunakan untuk menutupi luka. Semua orang berkata ini kehendak Dewata, padahal yang sesungguhnya terjadi adalah kehendak manusia yang ingin mengikat kuasa.”
Laras menunduk, tak berani menimpali.
“Aku… aku tidak mengenal Raden Kusumanegara,” lanjut Dyah dengan suara parau. “Bagaimana aku bisa menyerahkan hati dan hidupku pada seseorang yang bahkan belum pernah memandangku? Sedangkan hatiku…” Ia menunduk, menggenggam erat kain halus di dadanya. “Hatiku sudah lebih dulu terikat pada seseorang yang tak mungkin kumiliki.” Laras tahu kepada siapa kata-kata itu ditujukan. Ia tahu betul siapa yang bersemayam dalam hati junjungannya—Panglima Aruna, sang prajurit yang selalu berdiri di sisi Raden Arya, yang kini tengah menuju dermaga untuk menyambut sang calon mempelai.
“Gusti,” ucap Laras pelan, “kadang cinta sejati justru datang dalam bentuk pengorbanan. Panglima Aruna mungkin mencintai Gusti, tapi ia pun tahu batasnya. Dan hamba percaya, beliau pun kini tengah menahan luka yang sama seperti Gusti rasakan.” Putri Dyah menutup matanya rapat-rapat, mencoba menahan air mata yang mulai mengalir lagi. “Kalau saja dunia ini bukan tentang darah, tahta, dan nama besar… mungkin aku bisa hidup sebagai perempuan biasa. Bisa memilih dengan siapa aku ingin berjalan, dan kepada siapa aku ingin menua.” Laras mendekat, memegang tangannya lembut. “Dewata tahu isi hati Gusti. Mungkin sekarang belum waktunya, tapi tidak ada doa yang sia-sia di telinga langit.”
Putri Dyah menatap langit yang mulai berubah jingga di ufuk barat. Hatinya terasa hampa, seolah seluruh warna dunia lenyap terbawa angin laut. Sementara itu di tempat yang berbeda Raden Kusumanegara mulai mempersiapkan dirinya karena selain bantuan tentara, dia juga bermaksud ingin menemui calon istrinya dan inilah akhirnya perjodohan yang Putri Dyah takutkan akhirnya sungguh terjadi.