Vandra tidak menyangka kalau perselingkuhannya dengan Erika diketahui oleh Alya, istrinya.
Luka hati yang dalam dirasakan oleh Alya sampai mengucapakan kata-kata yang tidak pernah keluar dari mulutnya selama ini.
"Doa orang yang terzalimi pasti akan dikabulkan oleh Allah di dunia ini. Cepat atau lambat."
Vandra tidak menyangka kalau doa Alya untuknya sebelum perpisahan itu terkabul satu persatu.
Doa apakah yang diucapkan oleh Alya untuk Vandra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Lorong rumah sakit terasa sesak oleh hiruk-pikuk orang berlalu-lalang. Aroma obat yang menusuk bercampur dengan bau keringat orang-orang yang menunggu giliran. Erika melangkah cepat, wajahnya pucat bukan karena penyesalan, melainkan karena rasa khawatir bagaimana orang lain memandang dirinya.
Begitu tiba di ruang IGD, mata Erika langsung menangkap sosok sang mama, Bu Karin, yang terbaring dengan selang oksigen menempel di hidungnya. Wajah wanita paruh baya itu tampak lemah, bibir miring, satu sisi tubuhnya kaku. Pak Erwin berdiri di sisi ranjang, menggenggam tangan istrinya erat-erat, wajahnya tegang dan penuh kecemasan.
“Mama.” Suara Erika lirih, tetapi matanya justru berkaca-kaca karena takut kehilangan tempat bersandar, bukan karena rasa bersalah. Ia cepat-cepat mendekat, meraih tangan mamanya. “Tenang saja, Ma. Erika di sini. Semua akan baik-baik saja.”
Pak Erwin menoleh, matanya merah sembab, tetapi tidak ada amarah yang keluar. Justru ada tatapan yang seakan memohon.
“Erika, jangan bikin ibumu tambah sedih. Yang penting sekarang kamu ada di sini. Itu sudah cukup.”
Erika menghela napas lega. Tidak ada kata-kata menyalahkan. Tidak ada bentakan yang menuding dirinya penyebab semua ini. Di dalam hatinya, ia bahkan merasa benar. “Ya, aku memang pantas dicintai. Kalau orang lain tidak bisa menerima, itu salah mereka, bukan salahku.”
Beberapa perawat keluar masuk memantau kondisi Bu Karin. Salah seorang dokter menjelaskan, “Serangan stroke cukup berat, tapi kalau keluarga bisa menjaga perasaan pasien tetap tenang, kemungkinan besar kondisinya bisa stabil. Jangan sampai Bu Karin dibebani pikiran yang berat.”
Erika mengangguk cepat, seolah itu justru meneguhkan posisinya. “Lihat, Pa. Mama tidak boleh dibikin stres. Jadi, jangan pernah lagi bicarakan soal gosip-gosip itu di depan Mama. Aku tidak mau Mama tambah sakit karena omongan orang.”
Pak Erwin menghela napas panjang. “Iya, Nak. Papa juga tidak peduli omongan orang. Mereka tidak tahu apa-apa. Yang penting sekarang, Mama bisa sehat lagi.”
Mendengar itu, Erika tersenyum samar, merasa dipihakkan. Ada ketenangan yang merayapi dadanya. Ia tidak lagi memikirkan bagaimana berita dirinya dan Vandra yang viral membuat keluarga besar dipermalukan. Baginya, itu hanya suara bising yang lambat laun akan hilang.
“Ma, jangan khawatir,” bisik Erika sambil membelai tangan Bu Karin yang terkulai. “Aku punya Vandra sekarang. Dia mencintaiku, Ma. Aku akan baik-baik saja.”
Pak Erwin hanya diam. Raut wajahnya menua lebih cepat, seolah menanggung beban berat yang tak bisa ia ungkapkan. Pria paruh baya itu tidak menegur anak semata wayangnya. Bagi dia menjaga ketenangan rumah tangga dan menyelamatkan kesehatan istrinya jauh lebih penting ketimbang mengadili Erika.
Erika pun duduk tenang di kursi samping ranjang. Dalam batinnya, ia berkata, “Selama aku punya Vandra, aku tidak butuh pengakuan siapa pun. Mama dan Papa juga tetap bersamaku. Biarlah dunia membenci, asal aku masih punya orang-orang yang aku butuhkan.”
***
Sementara itu, Alya sudah merasa agak tenang, walau rasa sakit itu masih ada. Setidaknya dia bisa meluapkan apa yang sedang dirasakan saat ini.
“Awalnya aku sering menyangkal firasatku akan pengkhianatannya. Karena aku yakin Mas Vandra tidak akan tega menyakitiku,” ucap Alya, suaranya serak setelah tangisan panjang yang menguras tenaga. Matanya sembab, pipi penuh bekas air mata yang mengering, sementara tubuhnya terasa lemas seakan tak lagi memiliki daya untuk berdiri tegak.
Sejak tadi, Maria dan Rianti hanya bisa menatapnya dalam diam. Mereka tahu Alya bukan tipe wanita yang suka mengeluh, apalagi mengumbar aib rumah tangga. Maka saat kata-kata itu akhirnya keluar, keduanya bisa merasakan betapa berat luka yang ia pikul.
“Padahal Allah sudah menunjukkan lewat beberapa tanda, tapi aku takut. Aku malah berpikir kalau aku tidak baik dalam menjalankan tugas sebagai istri dan ibu, makanya Mas Vandra terlihat cuek dan jadi pendiam. Aku berpikir kalau aku sudah melakukan kesalahan, makanya minta untuk ditegur dan ingatkan aku jika lupa,” lanjut Alya dengan isak tangis yang kembali pecah. Setiap kata yang meluncur seperti pecahan kaca yang menoreh dadanya sendiri.
“Rupanya dia sudah punya yang lain, pengganti aku.” Nada suara Alya lirih, hampir seperti bisikan. Namun, setiap hurufnya cukup untuk membuat hati Maria dan Rianti ikut tersayat.
“Ish, aku doakan si Vandra dan pelakor itu cepat kena karma. Sial terus hidupnya,” kata Maria, emosinya meluap.
Bagi Maria, Alya adalah gambaran wanita yang nyaris sempurna, lembut, sabar, penurut, dan penuh kasih. Tak masuk akal jika perempuan sebaik itu dihancurkan oleh pengkhianatan.
Rianti menoleh sekilas, menyeringai getir. Ingatannya melayang ke masa lalu, ke masa di mana Maria pun pernah melontarkan doa serupa untuk suaminya. Dan benar, tidak perlu menunggu lama, kesialan demi kesialan menimpa lelaki itu bersama selingkuhannya.
“Alya, apa yang akan kamu lakukan sekarang?” tanya Rianti, suaranya terdengar tenang namun penuh rasa ingin tahu.
Alya menegakkan tubuhnya, meski matanya masih basah. Ada ketegasan yang mulai tumbuh di wajahnya. “Aku akan melaporkan Mas Vandra dan Erika ke kantor polisi atas tuduhan perzinahan.”
“Keren!” seru Maria dan Rianti hampir bersamaan, seolah menemukan kembali semangat juang dalam diri Alya. Keduanya memberikan dua acungan jempol.
“Aku dukung. Kalau perlu pengacara, bilang saja. Nanti biar adik iparku yang bantu,” ujar Maria sambil menepuk tangan Alya, mencoba memberi kekuatan.
“Kamu sudah menyiapkan bukti-buktinya?” tanya Rianti dengan nada serius.
“Sudah. Aku dapat banyak bukti dari HP-nya Erika, kemarin,” jawab Alya lirih, tetapi matanya kini memantulkan cahaya tekad.
Maria mencondongkan tubuh, menatap Alya dengan mantap. “Pokoknya kita akan jaga dan lindungi kamu. Kamu tidak sendiri. Biar si Vandra dan pelakor itu merasakan dinginnya jeruji besi.”
Rianti ikut mengangguk. “Seandainya dulu sewaktu suamiku selingkuh sudah ada undang-undangnya, pasti sudah kupastikan dia dan gundiknya itu masuk penjara.” Nada suara Rianti meninggi, mengandung luka lama yang masih membekas.
“Tapi, mematikan identitas suamimu lebih mengerikan, Rianti. Suamimu tercatat sebagai orang yang sudah mati,” ucap Maria pelan. Ucapan itu membuat bulu kuduknya merinding.
Alya tersenyum tipis. Ingatannya terlempar pada hari ketika Rianti menunjukkan akte kematian suaminya, seakan membuktikan bahwa pria itu benar-benar sudah mati meski jasadnya masih hidup. Rianti bahkan sempat mendapatkan uang tunjangan dari kantor suaminya. Semua itu dilakukan dalam kondisi hampir gila karena stres.
Rianti terkekeh getir. “Itu pembalasan terbaik buat orang yang sudah merebut kebahagiaan keluargaku.”
Mata Rianti menerawang jauh, suaranya bergetar tetapi ada kepuasan yang terselip. Ia bercerita lagi, tentang masa lalu yang pahit. Suaminya, seorang pegawai negeri dengan jabatan tinggi, diam-diam menikah siri dan membuat perempuan lain hamil.
Ketika anak itu lahir, Rianti merebutnya tanpa ampun. Gundik itu tak pernah lagi diizinkan menemui anak kandungnya. Akibatnya, sang wanita jatuh dalam depresi hingga kini hidupnya linglung. Sementara anak itu tumbuh bahagia dalam pelukan Rianti.
“Itu balasan yang paling pantas. Karena keluargaku tidak boleh hancur hanya gara-gara nafsu murahan,” ujar Rianti dingin. Ia mengaku bertahan hanya demi anak-anak perempuannya, karena cintanya sudah lama mati.
Alya mendengarkan kisah itu dengan dada bergemuruh. Ada rasa ngeri, ada juga rasa kagum. Seakan ia diberi gambaran nyata bagaimana luka dalam bisa berubah jadi kekuatan untuk bertahan hidup.
“Alya,” suara Maria memecah lamunan, “apa kamu akan mempertahankan Vandra atau bercerai dengannya?”
Pertanyaan itu menghantam Alya tepat di ulu hati. Matanya kembali berkaca-kaca. Ia menunduk, jemarinya meremas jilbab yang menutupi dadanya. Di dalam hatinya, masih ada cinta yang enggan padam, tetapi bersamaan dengan itu ada juga luka yang tak bisa lagi ia abaikan.
Dada Alya terasa sesak, seolah setiap hembusan napas adalah keputusan yang harus segera diambil. Air mata yang baru saja kering, kembali jatuh membasahi pipi.
Jangan bikin aq sedih lagi
Aseli sedih bocah 10 thn bisa bilang seperti itu 🩵🩵
pasti tau kalo Erika mantan simpanan...
😀😀😀❤❤❤
seiman..
baik..
sabar..
setia.
❤❤❤😍😙